Senyap ketika Damar
berhenti bicara. Waliki harus mendongak memandang samping wajah disebelahnya
ini. Tertegun, seakan tidak percaya dengan pendengarannya.
“ Ilmu apa itu!
Siapa dia, kau menanyakannya?”
Damar menggeleng, “Sitongkat biru mengatakankan
orang itu memakai topeng dari perak berukir wajah lelaki tampan sedang
tersenyum, badannya tinggi besar dengan jubah kedodoran bersulamkan benang emas,
suaranya pelan tapi berwibawa. Setelah kejadian itu semua anak buahnya
dikerahkan untuk mencari ciri2 orang seperti itu. Namun sia2. Keberadaannya
tidak diketahui, seperti tertelan bumi”.
“ Sepuluh tahun
cerita itu telah berlalu, namun sampai kini aku masih penasaran siapakah sosok
sitopeng perak dengan ilmu dahsyat itu”, Damar mengakhiri ceritanya.
Suasana kembali
terdiam diantara mereka, pandangan tertuju kesatu arah, jauh dibawah lereng.
“Waliki,…sudah saatnya kalung ini aku berikan
padanya”.
Waliki menatap lekat
samping wajah Damar, dan suaranya berat ketika berkata:
“ Kau ingin dia
berkelana, mencari dimana ayah ibunya, yg tidak berhasil engkau temuka setelah
lima tahun!”, ucapnya.
“Mereka sengaja tidak ingin aku temukan…”suara
Damar terdengar datar. Tidak jelas apakah untuk mengomentari perkataan Waliki
tadi, atau hanya gumaman untuk dirinya sendiri.
“Pencarianku
selama lima tahun itu terjadi, karena ada jejak2 dan kabar baru yg muncul, disaat
aku ingin berhenti, dan putus asa untuk meneruskannya”
Diam sesaat.
Lalu helaan nafas dari Damar terdengar.
“Ternyata baru
aku sadari itu adalah jejak2 dan kabar yg menyesatkan…!”
“Maksudmu ada
yg sengaja ingin mempermainkanmu, tapi siapa dan mengapa?”
“Aku tidak tahu.
Selama ini kau tahu Waliki, bahwa aku sendiri tidak mengerti apa sebab orang
tua sijabang bayi ini menghilang, apakah
mereka takut dikejar2 oleh musuh yg hebat, sehingga bersembunyi selamanya. Padahal
sembunyi dari musuh, itu bukan sifat mereka…?”
Kemudian Damar
menghela napas perlahan mengatur perasaan yg bergolak, lalu meneruskan
perkataanya,
“Sampai
sekarang tidak ada kabar tentang mereka. Tapi adanya kalung ini, aku masih
berharap ada petunjuk keberadaan mereka. Sepuluh tahun sudah kusimpan kalung
ini, sekaranglah saatnya tugas anak itu untuk mencari kebenaran dibalik kalung
ini dan menemukan orang tuanya”
Waliki hanya
terdiam, dalam hatinya dia tidak setuju bila temannya ini bersikeras
menginginkan cucu gadisnya itu berkelana mencari orangtuanya. Tapi dia tidak
ingin berdebat, hanya mata dengan hitam bolanya yg bergerak2 menatap kearah
Damar.
“Waliki,…tiga
puluh tahun lalu disaat ibunya seusia Sekararum, dia telah memberanikan diri
melakukan petualangan, bersikeras tidak ingin didampingi, meski secara
sembunyi2 aku selalu berada didekatnya dan tanpa sepengetahuannya membayangi
dan memantau perjalanannya, dia berkelana mencari ilmu, menjadi murid dibanyak
tempat, sehingga mempunyai banyak guru di keilmuannya. Akhirnya enam tahun
kemudian aku bisa merasakan tingkat ilmunya sudah melampaui aku, ayahnya
sendiri, orang yg pertama kali mengajarinya”
Setelah
berhenti sebentar, lalu dipandangnya Waliki, terdengar suara Damar lembut, iramanya terjaga, “Nanti dalam
pengembaraan cucuku…aku mohon engkaulah yg mendampingi”
Sejenak
kebisuan merayap, sambil berusaha berpikir Waliki hanya menatap mata orang
dihadapannya, sedangkan Damar menunggu jawaban.
Akhirnya mantap
Waliki menjawab,”Aku bersedia…”
Terdengar
helaan napas lega dalam diri Damar, kemudian dia mendengar Waliki melanjutkan
ucapannya :
“Syaratnya…engkau
mengijinkan aku, menurunkan ilmuku kepadanya”, sambil mengucapkan itu Waliki perlahan
memutar tubuhnya. Sekarang pandangannya tertuju jauh dibawah lereng perbukitan,
dilihatnya samar2 masih dalam kepungan kabut, suasana pedesaan di Pringjati
mulai bangun. Sedangkan Damar tertegun mendengar jawaban itu.
Bagi Damar,
orang disebelahnya ini sudah dianggap saudara. Meski bagi semua orang, Waliki
hanya dikenal sebagai tukang kebun perguruan, dan teman bincang yg setia.
Hampir tiga puluh tahun lalu semenjak kedatangannya di perguruan, Waliki tanpa sepengetahuan orang lain ikut membantu Damar
mengatur dan mengembangkan pedesaan ini
sehingga besar seperti sekarang. Namun untuk urusan ilmu diperguruan yg dia
dirikan sejak empat puluh tahun ini, ada
perkecualiannya.
Setelah suatu
peristiwa diantara mereka, maka dia benar2 melarang Waliki memperlihatkan kesaktiannya
pada orang2 disini. Itulah sebab mengapa Waliki mempertahankan identitas palsunya
sebagai tukang kebun.
Meskipun
tingkat kesaktian yg dimiliki Waliki masih mentah, hanya dasar2 belum
dikembangkan - karena kala itu dia sempat mengalahkan orang ini - tetapi bila ilmu tsb sampai jatuh ketangan orang
cerdas dan punya kemampuan tinggi, maka akan sangat berbahaya.
Sampai kini dia
beranggapan Waliki yg setua ini, tidak akan mampu mengembangkan ilmunya ke
taraf menggetarkan. Dari latih tanding rutin yg mereka lakukan setiap setahun sekali
dibukit ini, seperti tadi, dia tahu bahwa ilmu Waliki masih dibawahnya. Dan
tidak mengawatirkan seperti anggapan orang ketika ilmu ini masih berjaya lima ratus
tahun lalu.
Apalagi ilmu
itu dimiliki oleh orang seperti Waliki, sosok pendiam dan baik hati. Disamping
itu dia yakin, akan kebenaran budi pekerti cucunya, sehingga bila ilmu tsb
diturunkan kepadanya, maka kelurusan hati cucunya akan membawa ilmu tsb ke
jalur yg benar, tidak menyalahgunakan, dan tidak akan membahayakan kehidupan di
muka bumi ini.
Maka sambil
menepuk bahu sahabatnya, dengan suara perlahan Damar menjawab,”Aku ijinkan, tapi
bekali juga dia dengan budi pekerti yg baik. Latihan hanya dilakukan selama
dalam pengembaraan kalian, aku tidak ingin kau menurunkan ilmu itu, selama
berada disini. Dan ingat, hentikan pelatihanmu
kepadanya, bila terjadi bentrokan dalam diri cucuku ”
Untuk pertama
kalinya sejak tiga puluh tahun lalu, Damar melihat senyum yg lebar di bibir
Waliki. Menampakan giginya yg besar besar dan putih.
Masih dengan
tersenyum seperti itu, dan kali ini diiringi kedua tangannya menangkup didepan
dada, sebagai tanda hormat, Waliki berujar,” Aku bersumpah…”
“Terima kasih…Waliki, aku tahu engkau akan
memegang teguh sumpahmu itu”
Udara yg sangat
dingin menyisakan embun diseluruh permukaan dedaunan, dan mengalir pelan,
sebelum akhirnya menetes ke tanah. Jauh dibawah sana, terlihat suasana desa benar2
telah bangun menyongsong terbitnya mentari. Meski masih diselimuti kabut tebal,
nampak beberapa penduduk siap2 kepersawahan, bahkan terlihat kerbau2 dengan
alat membajak sawah dibelakangnya mulai berjalan beriringan. Asap2 tipis
mengepul dari atap masing2 rumah, ada yg memasak sesuatu di dapur,.
“Aku harus
segera memberitahu Sekararum…” ujar Damar. uduk, raut muka itu kembali seperti
semula seakan bersungut kesal. Roman muka murung yg sudah dikenal orang2
disekitarnya selama ini. Namun kali ini dari sorot matanya dgn bola mata yg
bergerak2 itu, kadang2 terlintas dalam sekejap tanda2 kegembiraan yg selama
berpuluh2 tahun ini tependam.