Selasa, 27 Maret 2012

Cerita Silat Ku entri 8


Bab 6

Setelah berpisah dengan Damar diatas bukit sana, maka seharian itu Waliki hanya bekerja disawah. Melewati hari2 nanti kesabarannya mungkin akan diuji, yaitu menunggu kepastian keberangkatan. Dia ingin secepatnya melakukan perjalanan dengan Sekararum. Bukan karena bisa berpetualang kembali, tetapi hasratnya menurunkan ilmu begitu menggebu. Masa penantian selama puluhan tahun, berakhir sudah. Ilmu yang dimiliki kini akan mendapatkan pewaris baru, secara sah jatuh kepada putri dari bakal muridnya dulu – ibu dari anak ini. Teringat kejadian dua puluh lima tahun lalu, kala itu dia terpesona oleh bakat dan kecerdasan Nayala putri Damar. Setelah dalam masa pengembaraannya dia sangat berhati2 memilih calon, maka menurutnya ilmu ini sangat cocok diwariskan kepada Nayala. Sehingga mati2an dia merayu dan membujuknya. Bagai durian runtuh, ternyata Nayala menyanggupinya, meskipun dengan sembunyi2 mereka melatih ilmu ini. Entah bagaimana kejadiannya akhirnya Damar memergoki kelancangannya. Pertarungan dengan Damar sungguh luar biasa baginya. Memang ilmu yg dimilikinya masih mentah, dan diapun merasakan hal itu. Akan tetapi dia bukannya tidak berusaha mengembangkannya. Berbekal ingatan petunjuk dari gurunya dia selalu mencoba berusaha meningkatkan kemampuannya. Tapi dasar dia tidak berjodoh atau karena kebodohannya, maka ilmu ini mentok hanya sampai disini, hasilnya jauh panggang dari api.
  Seperti biasanya, bila kegiatan rutin telah usai, maka beberapa warga di pedesaan bergerombol duduk di gardu, tempat beberapa pengawal kecamatan bergilir berjaga keamanan. Malam itu Waliki termasuk diantara mereka. Dengan diterangi obor baik didalam dan luar gardu, beberapa dari mereka duduk mengelilingi meja berbentuk lonjong, ada pula sebagian berdiri, bersandar didinding, menikmati obrolan, isinya kadang2 serius tetapi juga terdengar tawa keras. Ada penganan ubi bakar dan jagung panggang serta camilan kacang rebus ditengah meja. Mug besar berisi wedang jahe gula aren telah mengisi cangkir dihadapan masing2 warga desa.
“ Pindah ke kadipaten lain! Kemana? Semua tempat diatas bumi ini milik raja, berarti pasti dipungut pajak”, Laki2 tambun berperut buncit yg berdiri bersandar dinding  hampir berteriak, suaranya terdengar sengau. Kengototannya membuat suasana gardu mendadak sunyi.
 Tidak mau kalah, pria berwajah bersih yg duduk tegak akhirnya angkat bicara, “ Aku pernah berdagang sampai ke kadipaten Draw, disana bebas dari pungutan pajak…!”
Cepat si tambun berkata,“ Tapi kalau kamu mau pindah kesana, tiga perempat harta bendamu harus disumbangkan, sebagai upeti untuk kadipaten. Lalu kamu akan diberi bekal tanah garapan dengan harga tertentu yg harus diangsur. Hasil dari tanah garapan itu separuh diambil kadipaten, begitu seterusnya sampai bisa melunasi harga tanah yg kamu garap. Itu aturan yg berlaku disana, ditetapkan lima tahun lalu bagi penduduk pindahan dari wilayah lain.  Dan hidup seperti itu akan berlangsung bertahun2, karena harga tanah ditetapkan terlalu tinggi, dan akan ditinjau ulang setiap tahun. Saat itu harganya bisa mencapai dua kali lipat. Tapi bila kamu sebagai penduduk pindahan ini akhirnya bisa melunasinya, maka untuk selanjutnya hidupnya akan tentram, bebas dari pajak. Itu yang terjadi disana”.
Sesaat semua terdiam, termenung. Suasana menjadi hening. Sesaat berikutnya terdengar orang seusia Waliki yg duduk disebelah pria bersih tadi bersuara. Disamping penampilannya terlihat perlente diantara semua, dia juga seperti disegani.
 “ Dua hari lagi ki camat Bagaswala dengan bendahara dibantu aparat kadipaten akan menghitung besarnya pajak masing2 warga. Selanjutnya ditetapkan berapa pajak harus masing2 kita bayar. Berarti harapan kita tipis untuk menolaknya”, Berhenti memandang beberapa orang, menunggu tanggapan mereka. Ternyata semua diam mendengarkan, maka dia melanjutkan, “Dahulu kala saat disini  masih sepi, penduduknya mungkin hanya sepersepuluh dari sekarang. Seolah tanah tanpa harapan. Aku merintis usaha sendiri, dengan bertani dan berdagang. Begitu kedatangan guru Damar, dia memacu kami untuk membangun wilayah ini. Puluhan tahun kemudian hasilnya sungguh menakjubkan. Seperti sekarang ini. Apa yg aku maksudkan adalah di tanah ini masih ada guru Damar. Kita bisa meminta petunjuk padanya. Dia pasti tidak akan tinggal diam, dengan kekhawatiran yg melanda kita. Tetapi hal ini bukan berarti melawan pada ki camat selaku pemimpin disini. Guru Damar tidak akan berbuat seperti itu. Yang aku dengar besok, utusan adipati ingin bertemu dengan guru Damar di perguruan. Kita akan datang lebih awal ke perguruan, sowan pada guru Damar, sekaligus meminta petunjuk padanya”.
Tiba2 seorang pemuda menyeletuk, “ Aku sering melihat guru Sartani dan guru Arya menemui Bagaswala di pendopo”,
“ Ya…, dan itu bisa diartikan perguruan mendukung kebijakan adipati”, kali ini laki2 yg berdiri diambang pintu gardu ikut menimpali.   
“ Apalagi guru Damar selama ini jarang ikut terlibat, dan turun perguruan menyambangi kita”, kembali pemuda tadi berkata. “ Apa masih ada harapan…?”
“ Lebih baik mencoba, daripada tidak bertindak sama sekali ”, ujar laki2 tua berpenampilan mewah itu. Suasana menjadi hening didalam dan luar gardu, semua larut pada pikiran masing2. Waliki sedari tadi menjadi pendengar, dan berdiri bersebelahan dengan lainnya diluar gardu, telah mengenal akrab mereka yg berbicara tadi. Yg paling tua perlente itu adalah bekas anak murid Damar, sepuluh tahun lalu. Laki2 berperut buncit adalah juragan Mohing, paling kaya di desa. Sedang pria berwajah bersih merupakan pedagang keliling langganan warga sini. Dua laki2 muda terakhir bekas murid perguruan tingkat lima, berarti mempunyai kemampuan lumayan. Mereka adalah anggota pengawal kecamatan. Selanjutnya pembicaraan di gardu itu, bergantian dikuasai mereka.
Malam semakin menjelang, sinar bulan terang menyinar. Hawa dingin semakin menyengat. Akhirnya laki2 tua perlente menyahut, “ Kalau begitu besok pagi, kami berempat akan menemui guru Damar. Mudah2an tindakan ini tidak dianggap lancang oleh Bagaswala”.  Nadanya puas seolah2 kesimpulan dari suatu pertemuan telah diambil.
Selama itu pula diam2 perhatian Waliki tertuju pada tiga sosok, yg sedang duduk diwarung, diseberang gardu. Sinar beberapa lilin terpasang, meneranginya, memang warung itu mulai sepi, hanya meladeni mereka bertiga. Tetapi terlihat olehnya gerak gerik mereka lebih terpusat pada pembicaraan di gardu, daripada makanan yg dihidangkan. Bagi orang berkemampuan tinggi tidak akan sulit untuk mendengarkan dan mengikuti semua obrolan di gardu ini dari jarak sejauh warung itu. Waliki memaklumi bahwa mereka adalah para pendatang yg kebetulan mampir di desa ini, seperti kebanyakan yang lain, mengingat wilayah ini telah menjadi seperti kota kecil yg mulai ramai. Sehingga keberadaan mereka disini tidak patut dicurigai, karena siapapun pendatang harus melewati pemeriksaan  ketat di pintu gerbang utara maupuan di selatan.
Waliki sendiri sering mendengar disaat2 sekarang ini banyak mata2 adipati dan kerajaan berkeliaran diwilayah2 ramai. Mereka memantau dan mencoba mengendalikan situasi. Termasuk disini.
Dan cangkrukan di gardu inipun mulai bubar ketika beberapa orang, mengundurkan diri, pulang ke rumah masing2. Waliki salah satunya. Namun rasa penasaran membuat dia tidak membelok kearah rumahnya melainkan, berhenti disuatu tikungan jalan kecil disamping rumah yg tidak jauh dari warung tersebut. Tersembunyi dan mengintip. Sebenarnya menyadari ketuaannya, seharusnya malu dengan kelakuannya seperti ini, tetapi entah mengapa, perasaan menggebu untuk mengetahui tindakan selanjutnya dari mereka bertiga, telah mendorong untuk melibatkan diri. Memang dilihat olehnya, mereka keluar dari warung seiring bubarnya cangkrukan digardu. Hebatnya  mereka menyebar, satu orang kearah utara mengikuti situa perlente. Satunya lagi melangkah dibelakang sitambun menuju arah barat dan yg terakhir berjalan pelan selangkah mendahului dua pengawal, mereka bergerak ke pendopo. Kebingungan menerpa Waliki, hatinya ragu yang mana hendak dikuntitnya. Akhirnya pertimbangan hatinya lebih tertuju kearah situa perlente, kebetulan jalan yg diambil searah menuju tempat tinggalnya. Untuk itu secepatnya dia mengambil jalan memutar, harapannya akan bertemu mereka dipersimpangan gang kedua.
Tidak ingin ketinggalan, Waliki mengerahkan ilmu terbangnya. Tubuhnya melintas diatas bangunan rumah2 penduduk. Pijakan kakinya tak bersuara bagai seekor kucing, sesaat kemudian dia sudah berada dijalan menuju persimpangan, dimana terdapat gang yang akan dilalui oleh mereka. Jalan disini hanya diterangi dengan beberapa obor bambu, sehingga suasananya temaram. Kira2 mencapai ujung persimpangan Waliki melambatkan langkahnya, kemudian berbelok pelan sambil menengok kearah kanan. Sepi. Hanya lilin megantung apinya bergoyang ditiup angin. Diapun berhenti dipinggir persimpangan.
“Apakah mereka tidak melewati jalan ini?”, serunya dalam hati. “ Tidak mungkin, tadi kulihat mereka telah memasuki gang pertama, dan harusnya hanya melalui jalan ini  untuk keluar dari gang pertama. Apa mereka kembali dan berbelok masuk gang yg lain”.
Entah mengapa kekhawatiran menjalar keseluruh tubuhnya.  Seketika dia berlari kecil memasuki jalan yg harus dilalui buruannya, tapi tak terlihat batang hidung siapapun. Mereka berdua seakan lenyap ditelan bumi. Tiba2 ketakutan melanda, bayangan jelek kematian bergelayut dipikirannya. Kemudian Waliki meneruskan langkahnya menyusuri jalanan di gang pertama. Masih sepi, bahkan tidak nampak bayangan manusia didepannya. Dia memutuskan meneruskan langkahnya, dan berharap berpapasan dengan mereka.
Waliki adalah ahli pencari jejak, kejadian ini membuatnya kagum. Jejak mereka berdua  hilang ditengah jalan lurus ini. Dari bekasnya tidak ada kekerasan yg berlangsung. Walikipun mendongak ke atas, bahkan kesekitarnya. Agak jauh diseberang sana terlihat rumah penduduk berjajar berhimpitan. Pintu dan jendela telah tertutup rapat. Sedang dihalaman rumah2 itu  banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Tiba2 mata tajam Waliki tertuju diujung sebuah rumah kira2 berjarak sepuluh meter darinya. Dia  melihat patahan dahan tergeletak ditanah. Setelah diambilnya, dia tahu bahwa patahan ini baru, terlihat masih basah.
“ Apa dia diculik? “, bisiknya dalam hati.
Dari bekas patahan dahan tersebut Waliki dapat menentukan arah seharusnya diambil, namun dia bimbang melakukannya. Siapapun yg mampu mengambil situa perlente tanpa suara dan perlawanan, pasti bukan orang sembarangan. Bila dia mengejarnya, keadaannya akan merugikan baginya. Disini dia dikenal sebagai situkang kebun, yg tidak mempunyai kepandaian apapun. Disamping itu mungkin yang dihadapi adalah orang2nya adipati atau kerajaan. Dia  tidak ingin terlibat dalam lingkaran pertentangan kekuasaan, karena sebentar lagi dia akan melakukan pengembaraan bersama Sekararum. Pertimbangan2 itu akhirnya membuatnya mundur. Dia berjalan balik, meninggalkan jalan setapak lurus, bekas dua orang yg lenyap itu, menuju tempat tinggalnya.
Sambil berjalan pelan dia menyalurkan seluruh kekuatan ilmunya ke indera pendengarannya. Berhati-hati jangan sampai terlewatkan bila ada pengintai, sekarang dia merasa sedang diawasi. Aneh padahal beberapa saat lalu dia yg mengawasi mereka. Ternyata keadaan sekitarnya tidak mengkhawatirkan. Waliki lega. Sambil merenung dia melangkah lebar, ingin cepat2 sampai di rumah. “ Besok pagi desa ini pasti geger. Akan ada berita hilangnya beberapa orang penting”.

Jumat, 09 Maret 2012

Cerita Silay Ku entri 7


Bab 5

Sesampai didalam sanggar, Damar duduk bersemadi, menutup mata dan melakukan penenangan pikiran, ingin dia memusnahkan semua pikiran duniawi.
Entah sudah berapa lama Damar dalam situasi seperti itu, ketika suara halus dan lembut itu menembus dinding pemusatan pikiran, lalu menggapai saraf2 pendengarannya sehingga membuka hubungan lagi dengan dunia.
“ Kakek,…maafkan aku sudah mengganggu istirahatmu “, Sekararum sudah berdiri di balik pintu. Lilin untuk penerangan didalam sanggar sudah dia nyalakan. Terdengar suara jangkerik dan hewan malam lainnya saling bersautan.
Perlahan Damar membuka mata, pertama kali dilihat adalah cucunya sedang duduk bersila dihadapannya, bibirnya tersenyum menampakan keceriaan di wajahnya. Bagaikan kerinduan yg terobati, Damar merasakan kebahagiaan ketika wajah Sekararum muncul dalam hubungannya kembali dengan dunia.
“ Hari sudah gelap, aku sudah siapkan makanan”, ucapan Sekararum menyadarkan pikiran Damar.
 “Aku harus ke pertemuan dewan guru”, ujar Damar dalam hati. Namun dengan tersenyum dan membelai cucunya, dia menyahut,” Terima kasih Sekararum, ayo kita makan bersama”.
Mereka berjalan keluar sanggar menuju rumah utama.
Setelah empat malam diluaran sana, maka menyantap masakan Sekararum dimalam ini, beda dengan biasanya, serasa lebih nikmat bagi Damar. Suasanapun diisi dengan cerita Sekararum tiada putus2, kadang diselingi tawa mereka berdua.
 “ Guru Rampal, mengusir  Bawana saat mendatangi kami sedang berlatih di Grojoganjati”.
 Mendengar itu Damar sesaat menghentikan suapan nasinya, teringat bahwa dia yg menyuruh Bawana pergi ke Grojoganjati “ Mengapa…?” tanyanya.
“ Alasannya bisa mengganggu latihan kami. Tapi semua tahu kalau paman tidak suka padanya, gara2 dia selalu menolak berlatih bersama. Bahkan pernah ketika di aula Bawana menantang kehebatan ilmu barisan pedang yg diajarkannya. Kasihan guru Rampal, dia orangnya sabar, pendiam, menghindar pertengkaran, namun  Bawana sungguh keterlaluan. Sepertinya selama ini guru Rampal bersikeras menahan diri karena melihat sosok kakek guru Aryasulu dibelakang  Bawana. Herannya guru Wiryo yg juga berada disana nampak lebih membela Bawana , jadinya anak ini makin besar kepala”.
“ Lalu apa yang terjadi dengan tantangan itu…?” Damar penasaran.
“ Sepuluh anak murid tingkat tujuh yg sedang berlatih, disuruh untuk membentuk barisan pedang pringjati, masing2 memegang sebatang rotan sebagai pengganti pedang, demikian juga Bawana. Ternyata barisan pedang itu saat dimainkan oleh mereka tidak sebagus diharapkan, akupun melihat mereka banyak melakukan kesalahan saat menyerang, sehingga pertahanan kokoh dari ilmu itu, jadi longgar. Hal ini dapat dilihat oleh Bawana, dengan suatu gerakan tipuan, dia dapat memancing lawan akibatnya sisi timur barisan kocar kacir, lalu berpengaruh pada susunan barisan. Satu persatu murid tingkat tujuh itupun berjatuhan”.
“ Murid tingkat tujuh memang baru awal menerima ilmu ini, …tapi gerakan tipuan apa yg dilakukan Bawana?”
“ Jurus melempar bulan memungut bintang”.
“ Ahh, dia melawan barisan itu dengan menggunakan ilmu tingkat tujuh…!”  
“ Ya, itu dia ucapkan dengan sombong sebelum pertarungan. Karena  susunan barisan itu terdiri dari murid tingkat tujuh, maka diapun akan melawannya dengan ilmu tingkat tujuh pula”.
“ Hebat…!”
Sekararum hanya mendengus dan mencibir ketika mendengar Damar memuji. Kemudian berkata ,“ Seharusnya mereka tidak segampang itu dikalahkan, tapi para murid itu berlaku sembrono. Setelah kejadian itu sikap Bawana makin meremehkan guru Rampal, tapi dia tidak meladeninya, malah berkata pada Bawana”.
Sekararum berhenti sesaat  kemudian dengan suara dibuat2 sambil berlagak seperti guru Rampal,  dia berkata, “Dengan merasakan situasinya, seharusnya kamu bisa menang lebih cepat, seandainya menggunakan jurus membelah awan menangkap bintang. Akupun tanpa sadar berteriak – Benar…!,  Tapi Bawana hanya tersenyum, mengucapkan salam lalu ngloyor pergi. Begitu melewati tempatku berdiri, dia melototi aku…”.
Damar tersenyum sambil manggut2,” Itulah bedanya sifat manusia, Rampal orangnya rendah hati, dia pasti menggunakan jurus tersebut, artinya mengalahkan lawan tanpa menyakiti. Tapi Bawana sifatnya besar kepala dan angkuh. Jurus yg dia gunakan akan mengalahkan lawannya secara memalukan”.
Sekararum mencibir membantah, “ Tapi hal itu akan menambah orang tidak suka padanya.  Benar kata paman, bahwa dia tidak mengerti situasinya. Dia bertarung hanya ingin dipuji, tetapi tidak menghayati suasana pertarungan. Padahal berhadapan dengan murid2 lebih rendah tingkatannya, lalu mengalahkan mereka dengan cara seperti itu, akan menambah kebencian kepadanya. Berarti dia belum bisa menjiwai ilmunya”.
Damar memandang cucunya itu dengan roman kagum. “ Aku senang kamu bisa berkata seperti itu. Berarti kamu dapat mencari intisari ilmu yang kamu dapatkan selama ini”.
Tiba2 Damar terdiam, suara ini begitu halus terdengar ditelinganya, seolah masih dikejauhan, tetapi getaran yg diakibatkan olehnya menunjukan bahwa  sumbernya berada disekitar sini. Namun sulit dia menentukan posisinya. Pelakunya menggunakan ilmu meredam bunyi.
“ Jangan menguping…tunjukan dirimu!”, seru Damar. 
Sekararum belum mengenal situasinya, hanya terbengong kaget, mendengar kakeknya berkata demikian. Cepat dia menyimpulkan ada orang diam2 secara sembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi dimana, dia sulit menerka. Seketika suasana menjadi tegang. Sekararum memandang kakeknya, masih duduk dimeja dihadapannya dengan mata meram, dilihatnya urat2 kecil menonjol dikeningnya. Kakeknya berusaha mencari keberadaan pelaku.
Kemudian dia hanya melihat bayangan ketika Damar telah melesat seperti terbang kearah luar, melewati jendela yg masih terbuka.
Sebenarnya semua kejadian itu hanya berlangsung sekian detik, ketika Sekararum baru menyadari semuanya, dia mendengar dari arah halaman samping rumah suara gemeresak dedaunan dan benturan dua manusia.    
Kenyataannya adalah Damar benar2 telah memergoki sipenyusup. Bahkan kali ini dipelataran yang luas, dua orang itu berdiri berhadap2an berjarak tujuh langkah. Dengan bantuan sinar bulan dan pancaran obor yg megantung dipelataran, Damar melihat sosok dihadapannya ini bertubuh tinggi dibungkus jubah warna hitam. Wajahnya terlindung kain lurik, hanya terlihat sepasang mata bersinar tajam. Namun sulit bagi Damar untuk dapat mengenali sinar mata siapa itu.
Bahkan dari benturan tadipun dia dapat memastikan bahwa orang ini bukan penghuni perguruan. Tapi setidaknya dia dapat mengukur kemampuannya,  ilmu orang ini tidak berada dibawah dirinya.
“ Nama si pedang pucat ternyata bukan kosong belaka, sudah lama aku mendengar kehebatan dirimu pada puluhan tahun lalu, pengasinganmu dari dunia ramai tidak mengurangi kehebatanmu. Aku makin kagum saja…”. Sipenyusup berkata, suaranya tersamarkan oleh kain kerudung, namun masih sangat jelas dan tajam. 
Damar menyimpulkan dari suaranya, sosok misterius ini adalah laki2. Setelah lebih seksama memperhatikan penampilan sipenyusup, Damar menjadi kaget.
“ Sasadara…”, tanyanya dalam hati.
 Kejadian penyusupan ini sejenak menegangkan dirinya. Sudah empat puluh tahun sejak perguruan ini berdiri, ini adalah pertama kalinya. Ada apa sebenarnya. Namun begitu dia berusaha bersikap tenang.
“ Tak kuduga, sekali bertemu dengan kelompok Sasadara, ternyata mereka tak ubahnya seperti maling, mengendus2 bagai kucing kudisan”. Damar berkata,  suaranya bergetar lembut. Saat itu dilihatnya Sekararum telah berdiri disampingnya. Diliriknya wajah cucunya ini sangat tegang, tubuhnya gemetar menahan kegeraman. Namun tidak ada rasa takut terpancar dari sikap Sekararum, bahkan dirasakannya cucunya telah menyiapkan diri sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan yg akan terjadi. Ini membuat Damar lebih tenang.
Meskipun cukup pedas kata2 Damar, namun sipenyusup seolah tak terpengaruh bahkan dengan bersedekap dia menjawab, “ He..he…, suatu ketika aku pastikan kita akan saling bertemu dalam suasana lebih baik “, Berhenti sebentar, kali ini pandangannya jatuh pada Sekararum.
“ Ah..dan itu cucu tersayang, sungguh cantik seperti ibunya. Pasti mempunyai kepandaian yg tidak kalah pula”.
“ Kamu mengenal ibuku…?” seketika Sekararum memotong perkataan orang itu. Suaranya bergetar.
“ O ya,..wanita cantik dengan nasib jelek. Seorang laki2 menerima rejeki besar, malah menyia2 kan lalu meninggalkan , demi wanita sundal”.
Bukan hanya Sekararum, Damarpun seketika sangat terkejut mendengarnya. Meskipun diucapkan tenang tanpa emosi, tapi isi perkataan itu menimbulkan beribu arti baginya.
“ Apa maksud kisanak…” kali ini suara Damar benar2 tidak menyembunyikan keingintahuannya. Ada getar perasaan terpendam, hampir tak terkendali. Bahkan dia telah lupa tujuan orang ini menyatroni kediamannya.
Sorot mata tajam dibalik kerudung itu memandangnya. Ada sinar kemarahan terpancar sesaat, namun sedetik kemudian menghilang.
“ Ah…sudahlah, kalau kalian tidak mengetahui cerita sebenarnya, itu lebih baik. Sekarang ijinkan aku mohon diri. Dan maafkan kelancanganku memasuki perguruan tanpa seijinmu”, begitu tenang orang ini berkata, bahkan seolah tiada rasa bersalah diapun melangkang menjauh, hendak menuruni pelataran, tingkahnya sangat meremehkan.
Damar benar2 terbakar amarahnya, suatu hal terpenting selama hidupnya, adalah pertanyaan mengenai anak dan menantunya. Bahwa dia rasakan sipenyusup ini tahu jawabannya, malah ditanggapi dengan sikap jual mahal dan meremehkan, membuat pengendalian jiwanya terlepas. Bahkan Sekararumpun dapat merasakan kemarahan hebat dari diri kakeknya. Belum pernah dia selama hidupnya melihat, kakeknya seperti ini.
“ Tidak semudah itu…?” teriak Damar, diiringi kibasan ujung lengan kanan jubahnya mengarah kepada si penyusup. 
Akibatnya luar biasa. Si penyusup merasa ada tekanan kekuatan hawa panas berkecepatan tinggi akan mendorong dan menghimpit dadanya.
“ Mega Dahana”, desisnya kaget.
Pada benturan tadi dia merasa bahwa ilmu tuan rumah sungguh luar biasa, itu diluar perkiraannya. Bahkan ketika pengintaiannya kepergok, itu kejadian tak pernah diduganya. Padahal sangat sedikit orang mampu mengendus keberadaaannya ketika dia menerapkan ilmu meredam bunyi. Dan tenyata kegagalan ini telah dialaminya di sebuah perguruan terpencil ini. Dia ceroboh, terlalu meremehkan si pedang pucat.
Sekarang dia sedang dihadapkan pada serangan dahsyat yg tidak disangka2 dari tuan rumah. Dia tahu bahwa terlalu berbahaya untuk menghindar, bisa terlambat karena serangan ini meluncur sangat deras kearahnya. Sehingga secepat kilat dia menghimpun sepenuhnya tenaga murni, dia salurkan kearah tangan kanannya, kemudian didorongnya keluar. Memapaki hawa panas lawan.
Benturan dua hawa panas dari dua orang berbeda ini, sungguh dahsyat. Terdengar bunyi seperti cambuk yang dilecut dangat keras, menggeletar diangkasa, menggema di seluruh perbukitan. Sekararumpun merasakan akibatnya, ketika angin panas berhembus kencang menyambar dirinya seakan melontarkannya. Sambil menjerit kaget dia meloncat surut, menjauh dari jangkauan hawa panas, yg melingkar mengelilingi dua orang saling berhadapan ini.
Tenaga pantulan benturan itu sungguh luar biasa, sipenyusup terseret kebelakang satu langkah, bekasnya meninggalkan cerukan memanjang ditanah sedalam lima jari. Bahkan dengan memegang dadanya dan sedikit membungkuk, dia mencoba untuk tetap berdiri. Terlihat dia sempoyongan, namun begitu dia masih sempat mengutuki kejadian ini. Terdengar dia mengumpat habis2an.
Damar masih berdiri ditempatnya tidak surut sejengkalpun. Kondisinya ternyata tidak lebih baik. Meskipun dia berusaha kakinya masih tertancap bagai pasak dibumi. Namun dari sela2 pinggir bibirnya mengalir pelan darah segar. Gelungan rambutnya terlepas, sehingga rambut putih yang panjang itu terurai berkibar2 tertiup angin.
Mereka berdua diam berhadap2an. Membisu. Merasakan akibat bentrokan tadi.
 Suasana malam di pelataran atas bukit itu kembali sunyi. Hanya terdengar suara2 serangga malam, dan angin meniup kencang menggesek ranting2 pepohonan. Api obor bergoyang2, membuat bayangan ketiga manusia ini berlenggak lenggok. Sekararum masih berdiri menjauh, meski goncangan jiwa telah mereda, tetapi kekhawatiran menjalar dihati, demi dilihat kondisi kakeknya.
Tidak berapa lama kemudian terdengar suara sipenyusup, terbata2 serak dan pelan. Dia mengalami luka serius.
“ Hai …orang tua, aku memang salah masuk perguruanmu tanpa ijin dan menguping pembicaraan kalian, yang tidak ada artinya itu. Dan aku sudah minta maaf. Apakah perlu kau menghukumku sampai mempertaruhkan nyawa seperti ini. Dasar telur busuk, tai ayam tindakanmu tadi bisa membunuh kita berdua…!”.
“ Cerita sebenarnya tentang putriku…”, Damar seakan tidak menghiraukan perkataan sipenyusup, suaranya bergetar bercampur dengan luapan amarah dan menahan luka yg dideritanya.
“ Tanyakan sendiri kepadanya…!” geram sipenyusup. Tidak disangka hanya gara2 omongannya mengenai putri kakek ini, menyebabkan mereka hampir terbunuh.
“ Pasti sudah aku lakukan, kalau selama lima belas tahun ini, bisa bertemu dengannya”, Damar menjawab pelan. Amarahnya mulai reda. Dia merasa ada yang janggal dengan orang dihadapannya ini.
“ Apa…!” jawab sipenyusup heran. Sedetik itu dia seakan lupa dengan lukanya.
 “ Wanita itu juga menghilang dalam lima belas tahun ini…?” lanjutnya memastikan.
Sipenyusup memandang tajam Damar seakan tidak percaya, kemudian dialihkannya tatapan itu kepada Sekararum. Lama memperhatikan gadis itu.
Sambil menahan sakit dia berkata, “ Aku kenal sepasang pedang satu jiwa, tapi tidak berteman baik dengan mereka. Ketika sipedang sakti jantan berjalan bersama perempuan dari lembah ular, aku mengacuhkannya. Berarti didunia ini tidak ada lagi sepasang pedang sakti. Mereka telah berpisah”.
Tidak dapat menahan kesabarannya Damarpun bertanya, “ Darimana kamu dapatkan cerita ini…?”
“Kira2 lima belas tahun lalu, aku berjumpa dengan menantumu dan wanita ular itu di puncak gunung Bibis. Mereka layaknya sepasang kekasih. Dan ternyata memang itulah yang terjadi.  Kejadian ini tidak seorangpun di dunia tahu, sehingga berita ini terkubur dalam2 seiring dengan menghilangnya dua sejoli itu. Tapi aku tidak menyangka bahwa putrimu sipedang sakti betina, yg tegar dan pantang menyerah turut menghilang, dan tega meninggalkan seorang anak”.
Semua penjelasan orang ini susah dicerna Damar, luka setelah bentrokan tadi dirasakannya belum pulih, kemudian mendengar kenyataan bahwa lima belas tahun lalu, ketika putrinya sedang hamil, ditinggal suaminya, siayah jabang bayi, yg tidak lain menantunya sendiri. Membuat semua itu berputar2 dipikirannya, membentuk bayangan putrinya disaat2 kecil kala ditinggal ibunya, lalu ketika penuh derita ditinggalkannya, kemudian petualangannya dikala sudah dewasa, dan pernikahannya, terakhir kehamilannya. Dia merasa selama ini putrinya benar2 dirundung malang, kehidupannya hanya dihiasi kemuraman nasib dan derita.
Aliran darah dalam tubuhnya bergolak tak beraturan, menerobos bagai menggelontor deras jantungnya. Kemudian naik menghantam pusat saraf diotaknya. Bumi yg dipijaknya serasa berputar, menjungkirnya.
Samar2 dia masih mendengar sipenyusup berkata,“ Nah orang tua, hanya itu yg kuketahui, sekarang aku ingin pergi. Suatu saat kita akan berkenalan lebih dalam lagi ”.
“Tunggu…”, Sekararum berteriak, namun dia hanya melihat bayangan punggung sipenyusup telah memasuki kegelapan dibalik rimbunan pepohonan.
Cepat Sekararum ingin bergerak mengejar, niatnya terhenti ketika dilihatnya Damar jatuh terduduk, muntah darah.
“ Kakek…!” Sekararum menjerit, lalu meloncat kearah Damar.

Dibantu penerangan cahaya bulan, sipenyusup masih berjalan, melalui jalan setapak dihutan yg berkelok dan licin. Dia lega ternyata gadis itu tidak mengejarnya. Luka dalamnya tidak ringan, saat bercerita tadi, dia sekuat tenaga menahan gelegak aliran darah yg membalik dari jantungnya, sedangkan hawa murninya sudah terkuras.
Meskipun begitu dia tidak berhenti berjalan Untuk ukuran orang terluka, gerakannya masih sangat lincah, seolah dia sangat hapal dengan hutan ini. Arah yg dilaluinya semakin menjauh dari lokasi para penghuni perguruan, bahkan tidak akan terlihat oleh para peronda sekalipun. Jalan setapak ini hampir belum pernah dijamah manusia. Tapi jelas  semakin menuju keluar perguruan, dan menembus batas utara pedesaan pringjati.
“ Gara2 kakek keparat itu, aku keluar harus melalui jalan ini…” gerutunya dalam hati.
Seharusnya dia keluar melalui jalan ketika dia masuk perguruan tadi, yaitu bagian depan. Ketika itu dengan gerakan bagai bayangan dia berhasil mengecoh para peronda perguruan, terbang melewati atas tembok perguruan, kemudian seperti burung dia hinggap diatas beberapa bangunan didalam perguruan. Dan akhirnya mencapai tempat tinggal sipedang pucat, diatas bukit. Semua itu dia lakukan dalam sekejap, hampir tanpa menyentuh pelataran halaman perguruan sama sekali. Namun sekarang kondisinya berbeda, luka dalam ini telah membuat dirinya seperti orang baru berlatih ilmu. Mustahil dia mampu melakukan seperti tadi, bahkan meloncati tembok perguruan yg tinggi menjulang, tanpa dilihat para penjaga, itu serasa tidak mungkin.
Wilayah perguruan sudah dilihatnya jauh dibelakang, diatas perbukitan. Dia memastikan keamanan sekitarnya ketika berniat berhenti berjalan.  Dibawah pohon tinggi dan besar, dia duduk bersandar, dibukanya kerudung penutup muka. Sinar bulan menerpa seraup wajah dengan bibir belepotan darah segar. Segera dia usap darah itu dengan kain kerudungnya, hingga bersih. Kemudian mengambil sesuatu dari balik bajunya, dan menelannya.
Duduk bersila, sambil menutup mata, dia mengatur kembali organ2 dibagian dalam tubuh . Dia berusaha memulihkan luka. Atau setidaknya menguranginya. Dibantu obat yg telah ditelannya, maka beberapa lama kemudian kondisinya berangsur2 membaik, tapi belum pulih seperti sedia kala.
“ Kau ceroboh…!”, suara itu muncul dikegelapan hutan. Entah darimana datangnya, membuat dia tercekat. Kaget tiada kepalang, akibatnya untuk sekian detik tubuhnya merasa kaku, jantung berhenti berdegup dan ketegangan merayapinya.
Tidak jauh didepannya, dibawah pohon tinggi dan besar pula, melalui pantulan cahaya bulan dari sela2 dedaunan, dia dapat melihat sesosok manusia berdiri bersandar, bersedekap memandang tajam kearahnya. 
Setelah dapat menguasai diri, dan lama menerka siapa gerangan sosok asing itu, akhirnya diapun berkata, “ Ahh…tuan adipati, mengagetkan aku saja”, suaranya bergetar, rasa terkejutnya masih tersisa.
“ Aku menguntitmu sejak memasuki perguruan. Kejadian dirumah Damar, akibat kau terlalu meremehkan. Dia akan berusaha mendesak tujuanmu menyatroni rumahnya, beruntung kau keceplosan bicara masalah putrinya. Pengaruh ceritamu bagi dirinya sungguh luar biasa. Akupun tidak menduga”.  
Orang yg dipanggil adipati ini berperawakan sedang namun tegap. Usianya sekitar enam  puluhan tahun. Mengenakan tutup kepala dari kain hitam, bergaris2 warna emas, serupa dengan pakaian yg dikenakannya.
Adipati melangkah mendekat, kemudian duduk berhadapan,“ Apa yg kau dapat selama pengintaianmu”. Matanya masih tajam menatap.
Penyusup itu meram sebentar, mengatur kondisi tubuhnya. Selama jadi tenaga sewaan dia tahu bahwa orang dihadapannya ini mempunyai ilmu lebih. Beberapa kawan dikelompoknya, pernah menyebut bahwa adipati Tursada penguasa kadipaten Draw ini, kehebatannya tidak kalah dari baginda sendiri. Bukan rahasia lagi kalau dia kerap berbeda pendapat dan menentang kebijakan kerajaan selama raja baru ini memerintah. Anehnya selama itu pula raja tidak berkutik dan segan menghadapi adipati yg memerintah suatu wilayah dibagian selatan negerinya ini. Sehingga diantara kedua pihak seolah sepakat tidak akan terjadi benturan kekuatan. Meski begitu adipati Tursada masih menaruh rasa hormat dengan memberikan upeti dan rutin menghadap di balairung istana. Raja menganggap hal itu sebagai tanda tunduk padanya. Dan sekarang si penyusup merasakan tingginya ilmu si adipati ini. Seumur hidup, belum pernah ada manusia sanggup menguntit tanpa sepengetahuannya. Tidak berlebihan  bila dunia menjulukinya kucing bayangan, karena keahliannya menyatroni dan membuntuti, tanpa diketahui jejaknya.
Tapi kenyataan pada malam ini, adalah dua kali nama kucing bayangan dipecundangi. Kehebatan julukan  itu seolah tiada arti lagi, hanya gelar kosong. Maka sambil menghela nafas dia menjawab, “ Gerakan ini sudah menyusup di kecamatan ini. Pihak luar sering mondar mandir didalam dan disekitar desa Pringjati. Aku perkirakan mereka akan memulai dari sini, tapi aku belum tahu, rencana macam apa yg akan dijalankan. Mereka seakan menunggu aba2 untuk bergerak. Tapi aku belum memperoleh keterangan tentang siapa pemimpinnya. Sepertinya dia tidak akan terjun langsung, melainkan bergerak melalui wakil2nya. Bahkan mereka bersiasat ki camat seolah2 terbuai dengan janji2 adipati Sepasta, dengan berpura2 sangat patuh mengabdi. Dia menyambut baik utusannya, bahkan dia tidak menolak penempatan pasukan kadipaten disekitar wilayah ini. Juga dia bersedia  menerapkan pajak pada penduduk. Meski mereka seakan2 dengan berat hati menerima kebijakan ini. Namun menjamin tidak akan timbul keributan. Perkecualian di perguruan ini, mereka khawatirkan Damar tidak bisa diatur, sehingga mengganggu suasana tenang tanpa kecurigaan dari kadipaten dan kerajaan“, sipenyusup berhenti sebentar, roman muka adipati tidak berubah, tertarik mendengarkan tapi seakan sangat sabar menunggu. 
“ Sepuluh tahun lalu, Damar membentuk dewan guru untuk membantunya. Anggotanya dua puluh orang. Pengaruh dan kendali mereka sangat besar pada anak murid dan orang sekitar. Bahkan dua anggota yang paling tua, mereka dipanggil Aryasulu dan Sartani, dianggap memiliki kemampuan melebihi Damar. Dan Arya adalah ayah dari ki camat Pringjati. Perkiraanku melalui perguruan ini dengan diatur oleh dua murid tua itu akan dijadikan penopang utama gerakan mereka. Hanya aku penasaran, apakah Damar belum mengetahui gerak gerik dua murid tuanya itu. Maka aku menyatroni kediamannya, mengawasi tindak tanduknya, bahkan mencoba menguping pembicaraan.  Akhirnya tuan mengetahui kejadian selanjutnya”.
Adipati terdiam sejenak, dengan mengerut kening dia berkata, “ Menurutmu Damar ikut serat dalam gerakan ini?”.
“ Tidak, meski aku harus lebih meyakinkan pendapatku ini”
“ Berarti dipihak mana dia akan berdiri?”
“ Sipedang pucat terkenal sederhana, jujur dan berjiwa satria. Melihat wataknya dia lebih mementingkan kesejahteraan rakyat dari pada penguasa negeri ini. Sebagai pemimpin sebuah perguruan, tentu berbagai iming2 dari adipati dan pihak2 lain akan menggodanya. Tetapi sulit mengikat dia dalam lingkaran perebutan kekuasaan apalagi sebagai tukang pukulnya adipati. Meskipun hal ini akan membahayakan dirinya, mengingat orang2 kepercayaan yaitu dewan guru ada gelagat mencoba mengkhianatinya. Dan itu ditentukan pada pertemuan besok ”.
“ Berapa   kekuatan perguruan ini, seandainya terjadi bentrokan dengan pasukan”.
“ Kira2 tiga ribu orang. Ditambah bekas anak murid yg tersebar diluar, bila mereka masih setia. Semuanya bisa menjadi lima ribu orang”, Begitu yakin kucing bayangan ketika menjawab. Dan adipatipun menyadari kebenarannya. Karena dia tahu pekerjaan orang dihadapannya ini. Sebagai orang sewaan, ahli dalam pengintaian dan rahasia musuh, bekerja secara rahasia, dan merahasiakan penyewanya. Meski nyawa taruhannya. Itulah yg dia ketahui tentang kehebatan kelompok ini. Maka dia tidak ragu2  membayar mahal.
“ Apa rencanamu selanjutnya”.
“Selama ini aku masih mencari berita penting diwilayah ini, termasuk hasil pertemuan utusan adipati dengan Damar. Bila semua ini selesai, akan aku laporankan  ditempat dan waktu yg sudah ditentukan. Aku menyesal karena ketidakbecusanku akhirnya kita berjumpa disini, diluar rencana yg telah disepakati“, mata kucing bayangan menyilau tajam, menantang adipati. “Dan aku tidak suka, bila yg menyewaku membayangi pekerjaanku, seolah tidak percaya kemampuanku”.
Adipati tertawa pendek,” Yang kau lakukan luar biasa. Tidak ada orangku sanggup mengerjakannya. Aku beruntung mendapatmu. Mengenai pertemuan ini, bukan aku tidak mempercayai kemampuanmu, tapi kebetulan aku melewati lembah ini, sepulang dari makam eyangku di Slompretan. Seandainya menyinggungmu, aku minta maaf”.
Diapun berdiri sambil menangkupkan kedua tangannya. Dengan tenang kucing bayangan ikut berdiri.
“ Tuan adipati, tidak perlu seperti ini. Aku lancang bicara”, sambil menangkupkan telapaknya, dia membalas hormat.
“ Sudahlah…anggap tidak pernah ada kejadian seperti ini”.
“ Terima kasih”.
Masih tersenyum, adipati menoleh kesamping kanan.
“ Paman…!”, ujarnya.
Terkesiap hati kucing bayangan, demi melihat dari balik kegelapan pohon, disebelah tempat dimana adipati ketika itu muncul, kini melangkah seorang laki2 bertubuh kurus dan tinggi. Berjubah hitam dengan kain penutup kepala juga hitam. Gerakannya pelan, hebatnya injakan kaki pada rerumputan dan dedaunan kering yg berserakan, tidak menimbulkan suara. Benar2 ilmu meredam bunyi tingkat tinggi. Sesaat itu kucing bayangan hanya bisa bengong. Tatapannya pilu kearah laki2 ini.
“ Sebelum aku pergi…”, terdengar suara adipati. “ Maukah menjawab, ada hubungan apa kau dengan perempuan lembah ular…?”.
Kondisi kucing bayangan dalam keterkejutan luar biasa, adanya laki2 yg dipanggil paman, dan kini berdiri disamping adipati, benar2 diluar jangkauan nalarnya. Hingga sesaat dia seperti tidak mendengar pertanyaan adipati.
“ Dia kekasihku…”, jawabnya datar, tanpa gejolak perasaan. Perhatiannya lebih tertuju kearah laki2 tua misterius itu – yg dari tadi hanya diam membisu, sorot matanya dingin, acuh.
Adipati hanya manggut2 ,“ Apakah kau melenyapkan mereka?”
“ Kehebatan sipedang sakti jantan sudah termashur. Digabung dengan perempuan itu, maka mereka bukan tandinganku. Perlawananku hanya beberapa jurus. Kutinggal gelanggang dengan membawa bekas luka diperutku”.
Adipati terdiam, hanya matanya menatap kucing bayangan.
Kemudian dia berkata, “ Aku pergi dulu…”, tanpa menunggu jawaban, mereka berdua sudah bergerak, dan lenyap digelapan hutan.
Tinggal kucing bayangan berdiri termangu. Semua peristiwa dimalam ini telah meruntuhkan kehebatan yang dibanggakannya. Dua orang tadi membuktikan, betapa luas ilmu didunia ini. Dibanding mereka, dia merasa kecil. Sambil menghela nafas panjang, dia meneruskan perjalanannya menuju perbatasan utara pedesaan.

Rabu, 29 Februari 2012

Cerita Silat Ku entri 6


Bab 4

Damar melanjutkan memakan sisa2 pisang bakar, ketika pendengarannya menangkap langkah2 kaki meski ringan menapaki tangga berbatu dibawah sana menuju ke pekarangan. Seperti acuh dia meneguk habis isi gelasnya dan berdiri keluar dari teras, untuk menyambut kedatangan tamu.
Dilihatnya kini tiga sosok muncul dari bawah bukit, melangkah beriringan dijalan setapak. Paling depan seorang laki2 usianya lebih tua dari Damar, tubuhnya tinggi kurus. Nama laki2 tua ini Sartani. Murid pertama Damar.
Dibelakangnya berjalan mengikuti, seorang pria tua seusia Damar, meski hanya setinggi separuh pria pertama tadi, tapi bentuk badannya sangat menarik perhatian, karena gendut bulat seperti bola, lebar tubuhnya memenuhi lebar jalan setapak ini. Sedang kepalanya plontos. Si tua gemuk ini mengenakan jubah tebal warna putih yg dibiarkan terbuka, memperlihatkan perut buncit besar mirip gentong dengan pusar menonjol.  Ditangan kanannya menggenggam tongkat kayu bulat yang besar mengilap dan meliuk2 bagai ular, panjangnya dua kali tinggi badannya. Hebatnya sigendut plontos ini sangat cepat dan ringan langkahnya, seolah dia mengelinding dan memantul mirip bola. Dialah murid nomor tiga , Gagar namanya.
Laki2 paling belakang ini, setinggi Damar, sangat tenang penampilannya. Usianya setara lainnya. Wajahnya masih menyisakan ketampanan di masa mudanya, rambut putihnya lurus berminyak panjang sebahu, dibiarkan terurai tanpa ikatan.  Murid kedua, Aryasulu. Selintas melihat penampilannya, orang pasti akan bergumam dalam hati betapa pesoleknya kakek ini.
Tidak lama kemudian mereka sudah berdiri berjajar dihadapan Damar.
“ Salam, …semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,” serempak mereka mengucapkannya, sambil menundukan kepala. Hal yg sama dilakukan Damar saat membalas salam mereka.
“ Maaf, …kedatangan kami mungkin mengganggu guru. Setelah lima hari ini bepergian. Sekararum pasti ingin mengobrol lama2 dengan guru ”, Sartani membuka pembicaraan. Suaranya datar dan berat.
Dengan mengibaskan sebelah tangan, seolah isyarat agar mereka jangan sungkan2, Damar berkata, “ Kondisi kecamatan Pringjati yg terdiri  lima desa telah mengalami kemajuan pesat, bukan hanya pertanian dan peternakan yg ramai, tapi telah banyak pedagang menyebar merata hampir disetiap sudut, apalagi mulai banyak pande besi, tukang pintal dan tenun dan tempat penyamakan kulit. Bahkan sepenglihatanku tanah yg dijadikan tempat tinggal dan persawahan jadi semakin luas. Banyak pendatang membuka lahan baru. Sehingga diseluruh pelosok desa2 ini jalanan semakin bercabang. Apalagi jalan menuju wilayah Draw diperlebar, sehingga sangat ramai orang melewatinya. Aku perhatikan banyak orang dan pedagang dari kecamatan lain juga melalui  jalan tersebut. Padahal satu tahun lalu, mereka  lebih baik memilih jalan sedikit memutar melalui kecamatan Tangguljati “
 Kali ini tatapan Damar tertuju pada kakek pesolek,“ Aku bangga dengan cara kerja putramu, mengelola wilayah ini, Arya…,”
Yang disentil dengan muka masih tersenyum dan mengangguk hormat menjawab,” Terima kasih, semua berkat didikan dan arahan tiada bosan2nya dari guru kepada kami, sehingga saya dapat memberi saran2 untuk pembangunan sebuah pemukiman yg makmur kepada Bagaswala”, suaranya lembut, melibihi halusnya suara Damar.
Gagar mendadak menimpali, suaranya mirip anak anak, “Benar, tapi dengarkan dulu, Ada ribuan pasukan ditempatkan disekitar kecamatan ini. Dan mulai sekarang setiap penduduk akan dikenakan keharusan membayar pajak kepada kadipaten. Akan ada beberapa petugas dipimpin bendahara yg menghitung berapa besarnya pajak yg akan dikenakan pada masing2 penduduk. Nampaknya pajak diwajibkan pada semua lapisan, kaya atau miskin. Bagi yg tidak mampu membayarnya, akan disita harta bendanya, dan diusir dari wilayah ini. Apa kita hanya berdiam”.
Damar tercenung mendengar perkataan Gagar, memang akhir2 ini berita2 rencana pungutan pada penduduk semakin gencar. Tapi haruskah ada kekerasan. Diliriknya Aryasulu yg terdiam  hanya menyungging senyum. Sedang Sartani seperti biasanya, raut mukanya datar, sulit ditebak isi hatinya.
Kini mereka berjalan menuju ke samping rumah, melalui jalan setapak dari batu, kearah belakang menuju kebangunan kecil , sebuah sanggar.
Suasana mendadak sepi. Didalam sanggar, mereka duduk bersila membentuk lingkaran. Anehnya posisi ini bukan siksaan bagi Gagar yg gendut dan tambun itu. Dalam sanggar ternyata kosong melompong, hanya tergelar tikar dari anyaman bamboo menutupi separuh luas lantai.
Gagar melanjutkan, “Raja Drambura yg baru memerintah enam bulan ini, telah menekan seluruh adipati diwilayah negeri, bahwa tanah, air dan hasil bumi yg keluar dari dalamnya adalah milik kerajaan. Raja bagai penguasa tunggal “. 
Tiba2 sekujur tubuh Damar menegang, tapi tetap dengan suara halus,“ Apa yang terjadi bila Bagaswala, menolaknya...?” entah kepada siapa diantara mereka bertiga, dia bertanya.
Aryasulu masih tersenyum menjawab,” Mungkin seribu pasukan akan meratakan desa  ini. Raja telah bertindak cepat, dia telah mendirikan barak2 pasukan diseluruh wilayah negeri ini, bahkan daerah terpencilpun tidak luput dari jangkauan”.
Damar mengangguk pelan, “Benar2 cerdik dia”.
Selama pembicaraan ini Sartani hanya diam mendengarkan, wajahnya tertunduk dengan mata terpejam.
 “ Sartani, apa kebijakan itu berlaku juga pada perguruan ini “, pertanyaan Damar kini tertuju pada pria jangkung ini.
Dengan perlahan dia mengangkat wajah, matanya tertuju pada Damar,” Sebenarnya kedatangan kami berkaitan dengan masalah ini. Besok pagi Bagaswala akan membawa petugas dari kadipaten berkunjung kemari. Kedatangan mereka hendak memaparkan kebijakan itu”.
Tiba2 Gagar menyahut suaranya keras melengking,“ Selama ini, kita tidak pernah membayar sesen pun pada kadipaten atau kerajaan. Perguruan ini dapat besar seperti sekarang ini, juga hasil perjuangan kita sendiri. Pihak kadipaten atau kerajaan tidak pernah memberi bantuan bahkan bermanfaat pada kehidupan kita. Untuk apa harus tunduk pada peraturan mereka. Kita harus melawannya. Lima ribu penghuni perguruan siap untuk berjuang menentang kezaliman ini…!”, mukanya merah, dan nafasnya menggebu setelah dia mengakhiri kalimatnya.
Semua orang terkesiap, mereka menatap tajam pada sigendut, Aryasulu sekejap sempat kehilangan senyumnya, lalu suaranya tenang ketika berkata,” Semua harus dipertimbangkan dulu dengan matang, perkataan Gagar agar kita melawan kezaliman, saya setuju, tapi kita harus bisa mengukur kekuatan sendiri. Aku sudah berhitung mengenai ini. Dari lima ribu penghuni perguruan, mungkin hanya tiga ribu dapat ikut berjuang, karena sisanya adalah anak2 dan para perempuan lemah, mereka harus dilindungi. Ingat diluar wilayah kita masih terdapat puluhan barak pasukan, mereka secepatnya dapat memberi bantuan kepada seribu pasukan yg sudah ditempatkan disini. Menurutku sebaiknya menunggu hasil dari pertemuan besok. Akan tetapi sekiranya kita diharuskan mentaati kebijakan itu, maka jalan kekerasan seperti diusulkan Gagar bukan pilihan tepat, aku sarankan kita meminta kelonggaran waktu dan besarnya pungutan”.
Gagar tampaknya belum bisa menerima usul Aryasulu,“ Perguruan ini dan penghuni setiap pedesaan yg dipimpin Bagaswala harus bersatu berjuang bersama menentang peraturan itu!” suaranya melengking seperti tadi, bahkan dengan mengepal tinju dia mengangkat tangan kanannya. Dengan menggeleng2kan kepala Aryasulu menanggapinya sambil tersenyum.
Damar akhirnya berkata,” Sepertinya Bagaswala sudah mengambil keputusan untuk menuruti titah adipati. Gagar benar bahwa bila peraturannya sangat mencekik rakyat, ini adalah bentuk kezaliman, harus dilawan, tapi sekarang belum saatnya. Kita menunggu hasil dari pertemuan besok, dan saya pikir usul dari Arya dapat kita jalankan. Aku minta kalian bertiga selalu berhubungan dengan Bagaswala, dan selama itu kita melihat akibat dari kebijakan ini di daerah lainnya. Dan mudah2an tanpa menunggu waktu lama, kita segera menentukan tindakan”.
Sartani mengerutkan keningnya, begitu mendengar perkataan Damar, matanya melirik kearah Aryasulu. Yg dilirik mengangguk perlahan, dengan senyum tak pernah hilang dia berkata,” Apa guru menganggap kebijakan ini adalah suatu kezaliman. Dan ada keinginan kita nantinya akan melawan kebijakan raja ini?”
“ Kita akan melihatnya besok. Apakah besarnya pungutan itu cukup masuk akal dan wajar dibebankan pada masyarakat. Apabila kita menganggap pungutan yg ditarik sangat tinggi dan mencekik leher rakyat, maka itu adalah kesewenangan. Perguruan ini dibangun untuk kedamaian dan kesejahteraan tidak hanya para penghuninya, melainkan semua manusia. Apabila penghuni perguruan tahu ada kezaliman dan kesewenang2an dimuka bumi ini, maka wajib melawannya. Untuk apa kita hidup  diatas penderitaan orang lain. Tapi kita tidak akan bertindak ceroboh dan nekat, setiap langkah dalam memerangi kesewenang2an ini harus diperhitungkan dengan matang, karena yg kita hadapi adalah raja yg memerintah negeri Sirias”.
Suasana menjadi sunyi. Sartani dan Aryasulu menundukan kepala terbenam dalam pikiran masing2. Sedang Gagar hanya manggut2 dengan menatap Damar. Seakan memberi dukungan.
Sambil mengangguk2 pelan Damar berkata, “Sartani, kita harus mengumpulkan dewan guru untuk merundingkan hal ini. Nanti malam di aula kita adakan pertemuan. Aku pikir masih banyak pekerjaan harus kalian selesaikan, aku persilahkan kalian meninggalkan sanggar ini”.
 Terima kasih guru…salam”, tanpa berkata2 lagi serentak mereka berdiri dan meninggalkan sanggar.
Seperti tadi, saat mereka naik ke bukit, ketika turunpun mereka jalan berbaris dengan posisi yg sama. Langkah mereka ringan dan cepat.
Didalam sanggar Damar masih merenung. Keadaan negeri Sirias setahun terakhir ini selalu diselimuti ketegangan. Kehidupan rakyatnya serasa terombang ambing didalam lingkaran tarik menarik pengaruh antara raja Giril dan Drambura. Cerita lama terulang kembali. Dua tokoh pelaku utama yang masih satu garis keturunan ini berebut kekuasaan. Giril sudah berkuasa selama 20 tahun. Akhirnya enam bulan lalu tumbang oleh pamannya sendiri, yg usianya dua puluh tahun lebih tua. Sekarang Drambura seperti gelap mata. Diliputi ketakutan berlebihan akan perebutan kekuasaan oleh pihak2 yang ingin membalas dendam atau memanfaatkan keruhnya situasi negeri, membuat dirinya ingin membentengi diri. Sumber keuangan yang terbatas dan sudah menipis, memunculkan kebijakan penarikan pajak kepada rakyatnya. Suatu cara kuno yg umum diterapkan para penguasa terdahulu, namun dalam perjalanannya lebih banyak ditentang rakyatnya daripada didukung.
Tanpa sadar Damar kini sudah berdiri ditepi lereng bukit dibelakang sanggar. Pandangan jauh menerawang diseberang lembah. Matahari tepat diatas kepala.
Sebentar lagi Sekararum melakukan perjalanan, berarti aku punya banyak waktu untuk menilik dan menata perguruan ini.
Entah karena pikirannya sedang terpusat kosong seperti melamun, atau langkah kaki ini memang tak terdengar, ketika desir itu menyentak dirinya, dan sepersekian detik kemudian disusul suara anak muda menyadarkan Damar. Atau mungkin mengagetkan dia.
“ Salam guru besar, saya anak murid bernama Bawana tidak sengaja mengganggu ketenangan guru. Saya menuju keatas sini, sebetulnya ingin mencari Sekararum. Kami ada janji bertemu disini”. suaranya bergetar, tidak berani dia mengangkat muka. Sehingga rambut hitam lebat dan lurus menjuntai jatuh menutupi wajahnya. Tubuhnya tegak berdiri lurus dengan kaki saling merapat. Kedua telapak tangannya saling bertautan didepan dada. Sikapnya benar2 hormat bahkan sedikit ketakutan.
Damar menoleh kearah pemuda yg berjarak sepuluh langkah dibelakangnya, “Sudah berapa lama pemuda ini berada disitu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengar kehadirannya”, bisiknya.
Sehingga sesaat kemudian dia membalas salam.
Setelah berjalan lebih mendekat, kali ini Damar dapat memperhatikan penampilan pemuda ini. Rambutnya hitam tebal dan lurus panjang sebahu, dengan ikat kepala bermotif sulaman bunga, mengenakan pakaian biru mencolok, dilapisi jubah tipis putih berhias bunga merah. Bau harum yg ringan terhembus dari pemuda ini. 
“Ahh…kakek dan cucu ternyata sama2 pesolek”, serunya dalam hati.
Bawana merasa rikuh ketika Damar berdiri dihadapannya, seolah ingin menelanjanginya.
” Sekararum berada di Grojoganjati, dia bersama murid lain sedang mendalami ilmu barisan pedang”, Damar menyahut.
Selama hidup di perguruan baru sekarang ini Bawana berbicara dengan guru besar Damar. Ternyata baginya suara kakek ini  lembut dan halus, tidak segarang yg dia perkirakan sebelumnya. Seketika perasaan tenang menggelayutinya.
 “ Berapa usiamu? sudah sampai tingkat berapa kamu diperguruan ini?” Damar tahu bahwa Bawana mencari Sekararum karena mereka ingin menelusuri jalan tembus baru.
“ Usia murid dua puluh tahun. Kini murid bersama guru Lamping sudah  menyelesaikan tahap akhir ilmu pedang tingkat sebelas”, ketenangan perasaan membuat Bawana percaya diri, saat menjawabpun, meski dengan sikap hormat tapi nadanya penuh kebanggan, ada senyum dibibirnya. Namun tatapan matanya masih kearah bawah, dia menghindar berpandangan langsung dengan Damar.
Dengan manggut2 Damar lebih seksama memperhatikan pemuda dihadapannya ini “Aku bangga ternyata pemuda seusiamu sudah mampu berlatih tanding dengan guru Lamping, sampai akhir tingkat sebelas. Sangat jarang penghuni perguruan ini mampu melakukan sepertimu”. Benar2 tulus ucapan Damar ditelinga Bawana, sehingga pemuda ini  memberanikan diri mengangkat muka dan menatap guru besar.
Mata yg ditatapnya itu ternyata begitu teduh dan lembut, tapi diperhatikannya ada kepedihan disana. Sangat beda dengan milik Sekararum, yang bebas, cerah dan periang itu. Namun Bawana melihat ada kemiripan wajah diantara kakek cucu ini.  
Bagi Damar wajah Bawana sangat beda dengan wajah ayahnya, ternyata wajah pemuda ini seperti bayangan di cermin bagi wajah kakeknya. Benar2 sangat mirip Arya dikala muda.
“ Apa kakekmu masih sering mengajarmu ?”, tiba2 Damar bertanya.
“ Akhir2 ini kakek Arya bersama kakek Sartani sering keluar perguruan, bertemu ayah di pendopo, jadi jarang beliau melatih saya”.
“ Hmm…”. Masih menatap Bawana, kali ini suaranya tegas,” Aku ijinkan kamu menunggu Sekararum disini, atau kalau kamu ingin cepat bertemu, jumpai saja dia di Grojoganjati. Tapi kalau kalian berencana menelusuri jalan tembus yg baru ditemukan, lebih baik dihari lain saja”.
Salah tingkah Bawana mencari jawaban, hingga mukanya tertunduk memerah. Tidak disangka tujuannya kemari telah diketahui oleh Damar.
Akibatnya terbata2 dia menjawab, “Ee..ee..anak murid minta maaf. Seandainya tahu kalau Sekararum harus berlatih ilmu barisan pedang, tentu tidak akan kemari”.
“ Mengapa kamu tidak ikut berlatih ilmu barisan pedang?”
“ Saya tidak menyukai ilmu pedang dalam barisan. Para paman guru pernah berkata bahwa saya tidak berjodoh dengan ilmu itu, karena sering merusak kerjasama kelompok, akibatnya barisan pedang menjadi berantakan”.
“ Apa yg kamu rasakan ketika menjadi bagian barisan pedang?”
“ Ketika sedang melihat kedudukan lawan, ada keinginan kuat untuk segera menyerang sendiri, mengabaikan kesatuan kelompok dalam barisan pedang. Sehingga pernah saya tiba2 menjadi bertarung sendirian dengan lawan, sedang rekan yang lainnya dalam satu barisan hanya tertegun menonton”.
  Damar mengangguk pelan, “ Dalam ilmu barisan pedang, tidak hanya harus menyatukan kepandaian ilmu pedang, tapi juga sifat dan perasaan masing2 orang dalam barisan itu. Yang terutama adalah ketenangan dan kesabaran. Semakin kuat sifat itu diantara masing2 orang dalam barisan, dapat menimbulkan kerjasama ilmu pedang yang hebat sehingga barisan itu menjadi kokoh, padu dan menyatu seperti satu jiwa. Nampaknya sifat itu kurang kamu miliki. Sifat yang menurun dari ayahmu, namun bertolak belakang dengan sifat kakekmu”.
“ Saya mohon petunjuknya…”
“ Aku tidak akan mencoba merubah sifat bawaanmu ini. Dan aku tidak kecewa bila  kamu tidak tertarik dengan ilmu barisan pedang. Sudah seharusnya masing2 anak murid diperguruan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi ciri khasnya”, Damar berhenti sebentar kemudian lanjutnya, “Bila kau benar2 ingin minta petunjuk dariku, cabut pedangmu. Aku ingin tahu sampai dimana kemahiran ilmu pedangmu ditingkat sebelas”.
Mendengar itu Bawana hanya terpaku. Lama dia memandangi guru besar dihadapannya. Namun sikakek ini raut wajahnya masih seperti tadi. Sehingga menimbulkan ketenangan ketika dia mengeluarkan pedang tipis mengilap dari sarungnya.
“ Peragakan jurus ilmu pedang tingkat sebelas”, berkata Damar
Bawana memusatkan pikiran sejenak. Pedang digenggaman tangan kanan disilangkan lurus didada. Sedang tangan kirinya menyilang dibawah tangan kanan. Setelah memberi hormat pada Damar. Dia mulai bergerak selangkah dengan lambat sambil menyabetkan pedang lurus kedepan. Tiba2 gerakannya berubah cepat dengan meliukan badan dan tangannya menusuk dibarengi dengan loncatan panjang sambil kaki kanan menendang kesamping, sebelum mendarat badannya memutar 360 derajat diudara. Pedang ditangannya bagai putaran gangsing. Tubuh dan pedang Bawana menyatu seperti bayangan yg mendengung bergerak cepat meragakan jurus pedang tingkat sebelas.  Semua itu sangat sulit diikuti mata orang biasa. 
Damar tidak berkedip memperhatikan semua gerakan Bawana. Sementara raut wajahnya tidak berubah, terlihat datar. Tidak ada kekaguman ataupun kekecewaan disana.
Tidak terasa Bawana telah memainkan semua jurus dalam ilmu pedang tingkat sebelas. Bawana menyudahinya dengan memberi salam seperti pembukaan tadi. Tidak nampak kelelahan pada dirinya, nafasnya masih pelan dan tenang seperti sebelumnya, hanya nampak butiran kecil keringat menempel didahi. Setelah menyarungkan pedangnya dia berkata, “ Sekali lagi murid mohon petunjuknya bila melakukan kesalahan memperagakan jurus tadi”.
“ Tidak ada yg salah dengan peragaanmu. Dulu aku menciptakan jurus pedang tingkat sebelas ini, dilandasi oleh pengaruh nafsu amarah. Sehingga semua gerakan tatkala bertahan maupun menyerang  selalu bersifat menghukum pihak lawan. Jurus ini mengumbar kegarangan terhadap lawan dengan membasminya. Cocok dengan sifatmu yg mementingkan diri sendiri, tidak sabar dan garang. Beruntung kamu dididik oleh guru yg bertabiat sama dengan jurus ini, menjadikan jurus ini semakin ganas”.
 “ Ilmu pedang Pringjati ada duabelas tingkatan, namun tingkat sebelas inilah paling dahsyat diantara tingkatan lainnya sekalipun dibanding tingkat duabelas. Karena tingkat duabelas hanya merupakan rangkuman ilmu pedang dari tingkat satu sampai sepuluh. Menimbang sifat dasarmu, aku akan mencoba mengasah lagi kegarangan tingkat sebelas, manakala berada ditanganmu. Jurus ini aku namakan tingkat sebelas lanjutan. Baru aku ciptakan dua tahun lalu. Jurus ini sangat lentur terhadap pengguna bagaimanapun sifatnya dan membangkitan daya gempur dua kali lipat. Artinya menggunakan jurus ini kegarangan ilmu pedang tingkat sebelasmu bisa terasa dua kali lebih dahsyat oleh pihak lawan. Namun dengan syarat kamu harus menguasai hingga tuntas ilmu pernafasan tingkat sebelas lanjutan ini. Bila penguasaanmu kurang tuntas, maka penggunaan jurus ini akan menyedot tenaga dalam, hawa murni cepat merosot dan habis. Sehingga pihak lawan dapat mudah mengalahkanmu”.   
Mendengarnya Bawana sudah pasti tidak memperdulikan akibat itu. Hari ini dia merasa dapat durian runtuh, karena banyak cerita beredar dilingkungan perguruan akan betapa  jarangnya guru besar berhubungan langsung dengan para penghuninya. Bahkan sekedar bercakap atau bertatap mukapun tidak pernah. Namun bukan rahasia umum bila setiap perjumpaan tak terduga dengan guru besar ini akan membawa berkah tersendiri, seperti saat ini guru besar berkenan menambah jurus ilmu pedang padanya.
Akhirnya dua orang ini larut dalam pengajaran jurus pedang dan ilmu pernafasan.
Matahari di barat sana hampir menuju ke balik pegunungan. Sinarnyapun terpancar merah menerobos disela awan yg bergulung2. Sebentar lagi senja akan tiba.
Latihan jurus pedang dan ilmu pernafasan sudah selesai. Damar berdiri bersedekap sedang Bawana dihadapannya duduk bersimpuh terasa lunglai. Tarikan nafasnya memburu deras tidak teratur,  mukanya merah padam, sedang pakaiannya basah kuyup oleh keringat. Nampaknya tiupan keras angin di lereng bukit ini masih tidak mampu mendinginkan panas tubuhnya.
“ Jurus ini akan membalik seperti menyerang dirimu, bila kau belum menguasai ilmu pernafasannya dengan benar. Maka jangan sekali2 kau gunakan. Tuntaskan dulu ilmu pernafasannya. Aku bangga kau cepat menguasai gerakan jurus itu, tinggal menyempurnakan pernafasannya saja. Jurus ini belum pernah aku ajarkan kepada siapapun, tidak juga kepada Sekararum”.
“ Terima kasih kakek guru…”, ucap Bawana hampir mencium tanah.
“ Sekarang pergilah ke Grojoganjati, Sekararum dan lainnya masih lama berlatih disana”, ujar Damar. Tanpa menghiraukan Bawana dia melangkah menuju sanggarnya lagi. Bawana masih diam duduk bersimpuh sambil mengatur pernafasannya, dia memberi salam dan berulang2  ucapkan terimakasih pada sosok Damar, yg hanya kelihatan bayangannya saja.