Selasa, 31 Januari 2012

Cersil Ku Blm Berjudul entri 2


Senyap ketika Damar berhenti bicara. Waliki harus mendongak memandang samping wajah disebelahnya ini. Tertegun, seakan tidak percaya dengan pendengarannya.
“ Ilmu apa itu! Siapa dia, kau menanyakannya?”
  Damar menggeleng, “Sitongkat biru mengatakankan orang itu memakai topeng dari perak berukir wajah lelaki tampan sedang tersenyum, badannya tinggi besar dengan jubah kedodoran bersulamkan benang emas, suaranya pelan tapi berwibawa. Setelah kejadian itu semua anak buahnya dikerahkan untuk mencari ciri2 orang seperti itu. Namun sia2. Keberadaannya tidak diketahui, seperti tertelan bumi”.
“ Sepuluh tahun cerita itu telah berlalu, namun sampai kini aku masih penasaran siapakah sosok sitopeng perak dengan ilmu dahsyat itu”, Damar mengakhiri ceritanya.
Suasana kembali terdiam diantara mereka, pandangan tertuju kesatu arah, jauh dibawah lereng.
 “Waliki,…sudah saatnya kalung ini aku berikan padanya”.
Waliki menatap lekat samping wajah Damar, dan suaranya berat ketika berkata:
“ Kau ingin dia berkelana, mencari dimana ayah ibunya, yg tidak berhasil engkau temuka setelah lima tahun!”, ucapnya.
 “Mereka sengaja tidak ingin aku temukan…”suara Damar terdengar datar. Tidak jelas apakah untuk mengomentari perkataan Waliki tadi, atau hanya gumaman untuk dirinya sendiri.
“Pencarianku selama lima tahun itu terjadi, karena ada jejak2 dan kabar baru yg muncul, disaat aku ingin berhenti, dan putus asa untuk meneruskannya”
Diam sesaat. Lalu helaan nafas dari Damar terdengar.
“Ternyata baru aku sadari itu adalah jejak2 dan kabar yg menyesatkan…!”
“Maksudmu ada yg sengaja ingin mempermainkanmu, tapi siapa dan mengapa?”
“Aku tidak tahu. Selama ini kau tahu Waliki, bahwa aku sendiri tidak mengerti apa sebab orang tua sijabang bayi ini menghilang,  apakah mereka takut dikejar2 oleh musuh yg hebat, sehingga bersembunyi selamanya. Padahal sembunyi dari musuh, itu bukan sifat mereka…?”
Kemudian Damar menghela napas perlahan mengatur perasaan yg bergolak, lalu meneruskan perkataanya,
“Sampai sekarang tidak ada kabar tentang mereka. Tapi adanya kalung ini, aku masih berharap ada petunjuk keberadaan mereka. Sepuluh tahun sudah kusimpan kalung ini, sekaranglah saatnya tugas anak itu untuk mencari kebenaran dibalik kalung ini dan menemukan orang tuanya”
Waliki hanya terdiam, dalam hatinya dia tidak setuju bila temannya ini bersikeras menginginkan cucu gadisnya itu berkelana mencari orangtuanya. Tapi dia tidak ingin berdebat, hanya mata dengan hitam bolanya yg bergerak2 menatap kearah Damar.
“Waliki,…tiga puluh tahun lalu disaat ibunya seusia Sekararum, dia telah memberanikan diri melakukan petualangan, bersikeras tidak ingin didampingi, meski secara sembunyi2 aku selalu berada didekatnya dan tanpa sepengetahuannya membayangi dan memantau perjalanannya, dia berkelana mencari ilmu, menjadi murid dibanyak tempat, sehingga mempunyai banyak guru di keilmuannya. Akhirnya enam tahun kemudian aku bisa merasakan tingkat ilmunya sudah melampaui aku, ayahnya sendiri, orang yg pertama kali mengajarinya”
Setelah berhenti sebentar, lalu dipandangnya Waliki, terdengar suara Damar  lembut, iramanya terjaga, “Nanti dalam pengembaraan cucuku…aku mohon engkaulah yg mendampingi”
Sejenak kebisuan merayap, sambil berusaha berpikir Waliki hanya menatap mata orang dihadapannya, sedangkan Damar menunggu jawaban.
Akhirnya mantap Waliki menjawab,”Aku bersedia…”
Terdengar helaan napas lega dalam diri Damar, kemudian dia mendengar Waliki melanjutkan ucapannya :
“Syaratnya…engkau mengijinkan aku, menurunkan ilmuku kepadanya”, sambil mengucapkan itu Waliki perlahan memutar tubuhnya. Sekarang pandangannya tertuju jauh dibawah lereng perbukitan, dilihatnya samar2 masih dalam kepungan kabut, suasana pedesaan di Pringjati mulai bangun. Sedangkan Damar tertegun mendengar jawaban itu.
Bagi Damar, orang disebelahnya ini sudah dianggap saudara. Meski bagi semua orang, Waliki hanya dikenal sebagai tukang kebun perguruan, dan teman bincang yg setia. Hampir tiga puluh tahun lalu semenjak kedatangannya di perguruan, Waliki  tanpa sepengetahuan orang lain ikut membantu Damar mengatur dan  mengembangkan pedesaan ini sehingga besar seperti sekarang. Namun untuk urusan ilmu diperguruan yg dia dirikan sejak  empat puluh tahun ini, ada perkecualiannya.
Setelah suatu peristiwa diantara mereka, maka dia benar2 melarang Waliki memperlihatkan kesaktiannya pada orang2 disini. Itulah sebab mengapa Waliki mempertahankan identitas palsunya sebagai tukang kebun.
Meskipun tingkat kesaktian yg dimiliki Waliki masih mentah, hanya dasar2 belum dikembangkan - karena kala itu dia sempat mengalahkan orang ini - tetapi  bila ilmu tsb sampai jatuh ketangan orang cerdas dan punya kemampuan tinggi, maka akan sangat berbahaya.
Sampai kini dia beranggapan Waliki yg setua ini, tidak akan mampu mengembangkan ilmunya ke taraf menggetarkan. Dari latih tanding rutin yg mereka lakukan setiap setahun sekali dibukit ini, seperti tadi, dia tahu bahwa ilmu Waliki masih dibawahnya. Dan tidak mengawatirkan seperti anggapan orang ketika ilmu ini masih berjaya lima ratus tahun lalu.
Apalagi ilmu itu dimiliki oleh orang seperti Waliki, sosok pendiam dan baik hati. Disamping itu dia yakin, akan kebenaran budi pekerti cucunya, sehingga bila ilmu tsb diturunkan kepadanya, maka kelurusan hati cucunya akan membawa ilmu tsb ke jalur yg benar, tidak menyalahgunakan, dan tidak akan membahayakan kehidupan di muka bumi ini.
Maka sambil menepuk bahu sahabatnya, dengan suara perlahan Damar menjawab,”Aku ijinkan, tapi bekali juga dia dengan budi pekerti yg baik. Latihan hanya dilakukan selama dalam pengembaraan kalian, aku tidak ingin kau menurunkan ilmu itu, selama berada disini.  Dan ingat, hentikan pelatihanmu kepadanya, bila terjadi bentrokan dalam diri cucuku ”
Untuk pertama kalinya sejak tiga puluh tahun lalu, Damar melihat senyum yg lebar di bibir Waliki. Menampakan giginya yg besar besar dan putih.
Masih dengan tersenyum seperti itu, dan kali ini diiringi kedua tangannya menangkup didepan dada, sebagai tanda hormat, Waliki berujar,” Aku bersumpah…”
  “Terima kasih…Waliki, aku tahu engkau akan memegang teguh sumpahmu itu”
Udara yg sangat dingin menyisakan embun diseluruh permukaan dedaunan, dan mengalir pelan, sebelum akhirnya menetes ke tanah. Jauh dibawah sana, terlihat suasana desa benar2 telah bangun menyongsong terbitnya mentari. Meski masih diselimuti kabut tebal, nampak beberapa penduduk siap2 kepersawahan, bahkan terlihat kerbau2 dengan alat membajak sawah dibelakangnya mulai berjalan beriringan. Asap2 tipis mengepul dari atap masing2 rumah, ada yg memasak sesuatu di dapur,.
“Aku harus segera memberitahu Sekararum…” ujar Damar. uduk, raut muka itu kembali seperti semula seakan bersungut kesal. Roman muka murung yg sudah dikenal orang2 disekitarnya selama ini. Namun kali ini dari sorot matanya dgn bola mata yg bergerak2 itu, kadang2 terlintas dalam sekejap tanda2 kegembiraan yg selama berpuluh2 tahun ini tependam.

Minggu, 29 Januari 2012

Cerita Silat Ku-Belum Berjudul

Bab 1

Manakala suasana alam pegunungan berubah hening, mata Damar Semboja menatap tajam orang dihadapannya, dia merasa Waliki belum ada kemajuan berarti sejak pertarungan terakhir mereka setahun lalu. Bahkan dipertarungan kali ini, dia pastikan Waliki sudah dibatas kemampuannya. Keadaannya terlihat letih dan mengenaskan. Diwajah dan sekujur tubuh dipenuhi rembesan keringat, sedang nafasnya terdengar memburu. Dadanya naik turun cepat. Dia terlalu memaksakan diri. Sedangkan dirinya hanya menampakan butiran2 keringat dikening dan wajahnya. Nafasnyapun masih teratur pelan. Masih ada cadangan ilmu dan jurus2 hebat yg belum dikeluarkan.
 “ Bila kau paksakan menggunakan ilmu itu, sambil harus menghadapi serangan lawan, maka kau sendirilah yg celaka. Ilmu itu sanggup mencelakaimu”.
Mendengar ucapan Damar itu, Waliki hanya mencibir lalu meludah, “ Huh…setua ini aku masih belum dapat menemukan inti ilmu ini”.
Damar melangkah menghampiri. Kini keduanya sudah berdiri berdampingan. Pandangan menerawang kearah pedesaan Pringjati jauh dibawah kaki gunung.
“ Apa maumu, Waliki. Kau mati2 an mencoba terus menggali sari patinya, namun untuk siapa semua itu nanti. Cacat lima ratus tahun lalu, membuat nasib ilmu ini terpaksa harus dimusnahkan dari muka bumi. Apakah kau diam2, bersikeras ingin mewariskan ilmu yg terlarang ini. Sudahkah kau tentukan siapa dia?”.
Waliki termenung mendengarnya.
“ Pasti akan tiba saatnya nanti…”, gumamnya lirih.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Cahaya fajar sudah menerobos genangan kabut yg mengambang, menciptakan kehangatan alam.   
 Tiba2 suara Damar seperti berbisik, seolah cukup didengar mereka berdua.
  “Akhir2 ini Sekararum bersikeras ingin mencari orang tuanya”.
Kepala Waliki mengangguk sesaat, lalu mendesah pelan, “ Dia selama ini pasti memendam rasa sedih melihat teman2nya begitu bahagia dapat berkumpul dengan orang tua mereka”.
Seolah tidak terusik dengan jawaban itu, Damar tanpa menengok mengangsurkan sesuatu kepada Waliki.
“ Sekitar sepuluh tahun lalu, si tongkat biru dari serikat Pancasaka memberikan ini”. ( serikat pancasaka, terdiri dari pengemis, gelandangan, peramal, pencopet dan pemusik jalanan)
Dalam keremangan kabut, dengan sekilas, Waliki melihat ada sesuatu memancarkan warna meski sangat redup diatas telapak tangan kanan Damar. Diambilnya benda tsb. Sebuah kalung dari logam putih mengilap sebesar kelingking bayi. Bandulnya berupa batu beralas pipih dengan permukaan cembung sebesar separuh telapak tangannya, berbentuk setengah lonjong. Tapi sengaja dipotong oleh benda sangat tajam tepat ditengah2 menjadi dua. dengan bekas irisan sangat halus, sehingga tidak kentara. Pada permukaan yg cembung, berpendar sinar dengan komposisi warna berubah2, seperti pelangi. Yg luar biasa adalah didalamnya terlihat  samar2 bentuk seperti pedang dipahat berwarna hijau. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat  benda  yg tercipta secara alami seperti ini.
Karena penasaran maka dibolak balik bandul kalung itu, setelah puas lalu mengembalikannya kpd Damar.
 ”Ada maksud apa dia memberikan cuma2 benda seberharga ini, kepadamu?”
Dengan memasukan kembali kalung tsb dibalik jubah, Damar menjawab:
“Kalung ini bukan miliknya. Si tongkat biru dititipi untuk memberikannya kepadaku!” ada senyum kecil saat  berkata seperti itu.
Waliki mengerutkan dahi, “Aneh, selama ini yg kutahu mereka kelompok yg tinggi hati dan angkuh. Bagimana mungkin mau  dititipi sesuatu untuk orang lain”.
Damar seakan tidak mendengar komentar Waliki, dan melanjutkan ceritanya, “Setelah satu bulan lebih sitongkat biru dan kelompoknya mencari, akhirnya dia menemukanku. Sambil menyerahkan kalung ini yg terbungkus kulit buaya dan dijahit sangat rapat, sitongkat biru menyampaikan pesan sipemilik kalung, bahwa aku tidak perlu mencarinya lagi, tolong besarkan cucuku, berikan kalung ini kepadanya saat dia ingin mencari orang tuanya”.
“Setelah lima tahun masa pencarianku, pesan itu tidak dapat kupahami. Ragu2 aku menerima kalung ini, tapi melihat sitongkat biru sendiri, yg namanya tersohor di jagad, maka aku menjadi yakin. Dengan mengucapkan terima kasih, aku menanyakan siapakah pemilik barang ini, sehingga tongkat biru begitu repot perlu memberikan langsung kepadaku. Tetapi wajah Sitongkat biru jadi mengeras, lalu membuka telapak tangan kanannya, dan kulihat ada bekas luka tipis berupa goresan melintang yg dalam dan memanjang selebar telapak tangannya, seperti diukir dengan pisau tajam. Dengan suara geram dia berkata, bahwa luka tsb dialami ketika bertempur melawan pemilik kalung itu, hanya sejurus, dia terkena pukulan lawan dan darah menetes dari ujung tongkatnya, merembas dari luka ditelapak tangannya yg sedang menggenggam tongkat!”