Rabu, 29 Februari 2012

Cerita Silat Ku entri 6


Bab 4

Damar melanjutkan memakan sisa2 pisang bakar, ketika pendengarannya menangkap langkah2 kaki meski ringan menapaki tangga berbatu dibawah sana menuju ke pekarangan. Seperti acuh dia meneguk habis isi gelasnya dan berdiri keluar dari teras, untuk menyambut kedatangan tamu.
Dilihatnya kini tiga sosok muncul dari bawah bukit, melangkah beriringan dijalan setapak. Paling depan seorang laki2 usianya lebih tua dari Damar, tubuhnya tinggi kurus. Nama laki2 tua ini Sartani. Murid pertama Damar.
Dibelakangnya berjalan mengikuti, seorang pria tua seusia Damar, meski hanya setinggi separuh pria pertama tadi, tapi bentuk badannya sangat menarik perhatian, karena gendut bulat seperti bola, lebar tubuhnya memenuhi lebar jalan setapak ini. Sedang kepalanya plontos. Si tua gemuk ini mengenakan jubah tebal warna putih yg dibiarkan terbuka, memperlihatkan perut buncit besar mirip gentong dengan pusar menonjol.  Ditangan kanannya menggenggam tongkat kayu bulat yang besar mengilap dan meliuk2 bagai ular, panjangnya dua kali tinggi badannya. Hebatnya sigendut plontos ini sangat cepat dan ringan langkahnya, seolah dia mengelinding dan memantul mirip bola. Dialah murid nomor tiga , Gagar namanya.
Laki2 paling belakang ini, setinggi Damar, sangat tenang penampilannya. Usianya setara lainnya. Wajahnya masih menyisakan ketampanan di masa mudanya, rambut putihnya lurus berminyak panjang sebahu, dibiarkan terurai tanpa ikatan.  Murid kedua, Aryasulu. Selintas melihat penampilannya, orang pasti akan bergumam dalam hati betapa pesoleknya kakek ini.
Tidak lama kemudian mereka sudah berdiri berjajar dihadapan Damar.
“ Salam, …semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,” serempak mereka mengucapkannya, sambil menundukan kepala. Hal yg sama dilakukan Damar saat membalas salam mereka.
“ Maaf, …kedatangan kami mungkin mengganggu guru. Setelah lima hari ini bepergian. Sekararum pasti ingin mengobrol lama2 dengan guru ”, Sartani membuka pembicaraan. Suaranya datar dan berat.
Dengan mengibaskan sebelah tangan, seolah isyarat agar mereka jangan sungkan2, Damar berkata, “ Kondisi kecamatan Pringjati yg terdiri  lima desa telah mengalami kemajuan pesat, bukan hanya pertanian dan peternakan yg ramai, tapi telah banyak pedagang menyebar merata hampir disetiap sudut, apalagi mulai banyak pande besi, tukang pintal dan tenun dan tempat penyamakan kulit. Bahkan sepenglihatanku tanah yg dijadikan tempat tinggal dan persawahan jadi semakin luas. Banyak pendatang membuka lahan baru. Sehingga diseluruh pelosok desa2 ini jalanan semakin bercabang. Apalagi jalan menuju wilayah Draw diperlebar, sehingga sangat ramai orang melewatinya. Aku perhatikan banyak orang dan pedagang dari kecamatan lain juga melalui  jalan tersebut. Padahal satu tahun lalu, mereka  lebih baik memilih jalan sedikit memutar melalui kecamatan Tangguljati “
 Kali ini tatapan Damar tertuju pada kakek pesolek,“ Aku bangga dengan cara kerja putramu, mengelola wilayah ini, Arya…,”
Yang disentil dengan muka masih tersenyum dan mengangguk hormat menjawab,” Terima kasih, semua berkat didikan dan arahan tiada bosan2nya dari guru kepada kami, sehingga saya dapat memberi saran2 untuk pembangunan sebuah pemukiman yg makmur kepada Bagaswala”, suaranya lembut, melibihi halusnya suara Damar.
Gagar mendadak menimpali, suaranya mirip anak anak, “Benar, tapi dengarkan dulu, Ada ribuan pasukan ditempatkan disekitar kecamatan ini. Dan mulai sekarang setiap penduduk akan dikenakan keharusan membayar pajak kepada kadipaten. Akan ada beberapa petugas dipimpin bendahara yg menghitung berapa besarnya pajak yg akan dikenakan pada masing2 penduduk. Nampaknya pajak diwajibkan pada semua lapisan, kaya atau miskin. Bagi yg tidak mampu membayarnya, akan disita harta bendanya, dan diusir dari wilayah ini. Apa kita hanya berdiam”.
Damar tercenung mendengar perkataan Gagar, memang akhir2 ini berita2 rencana pungutan pada penduduk semakin gencar. Tapi haruskah ada kekerasan. Diliriknya Aryasulu yg terdiam  hanya menyungging senyum. Sedang Sartani seperti biasanya, raut mukanya datar, sulit ditebak isi hatinya.
Kini mereka berjalan menuju ke samping rumah, melalui jalan setapak dari batu, kearah belakang menuju kebangunan kecil , sebuah sanggar.
Suasana mendadak sepi. Didalam sanggar, mereka duduk bersila membentuk lingkaran. Anehnya posisi ini bukan siksaan bagi Gagar yg gendut dan tambun itu. Dalam sanggar ternyata kosong melompong, hanya tergelar tikar dari anyaman bamboo menutupi separuh luas lantai.
Gagar melanjutkan, “Raja Drambura yg baru memerintah enam bulan ini, telah menekan seluruh adipati diwilayah negeri, bahwa tanah, air dan hasil bumi yg keluar dari dalamnya adalah milik kerajaan. Raja bagai penguasa tunggal “. 
Tiba2 sekujur tubuh Damar menegang, tapi tetap dengan suara halus,“ Apa yang terjadi bila Bagaswala, menolaknya...?” entah kepada siapa diantara mereka bertiga, dia bertanya.
Aryasulu masih tersenyum menjawab,” Mungkin seribu pasukan akan meratakan desa  ini. Raja telah bertindak cepat, dia telah mendirikan barak2 pasukan diseluruh wilayah negeri ini, bahkan daerah terpencilpun tidak luput dari jangkauan”.
Damar mengangguk pelan, “Benar2 cerdik dia”.
Selama pembicaraan ini Sartani hanya diam mendengarkan, wajahnya tertunduk dengan mata terpejam.
 “ Sartani, apa kebijakan itu berlaku juga pada perguruan ini “, pertanyaan Damar kini tertuju pada pria jangkung ini.
Dengan perlahan dia mengangkat wajah, matanya tertuju pada Damar,” Sebenarnya kedatangan kami berkaitan dengan masalah ini. Besok pagi Bagaswala akan membawa petugas dari kadipaten berkunjung kemari. Kedatangan mereka hendak memaparkan kebijakan itu”.
Tiba2 Gagar menyahut suaranya keras melengking,“ Selama ini, kita tidak pernah membayar sesen pun pada kadipaten atau kerajaan. Perguruan ini dapat besar seperti sekarang ini, juga hasil perjuangan kita sendiri. Pihak kadipaten atau kerajaan tidak pernah memberi bantuan bahkan bermanfaat pada kehidupan kita. Untuk apa harus tunduk pada peraturan mereka. Kita harus melawannya. Lima ribu penghuni perguruan siap untuk berjuang menentang kezaliman ini…!”, mukanya merah, dan nafasnya menggebu setelah dia mengakhiri kalimatnya.
Semua orang terkesiap, mereka menatap tajam pada sigendut, Aryasulu sekejap sempat kehilangan senyumnya, lalu suaranya tenang ketika berkata,” Semua harus dipertimbangkan dulu dengan matang, perkataan Gagar agar kita melawan kezaliman, saya setuju, tapi kita harus bisa mengukur kekuatan sendiri. Aku sudah berhitung mengenai ini. Dari lima ribu penghuni perguruan, mungkin hanya tiga ribu dapat ikut berjuang, karena sisanya adalah anak2 dan para perempuan lemah, mereka harus dilindungi. Ingat diluar wilayah kita masih terdapat puluhan barak pasukan, mereka secepatnya dapat memberi bantuan kepada seribu pasukan yg sudah ditempatkan disini. Menurutku sebaiknya menunggu hasil dari pertemuan besok. Akan tetapi sekiranya kita diharuskan mentaati kebijakan itu, maka jalan kekerasan seperti diusulkan Gagar bukan pilihan tepat, aku sarankan kita meminta kelonggaran waktu dan besarnya pungutan”.
Gagar tampaknya belum bisa menerima usul Aryasulu,“ Perguruan ini dan penghuni setiap pedesaan yg dipimpin Bagaswala harus bersatu berjuang bersama menentang peraturan itu!” suaranya melengking seperti tadi, bahkan dengan mengepal tinju dia mengangkat tangan kanannya. Dengan menggeleng2kan kepala Aryasulu menanggapinya sambil tersenyum.
Damar akhirnya berkata,” Sepertinya Bagaswala sudah mengambil keputusan untuk menuruti titah adipati. Gagar benar bahwa bila peraturannya sangat mencekik rakyat, ini adalah bentuk kezaliman, harus dilawan, tapi sekarang belum saatnya. Kita menunggu hasil dari pertemuan besok, dan saya pikir usul dari Arya dapat kita jalankan. Aku minta kalian bertiga selalu berhubungan dengan Bagaswala, dan selama itu kita melihat akibat dari kebijakan ini di daerah lainnya. Dan mudah2an tanpa menunggu waktu lama, kita segera menentukan tindakan”.
Sartani mengerutkan keningnya, begitu mendengar perkataan Damar, matanya melirik kearah Aryasulu. Yg dilirik mengangguk perlahan, dengan senyum tak pernah hilang dia berkata,” Apa guru menganggap kebijakan ini adalah suatu kezaliman. Dan ada keinginan kita nantinya akan melawan kebijakan raja ini?”
“ Kita akan melihatnya besok. Apakah besarnya pungutan itu cukup masuk akal dan wajar dibebankan pada masyarakat. Apabila kita menganggap pungutan yg ditarik sangat tinggi dan mencekik leher rakyat, maka itu adalah kesewenangan. Perguruan ini dibangun untuk kedamaian dan kesejahteraan tidak hanya para penghuninya, melainkan semua manusia. Apabila penghuni perguruan tahu ada kezaliman dan kesewenang2an dimuka bumi ini, maka wajib melawannya. Untuk apa kita hidup  diatas penderitaan orang lain. Tapi kita tidak akan bertindak ceroboh dan nekat, setiap langkah dalam memerangi kesewenang2an ini harus diperhitungkan dengan matang, karena yg kita hadapi adalah raja yg memerintah negeri Sirias”.
Suasana menjadi sunyi. Sartani dan Aryasulu menundukan kepala terbenam dalam pikiran masing2. Sedang Gagar hanya manggut2 dengan menatap Damar. Seakan memberi dukungan.
Sambil mengangguk2 pelan Damar berkata, “Sartani, kita harus mengumpulkan dewan guru untuk merundingkan hal ini. Nanti malam di aula kita adakan pertemuan. Aku pikir masih banyak pekerjaan harus kalian selesaikan, aku persilahkan kalian meninggalkan sanggar ini”.
 Terima kasih guru…salam”, tanpa berkata2 lagi serentak mereka berdiri dan meninggalkan sanggar.
Seperti tadi, saat mereka naik ke bukit, ketika turunpun mereka jalan berbaris dengan posisi yg sama. Langkah mereka ringan dan cepat.
Didalam sanggar Damar masih merenung. Keadaan negeri Sirias setahun terakhir ini selalu diselimuti ketegangan. Kehidupan rakyatnya serasa terombang ambing didalam lingkaran tarik menarik pengaruh antara raja Giril dan Drambura. Cerita lama terulang kembali. Dua tokoh pelaku utama yang masih satu garis keturunan ini berebut kekuasaan. Giril sudah berkuasa selama 20 tahun. Akhirnya enam bulan lalu tumbang oleh pamannya sendiri, yg usianya dua puluh tahun lebih tua. Sekarang Drambura seperti gelap mata. Diliputi ketakutan berlebihan akan perebutan kekuasaan oleh pihak2 yang ingin membalas dendam atau memanfaatkan keruhnya situasi negeri, membuat dirinya ingin membentengi diri. Sumber keuangan yang terbatas dan sudah menipis, memunculkan kebijakan penarikan pajak kepada rakyatnya. Suatu cara kuno yg umum diterapkan para penguasa terdahulu, namun dalam perjalanannya lebih banyak ditentang rakyatnya daripada didukung.
Tanpa sadar Damar kini sudah berdiri ditepi lereng bukit dibelakang sanggar. Pandangan jauh menerawang diseberang lembah. Matahari tepat diatas kepala.
Sebentar lagi Sekararum melakukan perjalanan, berarti aku punya banyak waktu untuk menilik dan menata perguruan ini.
Entah karena pikirannya sedang terpusat kosong seperti melamun, atau langkah kaki ini memang tak terdengar, ketika desir itu menyentak dirinya, dan sepersekian detik kemudian disusul suara anak muda menyadarkan Damar. Atau mungkin mengagetkan dia.
“ Salam guru besar, saya anak murid bernama Bawana tidak sengaja mengganggu ketenangan guru. Saya menuju keatas sini, sebetulnya ingin mencari Sekararum. Kami ada janji bertemu disini”. suaranya bergetar, tidak berani dia mengangkat muka. Sehingga rambut hitam lebat dan lurus menjuntai jatuh menutupi wajahnya. Tubuhnya tegak berdiri lurus dengan kaki saling merapat. Kedua telapak tangannya saling bertautan didepan dada. Sikapnya benar2 hormat bahkan sedikit ketakutan.
Damar menoleh kearah pemuda yg berjarak sepuluh langkah dibelakangnya, “Sudah berapa lama pemuda ini berada disitu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengar kehadirannya”, bisiknya.
Sehingga sesaat kemudian dia membalas salam.
Setelah berjalan lebih mendekat, kali ini Damar dapat memperhatikan penampilan pemuda ini. Rambutnya hitam tebal dan lurus panjang sebahu, dengan ikat kepala bermotif sulaman bunga, mengenakan pakaian biru mencolok, dilapisi jubah tipis putih berhias bunga merah. Bau harum yg ringan terhembus dari pemuda ini. 
“Ahh…kakek dan cucu ternyata sama2 pesolek”, serunya dalam hati.
Bawana merasa rikuh ketika Damar berdiri dihadapannya, seolah ingin menelanjanginya.
” Sekararum berada di Grojoganjati, dia bersama murid lain sedang mendalami ilmu barisan pedang”, Damar menyahut.
Selama hidup di perguruan baru sekarang ini Bawana berbicara dengan guru besar Damar. Ternyata baginya suara kakek ini  lembut dan halus, tidak segarang yg dia perkirakan sebelumnya. Seketika perasaan tenang menggelayutinya.
 “ Berapa usiamu? sudah sampai tingkat berapa kamu diperguruan ini?” Damar tahu bahwa Bawana mencari Sekararum karena mereka ingin menelusuri jalan tembus baru.
“ Usia murid dua puluh tahun. Kini murid bersama guru Lamping sudah  menyelesaikan tahap akhir ilmu pedang tingkat sebelas”, ketenangan perasaan membuat Bawana percaya diri, saat menjawabpun, meski dengan sikap hormat tapi nadanya penuh kebanggan, ada senyum dibibirnya. Namun tatapan matanya masih kearah bawah, dia menghindar berpandangan langsung dengan Damar.
Dengan manggut2 Damar lebih seksama memperhatikan pemuda dihadapannya ini “Aku bangga ternyata pemuda seusiamu sudah mampu berlatih tanding dengan guru Lamping, sampai akhir tingkat sebelas. Sangat jarang penghuni perguruan ini mampu melakukan sepertimu”. Benar2 tulus ucapan Damar ditelinga Bawana, sehingga pemuda ini  memberanikan diri mengangkat muka dan menatap guru besar.
Mata yg ditatapnya itu ternyata begitu teduh dan lembut, tapi diperhatikannya ada kepedihan disana. Sangat beda dengan milik Sekararum, yang bebas, cerah dan periang itu. Namun Bawana melihat ada kemiripan wajah diantara kakek cucu ini.  
Bagi Damar wajah Bawana sangat beda dengan wajah ayahnya, ternyata wajah pemuda ini seperti bayangan di cermin bagi wajah kakeknya. Benar2 sangat mirip Arya dikala muda.
“ Apa kakekmu masih sering mengajarmu ?”, tiba2 Damar bertanya.
“ Akhir2 ini kakek Arya bersama kakek Sartani sering keluar perguruan, bertemu ayah di pendopo, jadi jarang beliau melatih saya”.
“ Hmm…”. Masih menatap Bawana, kali ini suaranya tegas,” Aku ijinkan kamu menunggu Sekararum disini, atau kalau kamu ingin cepat bertemu, jumpai saja dia di Grojoganjati. Tapi kalau kalian berencana menelusuri jalan tembus yg baru ditemukan, lebih baik dihari lain saja”.
Salah tingkah Bawana mencari jawaban, hingga mukanya tertunduk memerah. Tidak disangka tujuannya kemari telah diketahui oleh Damar.
Akibatnya terbata2 dia menjawab, “Ee..ee..anak murid minta maaf. Seandainya tahu kalau Sekararum harus berlatih ilmu barisan pedang, tentu tidak akan kemari”.
“ Mengapa kamu tidak ikut berlatih ilmu barisan pedang?”
“ Saya tidak menyukai ilmu pedang dalam barisan. Para paman guru pernah berkata bahwa saya tidak berjodoh dengan ilmu itu, karena sering merusak kerjasama kelompok, akibatnya barisan pedang menjadi berantakan”.
“ Apa yg kamu rasakan ketika menjadi bagian barisan pedang?”
“ Ketika sedang melihat kedudukan lawan, ada keinginan kuat untuk segera menyerang sendiri, mengabaikan kesatuan kelompok dalam barisan pedang. Sehingga pernah saya tiba2 menjadi bertarung sendirian dengan lawan, sedang rekan yang lainnya dalam satu barisan hanya tertegun menonton”.
  Damar mengangguk pelan, “ Dalam ilmu barisan pedang, tidak hanya harus menyatukan kepandaian ilmu pedang, tapi juga sifat dan perasaan masing2 orang dalam barisan itu. Yang terutama adalah ketenangan dan kesabaran. Semakin kuat sifat itu diantara masing2 orang dalam barisan, dapat menimbulkan kerjasama ilmu pedang yang hebat sehingga barisan itu menjadi kokoh, padu dan menyatu seperti satu jiwa. Nampaknya sifat itu kurang kamu miliki. Sifat yang menurun dari ayahmu, namun bertolak belakang dengan sifat kakekmu”.
“ Saya mohon petunjuknya…”
“ Aku tidak akan mencoba merubah sifat bawaanmu ini. Dan aku tidak kecewa bila  kamu tidak tertarik dengan ilmu barisan pedang. Sudah seharusnya masing2 anak murid diperguruan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi ciri khasnya”, Damar berhenti sebentar kemudian lanjutnya, “Bila kau benar2 ingin minta petunjuk dariku, cabut pedangmu. Aku ingin tahu sampai dimana kemahiran ilmu pedangmu ditingkat sebelas”.
Mendengar itu Bawana hanya terpaku. Lama dia memandangi guru besar dihadapannya. Namun sikakek ini raut wajahnya masih seperti tadi. Sehingga menimbulkan ketenangan ketika dia mengeluarkan pedang tipis mengilap dari sarungnya.
“ Peragakan jurus ilmu pedang tingkat sebelas”, berkata Damar
Bawana memusatkan pikiran sejenak. Pedang digenggaman tangan kanan disilangkan lurus didada. Sedang tangan kirinya menyilang dibawah tangan kanan. Setelah memberi hormat pada Damar. Dia mulai bergerak selangkah dengan lambat sambil menyabetkan pedang lurus kedepan. Tiba2 gerakannya berubah cepat dengan meliukan badan dan tangannya menusuk dibarengi dengan loncatan panjang sambil kaki kanan menendang kesamping, sebelum mendarat badannya memutar 360 derajat diudara. Pedang ditangannya bagai putaran gangsing. Tubuh dan pedang Bawana menyatu seperti bayangan yg mendengung bergerak cepat meragakan jurus pedang tingkat sebelas.  Semua itu sangat sulit diikuti mata orang biasa. 
Damar tidak berkedip memperhatikan semua gerakan Bawana. Sementara raut wajahnya tidak berubah, terlihat datar. Tidak ada kekaguman ataupun kekecewaan disana.
Tidak terasa Bawana telah memainkan semua jurus dalam ilmu pedang tingkat sebelas. Bawana menyudahinya dengan memberi salam seperti pembukaan tadi. Tidak nampak kelelahan pada dirinya, nafasnya masih pelan dan tenang seperti sebelumnya, hanya nampak butiran kecil keringat menempel didahi. Setelah menyarungkan pedangnya dia berkata, “ Sekali lagi murid mohon petunjuknya bila melakukan kesalahan memperagakan jurus tadi”.
“ Tidak ada yg salah dengan peragaanmu. Dulu aku menciptakan jurus pedang tingkat sebelas ini, dilandasi oleh pengaruh nafsu amarah. Sehingga semua gerakan tatkala bertahan maupun menyerang  selalu bersifat menghukum pihak lawan. Jurus ini mengumbar kegarangan terhadap lawan dengan membasminya. Cocok dengan sifatmu yg mementingkan diri sendiri, tidak sabar dan garang. Beruntung kamu dididik oleh guru yg bertabiat sama dengan jurus ini, menjadikan jurus ini semakin ganas”.
 “ Ilmu pedang Pringjati ada duabelas tingkatan, namun tingkat sebelas inilah paling dahsyat diantara tingkatan lainnya sekalipun dibanding tingkat duabelas. Karena tingkat duabelas hanya merupakan rangkuman ilmu pedang dari tingkat satu sampai sepuluh. Menimbang sifat dasarmu, aku akan mencoba mengasah lagi kegarangan tingkat sebelas, manakala berada ditanganmu. Jurus ini aku namakan tingkat sebelas lanjutan. Baru aku ciptakan dua tahun lalu. Jurus ini sangat lentur terhadap pengguna bagaimanapun sifatnya dan membangkitan daya gempur dua kali lipat. Artinya menggunakan jurus ini kegarangan ilmu pedang tingkat sebelasmu bisa terasa dua kali lebih dahsyat oleh pihak lawan. Namun dengan syarat kamu harus menguasai hingga tuntas ilmu pernafasan tingkat sebelas lanjutan ini. Bila penguasaanmu kurang tuntas, maka penggunaan jurus ini akan menyedot tenaga dalam, hawa murni cepat merosot dan habis. Sehingga pihak lawan dapat mudah mengalahkanmu”.   
Mendengarnya Bawana sudah pasti tidak memperdulikan akibat itu. Hari ini dia merasa dapat durian runtuh, karena banyak cerita beredar dilingkungan perguruan akan betapa  jarangnya guru besar berhubungan langsung dengan para penghuninya. Bahkan sekedar bercakap atau bertatap mukapun tidak pernah. Namun bukan rahasia umum bila setiap perjumpaan tak terduga dengan guru besar ini akan membawa berkah tersendiri, seperti saat ini guru besar berkenan menambah jurus ilmu pedang padanya.
Akhirnya dua orang ini larut dalam pengajaran jurus pedang dan ilmu pernafasan.
Matahari di barat sana hampir menuju ke balik pegunungan. Sinarnyapun terpancar merah menerobos disela awan yg bergulung2. Sebentar lagi senja akan tiba.
Latihan jurus pedang dan ilmu pernafasan sudah selesai. Damar berdiri bersedekap sedang Bawana dihadapannya duduk bersimpuh terasa lunglai. Tarikan nafasnya memburu deras tidak teratur,  mukanya merah padam, sedang pakaiannya basah kuyup oleh keringat. Nampaknya tiupan keras angin di lereng bukit ini masih tidak mampu mendinginkan panas tubuhnya.
“ Jurus ini akan membalik seperti menyerang dirimu, bila kau belum menguasai ilmu pernafasannya dengan benar. Maka jangan sekali2 kau gunakan. Tuntaskan dulu ilmu pernafasannya. Aku bangga kau cepat menguasai gerakan jurus itu, tinggal menyempurnakan pernafasannya saja. Jurus ini belum pernah aku ajarkan kepada siapapun, tidak juga kepada Sekararum”.
“ Terima kasih kakek guru…”, ucap Bawana hampir mencium tanah.
“ Sekarang pergilah ke Grojoganjati, Sekararum dan lainnya masih lama berlatih disana”, ujar Damar. Tanpa menghiraukan Bawana dia melangkah menuju sanggarnya lagi. Bawana masih diam duduk bersimpuh sambil mengatur pernafasannya, dia memberi salam dan berulang2  ucapkan terimakasih pada sosok Damar, yg hanya kelihatan bayangannya saja.

Sabtu, 25 Februari 2012

Cerita Silat ku entri 5


Bab 3

Keheranan menyeruak dihati Sekararum, ketika nama Waliki kembali disebut, “ Kakek,… sebenarnya siapa Waliki itu, hingga kakek menempatkan dia seolah diatas para paman lain?”.
“Kamu jangan salah paham, aku tidak pernah menyanjung dia. Bahkan dalam keseharianpun aku memperlakukan dia sebagai tukang kebun dan orang lama yg mengabdi di perguruan. Hanya untuk urusan ini, aku lebih memilihnya sebagai pendamping perjalananmu. Karena aku satu2nya orang di perguruan ini yang mengetahui jati diri Waliki sesungguhnya.
 “Apa yg kamu dan semua orang diperguruan ini ketahui, tentang Waliki selama dua puluh lima tahun keberadaannya disini, mungkin hanyalah sebagai situkang kebun. Tapi siapa yg tahu seorang Waliki sebelum itu?
“Aku harus membuka rahasia ini, tapi ingat Sekararum, kamu harus menutupnya rapat2, jangan pernah cerita kepada siapapun, tidak boleh ada seorangpun yang tahu jati diri Waliki sebenarnya,” tangan Damar memegang lembut tangan cucunya, tapi mata teduh itu bersinar tajam dan nada pelan suaranyapun sangat serius, membuat jantung Sekararum berdegup kencang, ketegangan merasuk dirinya.
“ Aku janji, kakek…” akhirnya bisa juga dia berbicara, meski dengan suara pelan, tidak kalah pelan dari suara Damar.
Peristiwa yg dikisahkan Damar kepada Sekararum sebenarnya terjadi sekitar lebih dari lima ratus tahun lalu, disuatu tempat paling utara, disekitar pegunungan Caka yg memanjang dari timur ke barat, bagai tembok pembatas negeri ini dengan dunia lain. Di lembah Kanca namanya, berdiri perguruan Awan Hitam. Tak seorangpun tahu siapa pendirinya, sedikit sekali cerita yg tergali dari perguruan ini. Hingga suatu ketika salah seorang muridnya bernama Kobovali diangkat menjadi patih istana. Sebuah jabatan di istana yg hanya satu tingkat dibawah kekuasaan raja saat itu, yaitu raja Warda. Seorang patih dibantu para mentri dan senopati  bertanggung jawab untuk melaksanakan semua kebijakan  yg telah dibuat raja, baik masalah kesejahteraan pegawai, keamanan di dalam negeri dan di perbatasan, maupun untuk kesejahteraan rakyat negeri ini. Ternyata dengan berlalunya waktu pengaruh kekuasaan Kobovali melebihi raja.  Sayang dia bertabiat buruk, akhirnya sifat rakus, serakah dan sewenang2 itu menjalar juga ke para pembantu dari orang2 golongannya, dan menyingkirkan, bahkan melenyapkan atau membunuh siapapun  yg tidak setuju atau menentangnya. sehingga pengaruh buruk itu merajalela tidak hanya di istana tetapi hampir di seluruh negeri. Para pejabat bertindak sewenang2 tak terkendali, menanam kekayaan pribadi berlimpah, sedang rakyat hidup merana dan sengsara. Raja bagai sebuah boneka. Raja dan keluarganya dijejali segala harta dan kemewahan, disanjung2 bagai penguasa dunia, padahal raja terasing dari kehidupan disekitar rakyatnya, hanya berita bohong mengenai kemakmuran dan ketentraman negeri selalu dihembus2kan oleh Kobovali dan kelompoknya. Rakyat diseluruh negeri dihinggapi rasa takut mencekam, pajak mencekik, apabila tidak sanggup membayarnya maka salah seorang anggota keluarga dijadikan budak disita harta bendanya atau mungkin dibakar rumahnya, penculikan  gadis2 dan wanita muda oleh para penyamun untuk dijual kepada para pejabat brengsek sebagai budak nafsu. Kekacauan dan kebrobrokan moral melanda hampir diseluruh negeri. Kegelapan seakan menyelimuti negeri ini.
 Didunia selalu ada dua sifat saling berlawanan yg akan menyeimbangkan keadaan, ada siang ada malam, ada orang kaya ada yg miskin, dan ada kejahatan pasti ada kebaikan. Begitu pula dimasa kekuasaan raja Warda, kesengsaraan yg ditimbulkan oleh Kobovali mendapat perlawanan dari para pendekar dan beberapa pejabat bahkan adipati, meskipun selama lima tahun perjuangan mereka selalu dapat dipatahkan. Sehingga menginjak awal tahun ketujuh pemerintahan Kobovali, semangat juang para pendekar dan kawan2 itu membara di suatu daerah bernama Eskel, terletak jauh disebelah timur ibukota kerajaan. Kepala daerahnya seorang  pemuda bernama Morota, dia baru dua tahun menjabat adipati, menggantikan ayahnya setelah mengundurkan diri karena perasaanya tidak tahan atas kebengisan orang2 pusat istana.
Ternyata Morota pemuda yg cerdas dan berani, kekayaan pribadi keluarganya dan semua harta orang2 kaya digunakan sebagai upeti ke istana, menggantikan pajak mencekik yg ditanggung rakyatnya. Hutan dan pekarangan dibuka dijadikan persawahan dan kebun milik rakyat, dengan perjanjian bagi hasil separuhnya. Bagi rakyat yg belum mampu membuka lahan persawahan sendiri, diwajibkan bekerja di tanah2 milik kadipaten, dengan imbalan bahan pokok secukupnya dan upah yg dijadikan sebagai pembayaran atas pembelian tanah garapan itu nantinya. Memang banyak orang kaya tidak setuju atas kebijakan ini, sehingga mereka berbondong2 pindah, setelah dengan terpaksa menyerahkan separuh dari harta milik mereka. Setahun kemudian, manfaatnya sangat terasa bagi daerah Eskel, kehidupan rakyatnya lebih baik daripada daerah lainnya, bahkan saat pihak istana menaikan nilai upeti yg wajib disetorkan, dari semua adipati diseluruh negeri, hanya adipati Morota satu2nya yang membayar upeti dengan cara tidak membebankan pajak kpd rakyatnya.
Dibalik sikap tunduk dan tetap mengabdi kepada raja, selama itu pula diam2 Morota telah membentuk kekuatan untuk melawan kebobrokan Kobovali. Dia bersekutu dengan para pendekar, perguruan2, perwira2 dan pejabat2 serta adipati lain yg sealiran dengannya, menyiapkan pasukan tersembunyi berjumlah ribuan, tersebar diseluruh daerah sekeliling istana. Persekutuan ini dikenal dengan persekutuan Pita Putih. Gerakan kelompok ini tak terlacak, serba rahasia dan cepat, hampir2 seperti angin, sehingga pihak istanapun tidak menyadari, bahwa mereka tengah berdiri diujung pedang. Setelah gerakan diam2 pasukan kesekitar istana selesai, maka menjelang harinya dipimpin oleh Morota dan seorang pendekar berilmu tinggi bernama Ki Selogiri, kelompok ini menyerbu  istana.
Penyerbuan dilaksanakan saat istana menyelengarakan pesta hari kelahiran raja. Ditengah kemeriahan pesta besar2an itu, bagai gelombang pasang menghempas, lautan penyerbu masuk memporak porandakan istana.  Pesta pora dan hura hura menjadi bencana dan huru hara bagi Kobovali dan pengikutnya. Semua orang yg sudah didaftar dan dicatat sebagai orang yg harus dihabisi, seketika itu juga  dibunuh. Kepala dipenggal ditancapkan keujung tombak. Sedang Raja dan para keluarganya  disekap diruang2 bawah tanah. Tapi sayang Kobovali bersama keluarganya berhasil lolos. Dia bersama sisa pasukan yg masih setia, yg jumlahnya tidak sedikit, melarikan diri menuju ke perguruan Awan Hitam dilembah Kanca.
Kemenangan Morota dan kelompok Pita Putih disambut gempita seluruh negeri.  Bagai sinar mentari pagi, menyibak kabut gelap. Bagai derasnya hujan menghapus kemarau panjang,  peristiwa ini adalah harapan, apalagi nama Morota sebagai adipati Eskel sudah dikenal setiap orang. Sehingga atas kesepakatan bersama dari semua kelompok penyebu ini, yg diwakili Ki Selogiri,  mengangkat Morota sebagai raja negeri Sirias. Berita itupun menyebar diseluruh negeri.
Setelah memulihkan keadaan istana dan pemerintahan, Morota memerintahkan Ki Selogiri, yg ketika itu diangkat sebagai Senopati, dengan kelompok Pita Putih bersama tiga puluh ribu pasukan yg dipimpin tiga tumenggung, dan dibantu oleh dua orang adipati dengan dua puluh ribu bala pengawalnya, mereka melakukan pengejaran terhadap Kobovali. Tidak selang lama kemudian Morota didampingi lima puluh ribu pasukan menyusul kelompok Ki Selogiri.
 Pelarian Kobovali dan pasukannya menuju utara telah menyisakan kehancuran dan ketakutan disetiap daerah yg dilewati. Membuat kebencian terhadap mereka mengakar dan mendarah daging, sehingga perlawanan kecil2an disepanjang pelariannya sering dilakukan oleh para pendekar dibantu oleh penduduk sekitar. Ternyata tidak semua daerah melawannya, ada sebagian terang2an membantunya. Karena tidak semua kepala daerah menyambut gembira dan setuju atas kemenangan Morota dan kedudukannya sebagai raja, beberepa adipati yg daerahnya dilalui oleh Kobovali dan beberapa perwira2 diperbatasan, mendukung dan memberi bantuan kepada Kobovali selama pelariannya. Bentrokanpun sering terjadi antara pendukung Kobovali dengan para pengejar yg dipimpin Ki Selogiri dan Morota. Akan tetapi hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Morota dan Ki Selogiri,   sehingga mereka dapat mengalahkan rintangan2 itu dengan mudah. Sekaligus membasmi mereka dan membersihkan negeri ini dari para pemberontak.
Tiga bulan setelah pengejaran, lima puluh ribu pasukan dipimpin Morota dan Ki Selogiri mengepung perguruan Awan Hitam di lembah Kanca. Perintah yg tersebar diseluruh pasukan adalah “Tidak ada ampun bagi semua penghuni Awan Hitam. Bunuh semua makhluk hidup disana, musnahkan semua bangunan beserta isinya”.
Sinar matahari baru saja menyibak fajar, langit masih merah merekah, ketika aba2 penyerbuan dibunyikan, pasukan bergerak menyerang ke segala penjuru perguruan. Pintu2 utama perguruan berhasil dijebol. Pertarungan tidak seimbang. Perlawanan sisa2 pasukan pendukung Kobovali sia2, mereka terdesak. Tanda2 akan  kalah, mulai nampak. Tiba2 ditengah2 pasukan penyerbu terjadi kekalutan, pasukan yg sudah ditata dalam kelompok2 barisan berantakan, Morota dan Ki Selogiri beserta para pendekar mengira ada orang sakti dari Awan Hitam langsung terjun ke tengah arena pertempuran dan melakukan pembantaian. Seketika itu pula mereka menuju ke sana.
Setelah sampai kesana, ternyata tidak ada seorang musuhpun bertarung ditengah pasukannya. Pasukan itu dibantai oleh teman sendiri!. Seketika mereka sadar bahwa pasukannya saling serang sendiri, mereka telah saling bunuh sesama kawan. Banyak korban sia2 tak terelakan. Belum hilang keheranan mereka, telah terjadi kejadian serupa ditempat-tempat lain. Bahkan mereka melihat sesama perwira saling serang dan membunuh. Pasukan benar2  kocar kacir. Pengaruh apa ini?. Seperti ada makhluk halus yg membantu pihak musuh. Pasukan penyerbu yg masih normal kondisinya begitu melihat kejadian itu langsung surut, hilang kepercayaannya, bahkan ada seorang adipati dengan paniknya terpaksa menarik sisa2 pasukannya, menjauh dari perguruan Awan Hitam.
Kesempatan itu benar2 dimanfaatkan oleh pihak Kobovali, sehingga dari kondisi sebelumnya yg terdesak sekarang mereka bisa bernafas. Melihat hal ini Ki Selogiri cepat2 bertindak. Dia memerintahkan Morota bersama2 beberapa pendekar mengelilinginya. Akan tetapi entah dari mana datangnya, seketika hidung mereka  mencium bau harum yg menyengat. Lama2 bau ini mempengaruhi pikiran dan akal sehat mereka, bahkan ada suara2 aneh  yg memerintahkan agar mereka saling menyerang, membunuh. Pikiran mereka telah dikendalikan orang lain.  Akibatnya beberapa pendekar disekeliling Ki Selogiri menyerang kawan disebelahnya, demikian pula sebaliknya. Kejadian seperti ditengah2 pasukan tadi kini dialami para pendekar. Sedangkan Ki Selogiri, Morota dan beberapa pendekar yg berilmu tinggi mencoba tetap bertahan  dari bau harum itu, sambil melumpuhkan para pendekar yg mencoba saling membunuh bahkan ada yg mencoba membunuh mereka.
Tidak berapa lama kemudian, mereka merasa perlahan2 bau harum ini berkurang pengaruhnya, rasa menyengat itu perlahan2 menghilang dan kesadaran serta akal sehat para pendekar dan sisa pasukan yg saling bunuh sesama kawan itu kembali normal. Seperti bangun dari mimpi buruk, berdiri bingung dan memandang heran kepada temannya. Ketika melihat ke arena pertempuran, kekagetan bertambah, karena banyak teman mereka mati dengan pedang atau tombak dari sesama teman sendiri. Sedang didepan mereka terlihat perguran Awan Hitam kali ini benar2 diselimuti kabut hitam. Entah darimana munculnya, kabut itu bergerak perlahan, menyebar keseluruh penjuru perguruan.  Kepanikan kini melanda pihak Kobovali, entah apa yg terjadi, terlihat beberapa orang semburat berlarian keluar, tidak mempedulikan pertempuran. Ada yg mengatakan bahwa kabut hitam itu memancarkan hawa panas yang membakar mereka. Kemudian yg terlihat diarena adalah dua pihak itu kini berhadap2an dgn kebingungan, sejenak medan perang terdiam, para pasukan tertegun.
Morota melihat Ki Selogiri berdiri menghadap perguruan Awan Hitam bersedekap, mata terpejam, mulutnya komat kamit, didahi mengembun keringat. Samar2 diatas ubun2nya muncul asap putih tipis. Tahulah dia bahwa kabut hitam disekitar perguruan Awan Hitam adalah hasil perbuatan Ki Selogiri. Dia tidak tahu berakibat apa kabut ini kepada pihak musuh, yg jelas mereka sekarang dalam kondisi panik. Cepat2 Morota memanfaatkan situasi ini, segera dia  memerintahkan agar pasukannya menyerbu. Pihak musuh yg tertegun dan kaget itupun kini menjadi sasaran pembantaian. Teriakan kematian, dan bau anyir darah yg muncrat dari tubuh2 mereka menggenang diatas tanah. Sosok2 mayat bergelimpangan, bertumpukan dengan sekujur tubuh berwarna merah darah. Belum puas bagai serigala kelaparan melihat segerombolan domba, maka Morota, Ki Selogiri dan para pendekar serta pasukannya dengan beringas, menyerbu masuk ke dalam perguruan. Siapapun lawan dihadapan mereka, berakhir tak bernyawa. Termasuk para murid, dan keluarga mereka dari perguruan Awan Hitam. Laki2, perempuan, anak2, dan orang tua , bahkan hewan2 yg hidup semua dilindas, dibabat habis. Benar2 pemusnahan tanpa ampun, sesuai perintah. Sungguh tidak berperikemanusiaan.
Genangan darah sudah mencapai tumit sepatu, ketika didepan mereka berdiri dua sosok laki2 mengenakan jubah hitam dgn muka merah menakutkan, dgn golok berlinangan darah digenggaman, sedang menghadang gerak pasukan. Morota dan pasukannya berhenti, seketika itu mereka sadar bahwa sekarang musuh hanya tersisa dua orang dihadapan. Dua manusia ini, adalah Kobovali dan disebelahnya seorang lebih tua berjenggot putih panjang, memakai sorban warna coklat. Inilah gurunya Kobovali. Kebencian dan amarah hebat terlintas dari wajah mereka berdua, manakala melihat pembunuhan massal penghuni perguruannya. Sedang disekitar mereka tergeletak puluhan mayat, nampaknya dua orang ini telah memakan banyak korban dari pasukan Morota.
Tatapan mata Kobovali tajam menusuk tertuju kepada Morota. Golok diacungkan lurus kedepan kearah Morota. Suatu tantangan perang tanding. Morota yg berpedang ganda bergerak beberapa langkah kedepan, tujuh langkah dari hadapan Kobovali dia berhenti. Wajahnya tenang, tersungging seulas senyuman. Sakit hati Kobovali, sambil berteriak kencang, dia meloncat menyerang. Pertarungan hebat tak terelakan. Antara dua manusia beda generasi, Kobovali dari generasi tua, seorang patih yg berpengalaman dan berilmu tinggi, sedangkan lawannya adalah pemuda, seorang raja baru, belum berpengalaman, namun tidak kalah tinggi ilmunya. Ternyata pertarungan tidak kalah hebatnya terjadi juga diarena lain, antara Ki Selogiri dengan si orang tua bersorban coklat itu. Bahkan beberapa saksi melihat seakan ada petir dan badai menyambar2 disekitar pertarungan dua manusia tua ini.
Tujuh tahun kehidupan selama di istana dengan foya2 dan bergelimang kemewahan dan keenakan, telah menguras tenaga murni Kobovali, semakin lama terlihat bahwa dia dibawah tekanan Morota.  Matahari baru condong ke barat ketika pedang ganda Morota berhasil menebas putus leher Kobovali, potongan kepala itu terlempar dan jatuh menggilinding, bercipratan darah. Seorang jendral bertindak cepat, dengan menusukan tombak kepangkal leher, seketika Morotapun mengangkat tombak yg diujungnya menancap kepala Kobovali. Sorak sorai gempita seluruh pasukan terdengar. Menggetarkan bangunan sekitarnya. Belum hilang gema sorakan kemenanangan, menyusul ditempat lain terdengar pula sorakan lebih keras. Di arena terlihat Ki Selogiri berhasil mengalahkan lawannya, meski luka yg dialami Ki Selogiri dari pertarungan itu tidak ringan. Darah masih menetes dari pinggir bibirnya, berjalan sempoyongan sambil tangan kanannya memegang erat didada.  Muntah darah segar sebelum akhirnya duduk bersila memejamkan mata, mencoba mengatur kembali energi dalam tubuh yg bergejolak tak beraturan, dan menyalurkan ke saluran2 yg normal. 
 “Akhirnya perguruan Awan Hitampun dimusnahkan, bangunan beserta isinya dibakar. Diumumkan kekalayak ramai tentang pelarangan ilmu awan hitam. Bagi pengikutnya yang tersisa, untuk mereka yg terbukti mempelajari dan mempunyai ilmu aliran ini, hukuman mati ganjarannya. Sejak itu pula semua yg berhubungan dengan Awan Hitam punah dari muka bumi ini”, dengan menghembus nafas panjang, Damar menghentikan ceritanya, dilihatnya Sekararum terpekur, terkesima dengan cerita ini.
Setelah lama terdiam seakan menghayati kisah itu, Sekararum lalu bertanya ,“Apa kaitannya cerita ini dengan Waliki…?”
“ Ternyata Waliki mewarisi ilmu Awan Hitam…,” jawab Damar tenang.
Sekararum mengerutkan keningnya,” Bukankah ilmu itu dilarang dan semuanya sudah dimusnahkan…?”
“ Peristiwa ini terjadi kira2 dua puluh lima tahun lalu, lama setelah perguruan kita ini berdiri,” Damar menjawab, setelah sebelumnya dia kembali meneguk wedang.
“ Waliki tiba di desa Pringjati, sebagai pengembara yg ingin menghabiskan masa tuanya dengan hidup tenang maka dia bermaksud menetap disini. Dengan seijin ki lurah saat itu dia membuka lahan, untuk rumah dan persawahan. Ternyata Waliki tukang kayu yg bagus, disamping dia ahli bercocok tanam dan berkebun. Tidak lama kemudian dia didaulat beberapa warga untuk menularkan keahliannya itu. Waliki tidak menolak, bahkan dengan senang hati mengajarkannya. Akhirnya keahlian Waliki sampai ketelinga orang di perguruan sini.  Hal sama dia lakukan pada penghuni perguruan, dia membantu menata bangunan, persawahan dan taman, disekitar sini. Agar kami dapat selalu berhubungan dengannya, kami mengangkatnya sebagai tukang kebun perguruan, dan akrab dengan semua penghuni ”.
“ Waktupun berjalan, secara diam2 ternyata Waliki tertarik pada bakat, kepandaian dan susunan tulang yg dimiliki putriku, Nayala, yaitu ibumu Sekararum...,” setiap mendengar nama ibunya disebut, bergetar dada Sekararum, Damarpun melanjutkan kisahnya.
“ Nayala saat itu lebih tua sedikit dari usiamu kini, kepandaiannya setara denganmu, entah bagaimana awalnya, sehingga dengan sembunyi2 tanpa sepengetahuan siapapun termasuk aku, Waliki membuat kesepakatan dan menurunkan ilmunya. Mereka berdua berlatih, ditengah larut malam, dipuncak bukit Grojoganjati. Nayala pintar mencuri waktu disaat aku berada di aula melatih murid. Suatu ketika tidak sengaja aku memergoki dia sedang berlatih sendiri, gerakan2 dan jurus yg diperagakan bukan dari ilmu selama ini kuajarkan. Jurus2 itu begitu kejam, bengis dan sadis. Aku menduga itu ilmu dari aliran hitam. Apa Nayala menciptanya sendiri, atau ada orang lain yg mengajarkannya, tapi siapa…?”
“ Selama itu pula Nayala tidak menyadari bahwa aku menguntit gerak geriknya. Hingga suatu malam, dengan sembunyi di puncak Grojoganjati aku melihat mereka melatih ilmu tsb. Bahkan Waliki sempat berlatih menggunakan sebagaian kehebatan ilmu itu, ilmu yg kejam. Menilik gerakan2 Nayala, menurutku dia baru menerima sepersepuluh bagian. Setelah mereka menyelesaikan latihannya, aku biarkan Nayala menuju jalan pulang. Aku ingin membuka kedok Waliki. Maka dijalan setapak menurun bukit, dikegelapan malam, dengan membungkus sebagian wajahku dengan kain gelap, aku pura2 berdiri bersandarkan pohon, menghadang perjalanannya. Dia sungguh terkejut, hingga lama berdiri tertegun. Waliki pasti menduga, bahwa dihadapannya adalah salah satu penghuni perguruan, tapi tidak tahu siapa. Dia tdk ingin kedoknya terbongkar,  ternyata sangat sulit untuk membuatnya mengaku. Akhirnya kami bertarung, aku merasa ilmu Waliki masih dibawah muridku Sartani maupun Aryasulu bahkan Gagar, tapi kadang2 ditengah pertarungan muncul bau harum menyengat hidung, berakibat memecahkan pemusatan pikiranku, sehingga cukup lama aku baru bisa mengalahkannya. Sambil mengingat2 ilmu apa yg mempunyai ciri seperti ini, aku membuka kain penutup muka, dan meminta Waliki tidak mengulangi perbuatannya. Dia berjanji tidak melakukan lagi, tanpa seijinku, dan menyebut ilmu yg dimiliki adalah cabang ilmu dari perguruan Awan Hitam. Ilmu itu dia peroleh, tiga puluh tahun sebelumnya dari seorang perempuan tua, yg tinggal di lembah Duka di barat negeri ini. Tapi dia tetap merahasiakan sampai sekarang siapa perempuan tua itu. Dan sejak saat itu, keaslian jati dirinya hanya diketahui olehku dan ibumu. Sampai sekarang ”.
Hening serasa mencekam, setelah Damar menyelesaikan ceritanya. Tidak terasa mataharipun hampir mencapai puncaknya. Rindangnya pohon di atas bukit ini sanggup untuk menutup sinarnya, meski masih ada yg menerobos disela2 dedaunan. Udara pun masih sejuk, dengan anginnya semilir. Hingga cuaca panaspun tidak terasakan.
Damar meneruskan pembicaraan, “ Waliki menerima untuk menjadi pendampingmu selama perjalanan,…tapi dengan syarat aku mengijinkan dia untuk menurunkan semua ilmu warisan Awan Hitam kepadamu… ”.
“ Dan aku menyetujuinya…” Damar berkata pelan, sambil menoleh menatap lembut cucunya.
Sebelum Sekararum sempat mengucapkan sesuatu, Damar melanjutkan,“ Baik buruk pengaruh ilmu itu kepadamu sudah aku pertimbangkan, seandainya kamu tidak menyetujuinya, aku putuskan selama aku masih hidup maka tidak ada pencarian terhadap ayah dan ibumu”, ada sedikit nada menekan dalam suara Damar, meski masih dengan kelembutan seorang kakek yg menyayangi cucunya.
Sekararum hanya termangu mendengarnya. Seolah menuju jalan buntu, maka diapun hanya mengangguk.
“ Ahh…maafkan kakekmu ini Sekararum, aku lega akhirnya kau menyetujuinya. Besok kita akan ke sanggar untuk mempersiapkan perjalananmu. Sekarang kau harus berangkat ke air terjun grojoganjati, kau pasti sudah ditunggu paman dan kakak2mu untuk berlatih di sana,”
Segera Sekararum mencium tangan kakeknya, setelah mengucap salam, maka dia bergegas pergi menuruni bukit, kemudian berbelok dijalan setapak untuk selanjutnya mendaki hingga kepuncak. Setelah sosok cucunya hilang di tikungan bukit, Damarpun menghela napas panjang. Dia merasa bahwa diamnya Sekararum menandakan bahwa cucunya itu  menerima dengan berat hati, tapi dia mengetahui bahwa Waliki adalah seorang pengembara yg handal, seperti dirinya, ahli pencari jejak.  Dibawah lindungannya maka perjalanan cucunya tidak akan tersesat, tanpa arah. Hanya yg tidak diduganya adalah syarat yg diajukan Waliki. Tapi semuanya kini sudah diputuskan, dan segera akan dilaksanakan.

Sabtu, 04 Februari 2012

Cersil Ku Blm entri 4

Sekarang dia tahu bahwa Waliki seorang ahli menata taman, tidak hanya sekedar situkang kebun. Waliki, siapa yang menyangka orang ini memiliki ilmu langka, yg sudah dianggap punah dan menggetarkan, dia benar2 pandai menyembunyikan jati dirinya dibalik keahlian berkebunnya. Melihat pesona alam disekitarnya membuat hati Damar gegetun. Jelas bahwa selama ini ternyata dia telah buta, dengan semua kehidupan manusia yg mengalir dan berganti dengan irama suka dan duka mereka di perguruannya.

Sadar bahwa selama ini dewan guru seolah2 telah mengambil alih keberadaan dia di perguruan. Hal itu sudah berjalan bertahun2. Dia merasa bertindak bodoh. Semua ini akibat kehilangan anak gadisnya, ibu dari cucunya, Sekararum. Peristiwa itu benar2 menggoncangkan jiwanya.

Tempat tinggal Damar berada paling ujung di bagian barat ini, diatas hamparan tanah datar disuatu tebing yg cukup tinggi. Ada anak tangga dari batu untuk menuju kesana. Anak tangga itu berliku2, tidak akan terlihat dari jalan setapak yg baru saja dia lewati tadi. Di bawah sebelah kirinya mengalir sungai yg deras. Sedang disebelah lainnya adalah hutan yg sangat lebat.

Rumah itu bentuknya mirip rumah para guru dibawah tadi, tapi lebih besar, bahkan diatas lereng dibelakangnya juga terdapat bangunan mirip aula berukuran kecil. Damar nenyebutnya sanggar. Beda dengan tempat lainnya, taman dan kebun disini dia sendiri yg mengatur. Ternyata hasil karyanya tidak kalah dengan keahlian Waliki.

Begitu Damar tiba di pekarangan rumah, dilihatnya Sekararum sudah menyambut dengan senyuman. Usia gadis ini menginjak enam belasan. Berwajah cantik, dengan ciri wajah Damar terpeta jelas, hanya bentuk mata gadis ini lebih lebar.

Belum sampai kaki Damar menginjak halaman rumah, Sekararum sudah bergelayut manja, sambil menggandeng tangan Damar.

“Aku senang kakek cepat pulang, pasti rindu dengan minuman hangat jeruk nipis wedang jahe gula aren dicampur daun pandan wangi dan satu piring pisang bakar dilumuri cairan madu, aku masak sendiri, masih hangat, silahkan kakek menikmatinya”, sambil berkata Sekararum menuntun Damar menuju teras didepan rumah. Disana memang tersedia panganan seperti disebutkan tadi.

” Jenuh menunggu kakek, aku makan lebih dulu”, lanjutnya

“Terima kasih…Sekararum” kata Damar dengan membelai rambut sigadis, dan tak lupa mencium keningnya. Selama ini Damar beralasan kepada siapapun, bahwa kepergiannya ini untuk melihat suasana pedesaan, bagaimana kondisi sekarang. Alasan masuk akal bagi setiap orang, mengingat Damarlah yg mengawali membangun tempat ini hingga maju seperti sekarang.

Mereka duduk bersebelahan dibawah lantai teras berlapiskan permadani bulu domba bermotif warna-warni. Pertama kali diteguknya wedang bikinan cucu, menyusul kemudian pisang bakarnya. Sambil menikmati sarapan pagi, Damar mendengarkan Sekararum :

”Kemarin aku berlatih ilmu pedang tingkat sebelas dengan para kakak. Kromik dan Semit bisa aku kalahkan, setelah bertarung masing2 hampir tiga puluh jurus. Berarti semua kakak diperguruan ini, tidak ada yg menang melawan aku” berhenti sebentar, ada kebanggaan disuaranya, lalu dia melanjutkan :

“Tapi menurutku, mereka sengaja mengalah untuk menyenangkan aku”.

Damar melirik cucunya itu terlihat sedang cemberut dibuat2.

“Awas…lain kali aku bikin mereka menyesal telah mengalah padaku..”, Sekararum menepuk pahanya sendiri, kesal.

Damar tersenyum, sambil menikmati hidangannya, dengan mulut masih terisi dia berkata “ Mereka bukan sengaja mengalah, tapi ilmu pedangmu memang diatas rata2 murid tingkat sebelas, bahkan aku yakin kamu masih bisa mengimbangi para pamanmu ditingkat dua belas atau di dewan guru, karena aku secara langsung melatihmu ilmu pedang itu. Kamu tinggal memperdalam tenaga dalammu dan mengasah ilmu itu, maka para paman pun, akan sulit menang melawanmu, aku yakin itu!”

Sekararum yg mendengarnya hanya tersenyum, muka pucatnya memerah jengah. Apalagi didengarnya kemudian Damar tertawa menggoda.

Dia buru2 mengalihkan pembicaraan ke topik lain. “Hari ini guru Wiryo dan guru Rampal, akan menyempurnakan ilmu barisan pedang kami. Mungkin aku dan delapan kakak lain ditingkat sebelas akan memulai pengemblengan saat matahari naik, tapi kami tidak melakukannya di aula, melainkan ke puncak bukit sana, dan berlatih dibawah air terjun Grojoganjati. Padahal aku dan Bawana punya rencana lain…” sengaja diputusnya perkataan itu, seakan ingin membuat penasaran Damar.

Karena dilihat kakek disebelahnya ini hanya terdiam mendengarkan, dan asyik menikmati panganan, Sekararumpun melanjutkan, dengan suara dibesarkan “ Dua hari lalu, kami menemukan jalan tembus mungkin menuju perbatasan desa sebelah utara, jalan ini lebih cepat dan tidak sulit kondisi jalannya”

“Hari ini kami akan mencoba menelusuri jalan itu sampai dimana ujungnya berakhir, tapi perkiraan kami tidak jauh dari perbatasan desa”

Damar menghentikan makannya, pura2 membesarkan bola matanya”Ahh…dan kamu memohon padaku, agar kakekmu ini, mengijinkanmu kesana lalu memberi alasan kepada para guru, bahwa kamu tidak bisa ikut berlatih karena…itukan maksudmu?”

“Sekararum, memang sangat banyak jalan2 tikus dipegunungan ini yg masih belum terjamah. Tapi kamu harus tetap menghargai para paman, mereka menggembleng ilmu pedangmu, bukan hanya untuk kebanggaan kamu, tapi juga untuk kebesaran perguruan kita. Aku tidak ijinkan hari ini kamu ke jalan tembus itu, hari ini kegiatanmu adalah berlatih ilmu barisan pedang. Titik”

Dilihatnya, Sekararum tertunduk dengan muka cemberut, tapi sekejap kemudian dia menengadah, wajah itupun kembali ceria seperti semula, “ Ahh…lain hari aku masih bisa menelusurinya, kakek…”

Dibelai rambut cucunya, denga tersenyum Damar berkata, “Aku bertemu Waliki di bukit seberang desa, mungkin besok mau memanen padi miliknya, diperkirakan hasilnya lebih bagus dari musim panen lalu”, diambilnya lagi panganan itu, dijejalkan ke mulutnya, nikmat terasa.

“Kalau mau membantunya, Waliki akan beri kamu lima karung beras, sebagai upahnya. Disamping itu gerakan2 tubuh saat memanen padi sangat berguna untuk latihan ilmumu”

Angin meniup membawa udara pegunungan segar kearah mereka.

“Aku sudah pernah melakukannya, kakek…musim lalu aku ikut membantu para petani memanen sawah kita, di persawahan bawah sana,…bahkan aku dapat beberapa petak lebih banyak daripada mereka“, dengan mulut cemberut dibuat2, tapi tidak kehilangan muka cerianya, Sekararum menggelayut ke lengan kakeknya, manja.

“Ahh…tapi sawah kita, musim ini diserang hama tikus. Mungkin sedikit pula hasilnya. Cukup untuk kita makan, lalu untuk dijual, bagaimana? Kalau kamu terima tawaran Waliki, berarti kita masih punya persediaan beras dari upah itu, sampai musim tanam berikutnya” dielus2 rambut cucunya, sambil mengunyah sisa makanan dimulutnya.

“Aku tidak memaksa…Sekararum, dan ada hal penting harus aku bicarakan denganmu” kali ini nada suara Damar serius, tidak bercanda seperti tadi.

Jeda suasana menjadi hening, Sekararum kali ini menengok wajah kakek didekatnya ini, memperhatikannya, mencoba menebak hal penting apa yg ingin disampaikan. Sedang Damar berlama2 meneguk wedangnya membasahi kerongkongan, puas sehabis menikmati pisang bakar. Kemudian setelah meletakan gelas, tangannya merogoh dibalik bajunya, mengambil sesuatu.

Kalung berkepala batu, yg tadi diperlihatkan ke Waliki, kini diangsurkan ke Sekararum.

”Simpanlah kalung ini…”

Sejenak Sekararum terkejut, bergantian antara memandang kakeknya dan kalung itu. Merasa heran dan bimbang, namun diambilnya juga, dari telapak Damar.

Damar melihat ada ketakjuban bercampur kebingungan diwajah cucunya, manakala mengamati kalung itu. Selang berapa lama, waktu hanya terisi suara2 decak kagum Sekararum tiada henti.

Dipegang rantainya sambil diayun2 di muka Damar, wajahnya tersenyum senang.

“Milik siapa ini ? benarkah kalung ini untukku…?”

“Ya…itu untukmu. Milik seseorang yg ada hubungannya dengan kepergian orang tuamu” Damar kemudian menuturkan cerita tentang kalung itu, mengulang kisah yg pernah dia ceritakan kepada Waliki.

Sinar matahari kini menerobos sela2 rapat dedaunan pohon dipekarangan, memantul mengenai hamparan tanah dibawahnya, sebagian lantai teras kini diterangi cahaya, terkadang anginpun membawa aroma bunga2 di kebun, wanginya sampai tercium mereka.

Diam2 mata Sekararum terlihat berkaca2. Mukanya tertunduk dalam, sehingga helaian rambut lebat itu jatuh menutupi sebagian wajahnya, tangannya megenggam erat batu kalung itu, hingga menimbulkan bekas guratan dalam ditelapaknya.

“Aku dapat merasakan, kalung ini pasti milik ibu…, akhirnya aku memiliki sebagian kenangan yg masih tersisa dari seorang ibu. Aku harus berjuang menemukan mereka,”. suara Sekararum terbata2, kemudian suasana hening dan sunyi.

Damar hanya diam membisu, mukanya memerah, pandangannya kosong kedepan, menerawang entah kemana, tidak tega dia menengok keadaan cucu disebelahnya, hatinya trenyuh, lidahpun kelu, bahkan jantung seakan lambat berdegup, aliran darahnya tersendat, dan paru2nya sulit mengembang, sehingga tarikan nafasnya berat.

Helaan nafas panjang dan berat dari Damar membuyarkan kesunyian diantara mereka.

“Tiba saatnya mencari orang tuamu. Kegagalanku menemukan mereka, jangan melemahkan semangatmu. Akhirnya aku merasa, seseorang tidak bisa menentukan kehendaknya sendiri, jalan kehidupan seakan bukan diri kita yg mengaturnya, pasti ada tangan2 tak nampak menjalankan nasib seseorang, maka jangan remehkan kemujuran nasibmu. Karena itu diusiamu yg masih muda ini, aku rela melepasmu pergi menuju keramaian di dunia sana, tempat yang belum pernah sekalipun engkau bayangkan. Bekal dan kemampuan ilmu yg kau miliki, ditingkat saat ini, aku pastikan masih dapat menjaga dan melindungi keselamatanmu”.

Sekararum menatap kakeknya, masih menduga seakan tidak percaya, suaranya pun tercekat saat berucap, “ Kakek tidak menemaniku…tega melepaskan aku pergi sendiri”

Damar tidak langsung menjawab, dipejamkan matanya sesaat, dengan menggertakan gigi menguatkan diri dia menjawab,” Perjalananmu akan ditemani Waliki…”

Lantai teras ini seperti bergoyang bagi Sekararum, keterkejutan seakan membuat dadanya meledak, apakah telinganya salah dengar!, atau kakeknya sudah pikun, dan salah mengucapkan nama Waliki.

Untuk meyakinkan dia bertanya,” Waliki, si tukang kebun berwajah murung itu?”

Kali ini Damar tersenyum, dengan tatapan lembut dipandang dalam2 mata cucunya, ujarnya enteng,” Apakah ada Waliki lain di perguruan ini…?”

Seketika Sekararum merasakan tubuhnya menjadi lemas, matanya melotot sehingga bentuk mata yg panjang dan lancip itu kini menjadi bulat, sesaat mulutnya ternganga, dengan meredam gejolak dia berkata,“ Apa pertimbangan kakek, memilih dia…?” ketus nada suaranya.

Masih tersenyum, dan membelai rambut cucunya Damar pelan menjawab,” Menurutmu seperti apa Waliki itu?”

“ Pendapatku hampir sama dengan semua orang disini. Dia itu si tua pendiam, bermuka murung, tidak memiliki ilmu silat, karena dia malas dan tidak berminat, tapi dia pintar berkebun, mengolah taman dan bercocok tanam.Tapi aku pergi berkelana bukan untuk belajar bertanam, melainkan perjalananku diluar sana akan menghadapi segala rintangan dan hambatan yg mungkin berbahaya bagi diriku, seperti kakek sering cerita. Bagaimana dia bisa menjagaku, sedangkan untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri saja tdk mampu.…!

“Mengapa bukan salah satu paman guru yg menemaniku…,mereka pasti lebih mampu dari pada kakek menunjuk si tukang kebun itu. Bahkan aku punya usul bagaimana jika guru Rampal dan Bawana menjadi teman selama perjalananku, atau guru Wiryo dan Semit, aku pikir mereka akan…! Damar membiarkan Sekararum nyerocos, masih panjang kalimat Sekararum, semua isinya hampir menyudutkan Waliki dan ketidaksetujuannya atas pilihan Damar.

Lama Damar hanya mendengarkan, seandainya obralan kata2 itu dapat menghilangkan kekesalan Sekararum, itu lebih baik baginya. Damar pun tidak ingin berdebat disaat emosi cucunya memuncak, maka dia menjadi pendengar yg baik, sambil manggut manggut, tapi pandangannya kearah bunga warna warni dikebun.

Akhirnya Sekararum menghentikan omongannya, setelah puas dan kehabisan kata2. Dadanya naik turun , nafasnya masih menggebu2, tetapi emosinya mulai reda.

Setelah lama membiarkan Sekararum mengendalikan diri, Damar berkata :

“Aku bukan manusia bodoh,…Sekararum,” kali ini ucapannya, pelan dan lembut penuh kasih sayang. “ Bagaimana aku rela melepaskan cucuku sendiri terjun di ganasnya dunia sana, tanpa jaminan akan keselamatan dirinya?”

“ Meskipun usiamu masih belia, diperguruan ini aku anggap ilmu silat yg kau miliki hanya kalah dari para guru tua di dewan guru. Karena mereka adalah murid pertamaku, yg ikut membantu mendirikan perguruan ini. Demikian pula dirimu, mewarisi ilmu perguruan ini langsung dari aku. Apa yg aku ajarkan pada mereka, aku berikan juga padamu. Daya tangkap dan kemampuan untuk menyerap ilmu pada masing2 murid berbeda, dengan berjalannya waktu, dan ditempa berbagai pengalaman sangat berpengaruh terhadap tingkat keilmuan mereka. Sehingga adanya penalaran lebih mendalam terhadap keilmuan, menyebabkan mereka mampu mengembangkan jurus2 yg sudah ada menjadi lebih dahsyat, meski masih dalam satu pohon keilmuan yg telah aku ajarkan. Begitu pula aku, telah berhasil mencipta jurus2 baru hasil dari pengembangan dan penalaranku selama ini. Dan jurus2 ini telah aku ajarkan pada dirimu, tapi tidak pada mereka atau lainnya. Inilah yg meyakinkanku bahwa tingkat keilmuanmu diatas rata2 sebagian besar penghuni perguruan ”, berhenti sesaat dipandangi cucunya itu, lanjutnya, “ Kecuali Waliki….”.