Bab
5
Sesampai
didalam sanggar, Damar duduk bersemadi, menutup mata dan melakukan penenangan
pikiran, ingin dia memusnahkan semua pikiran duniawi.
Entah sudah
berapa lama Damar dalam situasi seperti itu, ketika suara halus dan lembut itu
menembus dinding pemusatan pikiran, lalu menggapai saraf2 pendengarannya
sehingga membuka hubungan lagi dengan dunia.
“
Kakek,…maafkan aku sudah mengganggu istirahatmu “, Sekararum sudah berdiri di
balik pintu. Lilin untuk penerangan didalam sanggar sudah dia nyalakan. Terdengar
suara jangkerik dan hewan malam lainnya saling bersautan.
Perlahan Damar
membuka mata, pertama kali dilihat adalah cucunya sedang duduk bersila
dihadapannya, bibirnya tersenyum menampakan keceriaan di wajahnya. Bagaikan
kerinduan yg terobati, Damar merasakan kebahagiaan ketika wajah Sekararum muncul
dalam hubungannya kembali dengan dunia.
“ Hari sudah
gelap, aku sudah siapkan makanan”, ucapan Sekararum menyadarkan pikiran Damar.
“Aku harus ke pertemuan dewan guru”, ujar
Damar dalam hati. Namun dengan tersenyum dan membelai cucunya, dia menyahut,”
Terima kasih Sekararum, ayo kita makan bersama”.
Mereka berjalan
keluar sanggar menuju rumah utama.
Setelah empat
malam diluaran sana, maka menyantap masakan Sekararum dimalam ini, beda dengan
biasanya, serasa lebih nikmat bagi Damar. Suasanapun diisi dengan cerita Sekararum
tiada putus2, kadang diselingi tawa mereka berdua.
“ Guru Rampal, mengusir Bawana saat mendatangi kami sedang berlatih di
Grojoganjati”.
Mendengar itu Damar sesaat menghentikan suapan
nasinya, teringat bahwa dia yg menyuruh Bawana pergi ke Grojoganjati “
Mengapa…?” tanyanya.
“ Alasannya bisa
mengganggu latihan kami. Tapi semua tahu kalau paman tidak suka padanya, gara2 dia
selalu menolak berlatih bersama. Bahkan pernah ketika di aula Bawana menantang
kehebatan ilmu barisan pedang yg diajarkannya. Kasihan guru Rampal, dia
orangnya sabar, pendiam, menghindar pertengkaran, namun Bawana sungguh keterlaluan. Sepertinya selama
ini guru Rampal bersikeras menahan diri karena melihat sosok kakek guru Aryasulu
dibelakang Bawana. Herannya guru Wiryo
yg juga berada disana nampak lebih membela Bawana , jadinya anak ini makin
besar kepala”.
“ Lalu apa yang
terjadi dengan tantangan itu…?” Damar penasaran.
“ Sepuluh anak
murid tingkat tujuh yg sedang berlatih, disuruh untuk membentuk barisan pedang
pringjati, masing2 memegang sebatang rotan sebagai pengganti pedang, demikian
juga Bawana. Ternyata barisan pedang itu saat dimainkan oleh mereka tidak
sebagus diharapkan, akupun melihat mereka banyak melakukan kesalahan saat
menyerang, sehingga pertahanan kokoh dari ilmu itu, jadi longgar. Hal ini dapat
dilihat oleh Bawana, dengan suatu gerakan tipuan, dia dapat memancing lawan
akibatnya sisi timur barisan kocar kacir, lalu berpengaruh pada susunan
barisan. Satu persatu murid tingkat tujuh itupun berjatuhan”.
“ Murid tingkat
tujuh memang baru awal menerima ilmu ini, …tapi gerakan tipuan apa yg dilakukan
Bawana?”
“ Jurus
melempar bulan memungut bintang”.
“ Ahh, dia
melawan barisan itu dengan menggunakan ilmu tingkat tujuh…!”
“ Ya, itu dia
ucapkan dengan sombong sebelum pertarungan. Karena susunan barisan itu terdiri dari murid tingkat
tujuh, maka diapun akan melawannya dengan ilmu tingkat tujuh pula”.
“ Hebat…!”
Sekararum hanya
mendengus dan mencibir ketika mendengar Damar memuji. Kemudian berkata ,“
Seharusnya mereka tidak segampang itu dikalahkan, tapi para murid itu berlaku
sembrono. Setelah kejadian itu sikap Bawana makin meremehkan guru Rampal, tapi dia
tidak meladeninya, malah berkata pada Bawana”.
Sekararum berhenti
sesaat kemudian dengan suara dibuat2 sambil
berlagak seperti guru Rampal, dia berkata,
“Dengan merasakan situasinya, seharusnya kamu bisa menang lebih cepat,
seandainya menggunakan jurus membelah awan menangkap bintang. Akupun tanpa
sadar berteriak – Benar…!, Tapi Bawana
hanya tersenyum, mengucapkan salam lalu ngloyor pergi. Begitu melewati tempatku
berdiri, dia melototi aku…”.
Damar tersenyum
sambil manggut2,” Itulah bedanya sifat manusia, Rampal orangnya rendah hati,
dia pasti menggunakan jurus tersebut, artinya mengalahkan lawan tanpa
menyakiti. Tapi Bawana sifatnya besar kepala dan angkuh. Jurus yg dia gunakan
akan mengalahkan lawannya secara memalukan”.
Sekararum
mencibir membantah, “ Tapi hal itu akan menambah orang tidak suka padanya. Benar kata paman, bahwa dia tidak mengerti
situasinya. Dia bertarung hanya ingin dipuji, tetapi tidak menghayati suasana
pertarungan. Padahal berhadapan dengan murid2 lebih rendah tingkatannya, lalu
mengalahkan mereka dengan cara seperti itu, akan menambah kebencian kepadanya. Berarti
dia belum bisa menjiwai ilmunya”.
Damar memandang
cucunya itu dengan roman kagum. “ Aku senang kamu bisa berkata seperti itu. Berarti
kamu dapat mencari intisari ilmu yang kamu dapatkan selama ini”.
Tiba2 Damar
terdiam, suara ini begitu halus terdengar ditelinganya, seolah masih
dikejauhan, tetapi getaran yg diakibatkan olehnya menunjukan bahwa sumbernya berada disekitar sini. Namun sulit
dia menentukan posisinya. Pelakunya menggunakan ilmu meredam bunyi.
“ Jangan
menguping…tunjukan dirimu!”, seru Damar.
Sekararum belum
mengenal situasinya, hanya terbengong kaget, mendengar kakeknya berkata
demikian. Cepat dia menyimpulkan ada orang diam2 secara sembunyi mendengarkan
pembicaraan mereka. Tapi dimana, dia sulit menerka. Seketika suasana menjadi
tegang. Sekararum memandang kakeknya, masih duduk dimeja dihadapannya dengan
mata meram, dilihatnya urat2 kecil menonjol dikeningnya. Kakeknya berusaha
mencari keberadaan pelaku.
Kemudian dia
hanya melihat bayangan ketika Damar telah melesat seperti terbang kearah luar,
melewati jendela yg masih terbuka.
Sebenarnya semua
kejadian itu hanya berlangsung sekian detik, ketika Sekararum baru menyadari
semuanya, dia mendengar dari arah halaman samping rumah suara gemeresak
dedaunan dan benturan dua manusia.
Kenyataannya
adalah Damar benar2 telah memergoki sipenyusup. Bahkan kali ini dipelataran
yang luas, dua orang itu berdiri berhadap2an berjarak tujuh langkah. Dengan
bantuan sinar bulan dan pancaran obor yg megantung dipelataran, Damar melihat
sosok dihadapannya ini bertubuh tinggi dibungkus jubah warna hitam. Wajahnya
terlindung kain lurik, hanya terlihat sepasang mata bersinar tajam. Namun sulit
bagi Damar untuk dapat mengenali sinar mata siapa itu.
Bahkan dari
benturan tadipun dia dapat memastikan bahwa orang ini bukan penghuni perguruan.
Tapi setidaknya dia dapat mengukur kemampuannya, ilmu orang ini tidak berada dibawah dirinya.
“ Nama si
pedang pucat ternyata bukan kosong belaka, sudah lama aku mendengar kehebatan
dirimu pada puluhan tahun lalu, pengasinganmu dari dunia ramai tidak mengurangi
kehebatanmu. Aku makin kagum saja…”. Sipenyusup berkata, suaranya tersamarkan
oleh kain kerudung, namun masih sangat jelas dan tajam.
Damar
menyimpulkan dari suaranya, sosok misterius ini adalah laki2. Setelah lebih
seksama memperhatikan penampilan sipenyusup, Damar menjadi kaget.
“ Sasadara…”, tanyanya
dalam hati.
Kejadian penyusupan ini sejenak menegangkan dirinya.
Sudah empat puluh tahun sejak perguruan ini berdiri, ini adalah pertama kalinya.
Ada apa sebenarnya. Namun begitu dia berusaha bersikap tenang.
“ Tak kuduga,
sekali bertemu dengan kelompok Sasadara, ternyata mereka tak ubahnya seperti maling,
mengendus2 bagai kucing kudisan”. Damar berkata, suaranya bergetar lembut. Saat itu dilihatnya
Sekararum telah berdiri disampingnya. Diliriknya wajah cucunya ini sangat
tegang, tubuhnya gemetar menahan kegeraman. Namun tidak ada rasa takut terpancar
dari sikap Sekararum, bahkan dirasakannya cucunya telah menyiapkan diri
sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan yg akan terjadi. Ini membuat Damar
lebih tenang.
Meskipun cukup
pedas kata2 Damar, namun sipenyusup seolah tak terpengaruh bahkan dengan bersedekap
dia menjawab, “ He..he…, suatu ketika aku pastikan kita akan saling bertemu
dalam suasana lebih baik “, Berhenti sebentar, kali ini pandangannya jatuh pada
Sekararum.
“ Ah..dan itu
cucu tersayang, sungguh cantik seperti ibunya. Pasti mempunyai kepandaian yg
tidak kalah pula”.
“ Kamu mengenal
ibuku…?” seketika Sekararum memotong perkataan orang itu. Suaranya bergetar.
“ O ya,..wanita
cantik dengan nasib jelek. Seorang laki2 menerima rejeki besar, malah menyia2
kan lalu meninggalkan , demi wanita sundal”.
Bukan hanya Sekararum,
Damarpun seketika sangat terkejut mendengarnya. Meskipun diucapkan tenang tanpa
emosi, tapi isi perkataan itu menimbulkan beribu arti baginya.
“ Apa maksud
kisanak…” kali ini suara Damar benar2 tidak menyembunyikan keingintahuannya.
Ada getar perasaan terpendam, hampir tak terkendali. Bahkan dia telah lupa
tujuan orang ini menyatroni kediamannya.
Sorot mata
tajam dibalik kerudung itu memandangnya. Ada sinar kemarahan terpancar sesaat,
namun sedetik kemudian menghilang.
“ Ah…sudahlah,
kalau kalian tidak mengetahui cerita sebenarnya, itu lebih baik. Sekarang
ijinkan aku mohon diri. Dan maafkan kelancanganku memasuki perguruan tanpa
seijinmu”, begitu tenang orang ini berkata, bahkan seolah tiada rasa bersalah
diapun melangkang menjauh, hendak menuruni pelataran, tingkahnya sangat
meremehkan.
Damar benar2
terbakar amarahnya, suatu hal terpenting selama hidupnya, adalah pertanyaan
mengenai anak dan menantunya. Bahwa dia rasakan sipenyusup ini tahu jawabannya,
malah ditanggapi dengan sikap jual mahal dan meremehkan, membuat pengendalian
jiwanya terlepas. Bahkan Sekararumpun dapat merasakan kemarahan hebat dari diri
kakeknya. Belum pernah dia selama hidupnya melihat, kakeknya seperti ini.
“ Tidak semudah
itu…?” teriak Damar, diiringi kibasan ujung lengan kanan jubahnya mengarah
kepada si penyusup.
Akibatnya luar
biasa. Si penyusup merasa ada tekanan kekuatan hawa panas berkecepatan tinggi
akan mendorong dan menghimpit dadanya.
“ Mega Dahana”,
desisnya kaget.
Pada benturan
tadi dia merasa bahwa ilmu tuan rumah sungguh luar biasa, itu diluar perkiraannya.
Bahkan ketika pengintaiannya kepergok, itu kejadian tak pernah diduganya.
Padahal sangat sedikit orang mampu mengendus keberadaaannya ketika dia
menerapkan ilmu meredam bunyi. Dan tenyata kegagalan ini telah dialaminya di
sebuah perguruan terpencil ini. Dia ceroboh, terlalu meremehkan si pedang
pucat.
Sekarang dia
sedang dihadapkan pada serangan dahsyat yg tidak disangka2 dari tuan rumah. Dia
tahu bahwa terlalu berbahaya untuk menghindar, bisa terlambat karena serangan
ini meluncur sangat deras kearahnya. Sehingga secepat kilat dia menghimpun
sepenuhnya tenaga murni, dia salurkan kearah tangan kanannya, kemudian didorongnya
keluar. Memapaki hawa panas lawan.
Benturan dua
hawa panas dari dua orang berbeda ini, sungguh dahsyat. Terdengar bunyi seperti
cambuk yang dilecut dangat keras, menggeletar diangkasa, menggema di seluruh
perbukitan. Sekararumpun merasakan akibatnya, ketika angin panas berhembus
kencang menyambar dirinya seakan melontarkannya. Sambil menjerit kaget dia
meloncat surut, menjauh dari jangkauan hawa panas, yg melingkar mengelilingi
dua orang saling berhadapan ini.
Tenaga pantulan
benturan itu sungguh luar biasa, sipenyusup terseret kebelakang satu langkah,
bekasnya meninggalkan cerukan memanjang ditanah sedalam lima jari. Bahkan
dengan memegang dadanya dan sedikit membungkuk, dia mencoba untuk tetap
berdiri. Terlihat dia sempoyongan, namun begitu dia masih sempat mengutuki
kejadian ini. Terdengar dia mengumpat habis2an.
Damar masih
berdiri ditempatnya tidak surut sejengkalpun. Kondisinya ternyata tidak lebih
baik. Meskipun dia berusaha kakinya masih tertancap bagai pasak dibumi. Namun
dari sela2 pinggir bibirnya mengalir pelan darah segar. Gelungan rambutnya terlepas,
sehingga rambut putih yang panjang itu terurai berkibar2 tertiup angin.
Mereka berdua
diam berhadap2an. Membisu. Merasakan akibat bentrokan tadi.
Suasana malam di pelataran atas bukit itu kembali
sunyi. Hanya terdengar suara2 serangga malam, dan angin meniup kencang
menggesek ranting2 pepohonan. Api obor bergoyang2, membuat bayangan ketiga
manusia ini berlenggak lenggok. Sekararum masih berdiri menjauh, meski
goncangan jiwa telah mereda, tetapi kekhawatiran menjalar dihati, demi dilihat
kondisi kakeknya.
Tidak berapa
lama kemudian terdengar suara sipenyusup, terbata2 serak dan pelan. Dia
mengalami luka serius.
“ Hai …orang
tua, aku memang salah masuk perguruanmu tanpa ijin dan menguping pembicaraan
kalian, yang tidak ada artinya itu. Dan aku sudah minta maaf. Apakah perlu kau
menghukumku sampai mempertaruhkan nyawa seperti ini. Dasar telur busuk, tai
ayam tindakanmu tadi bisa membunuh kita berdua…!”.
“ Cerita
sebenarnya tentang putriku…”, Damar seakan tidak menghiraukan perkataan
sipenyusup, suaranya bergetar bercampur dengan luapan amarah dan menahan luka
yg dideritanya.
“ Tanyakan
sendiri kepadanya…!” geram sipenyusup. Tidak disangka hanya gara2 omongannya mengenai
putri kakek ini, menyebabkan mereka hampir terbunuh.
“ Pasti sudah
aku lakukan, kalau selama lima belas tahun ini, bisa bertemu dengannya”, Damar
menjawab pelan. Amarahnya mulai reda. Dia merasa ada yang janggal dengan orang
dihadapannya ini.
“ Apa…!” jawab sipenyusup
heran. Sedetik itu dia seakan lupa dengan lukanya.
“ Wanita itu juga menghilang dalam lima belas
tahun ini…?” lanjutnya memastikan.
Sipenyusup
memandang tajam Damar seakan tidak percaya, kemudian dialihkannya tatapan itu kepada
Sekararum. Lama memperhatikan gadis itu.
Sambil menahan
sakit dia berkata, “ Aku kenal sepasang pedang satu jiwa, tapi tidak berteman
baik dengan mereka. Ketika sipedang sakti jantan berjalan bersama perempuan
dari lembah ular, aku mengacuhkannya. Berarti didunia ini tidak ada lagi
sepasang pedang sakti. Mereka telah berpisah”.
Tidak dapat
menahan kesabarannya Damarpun bertanya, “ Darimana kamu dapatkan cerita ini…?”
“Kira2 lima
belas tahun lalu, aku berjumpa dengan menantumu dan wanita ular itu di puncak
gunung Bibis. Mereka layaknya sepasang kekasih. Dan ternyata memang itulah yang
terjadi. Kejadian ini tidak seorangpun
di dunia tahu, sehingga berita ini terkubur dalam2 seiring dengan menghilangnya
dua sejoli itu. Tapi aku tidak menyangka bahwa putrimu sipedang sakti betina, yg
tegar dan pantang menyerah turut menghilang, dan tega meninggalkan seorang
anak”.
Semua
penjelasan orang ini susah dicerna Damar, luka setelah bentrokan tadi
dirasakannya belum pulih, kemudian mendengar kenyataan bahwa lima belas tahun
lalu, ketika putrinya sedang hamil, ditinggal suaminya, siayah jabang bayi, yg tidak
lain menantunya sendiri. Membuat semua itu berputar2 dipikirannya, membentuk
bayangan putrinya disaat2 kecil kala ditinggal ibunya, lalu ketika penuh derita
ditinggalkannya, kemudian petualangannya dikala sudah dewasa, dan pernikahannya,
terakhir kehamilannya. Dia merasa selama ini putrinya benar2 dirundung malang,
kehidupannya hanya dihiasi kemuraman nasib dan derita.
Aliran darah
dalam tubuhnya bergolak tak beraturan, menerobos bagai menggelontor deras
jantungnya. Kemudian naik menghantam pusat saraf diotaknya. Bumi yg dipijaknya
serasa berputar, menjungkirnya.
Samar2 dia
masih mendengar sipenyusup berkata,“ Nah orang tua, hanya itu yg kuketahui,
sekarang aku ingin pergi. Suatu saat kita akan berkenalan lebih dalam lagi ”.
“Tunggu…”, Sekararum
berteriak, namun dia hanya melihat bayangan punggung sipenyusup telah memasuki
kegelapan dibalik rimbunan pepohonan.
Cepat Sekararum
ingin bergerak mengejar, niatnya terhenti ketika dilihatnya Damar jatuh
terduduk, muntah darah.
“ Kakek…!” Sekararum
menjerit, lalu meloncat kearah Damar.
Dibantu
penerangan cahaya bulan, sipenyusup masih berjalan, melalui jalan setapak
dihutan yg berkelok dan licin. Dia lega ternyata gadis itu tidak mengejarnya.
Luka dalamnya tidak ringan, saat bercerita tadi, dia sekuat tenaga menahan
gelegak aliran darah yg membalik dari jantungnya, sedangkan hawa murninya sudah
terkuras.
Meskipun begitu
dia tidak berhenti berjalan Untuk ukuran orang terluka, gerakannya masih sangat
lincah, seolah dia sangat hapal dengan hutan ini. Arah yg dilaluinya semakin
menjauh dari lokasi para penghuni perguruan, bahkan tidak akan terlihat oleh
para peronda sekalipun. Jalan setapak ini hampir belum pernah dijamah manusia.
Tapi jelas semakin menuju keluar perguruan,
dan menembus batas utara pedesaan pringjati.
“ Gara2 kakek
keparat itu, aku keluar harus melalui jalan ini…” gerutunya dalam hati.
Seharusnya dia
keluar melalui jalan ketika dia masuk perguruan tadi, yaitu bagian depan.
Ketika itu dengan gerakan bagai bayangan dia berhasil mengecoh para peronda perguruan,
terbang melewati atas tembok perguruan, kemudian seperti burung dia hinggap
diatas beberapa bangunan didalam perguruan. Dan akhirnya mencapai tempat
tinggal sipedang pucat, diatas bukit. Semua itu dia lakukan dalam sekejap,
hampir tanpa menyentuh pelataran halaman perguruan sama sekali. Namun sekarang
kondisinya berbeda, luka dalam ini telah membuat dirinya seperti orang baru
berlatih ilmu. Mustahil dia mampu melakukan seperti tadi, bahkan meloncati
tembok perguruan yg tinggi menjulang, tanpa dilihat para penjaga, itu serasa
tidak mungkin.
Wilayah perguruan
sudah dilihatnya jauh dibelakang, diatas perbukitan. Dia memastikan keamanan
sekitarnya ketika berniat berhenti berjalan. Dibawah pohon tinggi dan besar, dia duduk
bersandar, dibukanya kerudung penutup muka. Sinar bulan menerpa seraup wajah dengan
bibir belepotan darah segar. Segera dia usap darah itu dengan kain kerudungnya,
hingga bersih. Kemudian mengambil sesuatu dari balik bajunya, dan menelannya.
Duduk bersila,
sambil menutup mata, dia mengatur kembali organ2 dibagian dalam tubuh . Dia
berusaha memulihkan luka. Atau setidaknya menguranginya. Dibantu obat yg telah
ditelannya, maka beberapa lama kemudian kondisinya berangsur2 membaik, tapi
belum pulih seperti sedia kala.
“ Kau
ceroboh…!”, suara itu muncul dikegelapan hutan. Entah darimana datangnya,
membuat dia tercekat. Kaget tiada kepalang, akibatnya untuk sekian detik
tubuhnya merasa kaku, jantung berhenti berdegup dan ketegangan merayapinya.
Tidak jauh
didepannya, dibawah pohon tinggi dan besar pula, melalui pantulan cahaya bulan
dari sela2 dedaunan, dia dapat melihat sesosok manusia berdiri bersandar,
bersedekap memandang tajam kearahnya.
Setelah dapat
menguasai diri, dan lama menerka siapa gerangan sosok asing itu, akhirnya diapun
berkata, “ Ahh…tuan adipati, mengagetkan aku saja”, suaranya bergetar, rasa
terkejutnya masih tersisa.
“ Aku menguntitmu
sejak memasuki perguruan. Kejadian dirumah Damar, akibat kau terlalu meremehkan.
Dia akan berusaha mendesak tujuanmu menyatroni rumahnya, beruntung kau keceplosan
bicara masalah putrinya. Pengaruh ceritamu bagi dirinya sungguh luar biasa. Akupun
tidak menduga”.
Orang yg
dipanggil adipati ini berperawakan sedang namun tegap. Usianya sekitar enam puluhan tahun. Mengenakan tutup kepala dari
kain hitam, bergaris2 warna emas, serupa dengan pakaian yg dikenakannya.
Adipati
melangkah mendekat, kemudian duduk berhadapan,“ Apa yg kau dapat selama
pengintaianmu”. Matanya masih tajam menatap.
Penyusup itu
meram sebentar, mengatur kondisi tubuhnya. Selama jadi tenaga sewaan dia tahu
bahwa orang dihadapannya ini mempunyai ilmu lebih. Beberapa kawan dikelompoknya,
pernah menyebut bahwa adipati Tursada penguasa kadipaten Draw ini, kehebatannya
tidak kalah dari baginda sendiri. Bukan rahasia lagi kalau dia kerap berbeda
pendapat dan menentang kebijakan kerajaan selama raja baru ini memerintah.
Anehnya selama itu pula raja tidak berkutik dan segan menghadapi adipati yg
memerintah suatu wilayah dibagian selatan negerinya ini. Sehingga diantara
kedua pihak seolah sepakat tidak akan terjadi benturan kekuatan. Meski begitu
adipati Tursada masih menaruh rasa hormat dengan memberikan upeti dan rutin
menghadap di balairung istana. Raja menganggap hal itu sebagai tanda tunduk
padanya. Dan sekarang si penyusup merasakan tingginya ilmu si adipati ini.
Seumur hidup, belum pernah ada manusia sanggup menguntit tanpa
sepengetahuannya. Tidak berlebihan bila
dunia menjulukinya kucing bayangan, karena keahliannya menyatroni dan
membuntuti, tanpa diketahui jejaknya.
Tapi kenyataan
pada malam ini, adalah dua kali nama kucing bayangan dipecundangi. Kehebatan
julukan itu seolah tiada arti lagi,
hanya gelar kosong. Maka sambil menghela nafas dia menjawab, “ Gerakan ini sudah
menyusup di kecamatan ini. Pihak luar sering mondar mandir didalam dan disekitar
desa Pringjati. Aku perkirakan mereka akan memulai dari sini, tapi aku belum
tahu, rencana macam apa yg akan dijalankan. Mereka seakan menunggu aba2 untuk
bergerak. Tapi aku belum memperoleh keterangan tentang siapa pemimpinnya.
Sepertinya dia tidak akan terjun langsung, melainkan bergerak melalui
wakil2nya. Bahkan mereka bersiasat ki camat seolah2 terbuai dengan janji2 adipati
Sepasta, dengan berpura2 sangat patuh mengabdi. Dia menyambut baik utusannya,
bahkan dia tidak menolak penempatan pasukan kadipaten disekitar wilayah ini.
Juga dia bersedia menerapkan pajak pada
penduduk. Meski mereka seakan2 dengan berat hati menerima kebijakan ini. Namun menjamin
tidak akan timbul keributan. Perkecualian di perguruan ini, mereka khawatirkan
Damar tidak bisa diatur, sehingga mengganggu suasana tenang tanpa kecurigaan
dari kadipaten dan kerajaan“, sipenyusup berhenti sebentar, roman muka adipati
tidak berubah, tertarik mendengarkan tapi seakan sangat sabar menunggu.
“ Sepuluh tahun
lalu, Damar membentuk dewan guru untuk membantunya. Anggotanya dua puluh orang.
Pengaruh dan kendali mereka sangat besar pada anak murid dan orang sekitar. Bahkan
dua anggota yang paling tua, mereka dipanggil Aryasulu dan Sartani, dianggap
memiliki kemampuan melebihi Damar. Dan Arya adalah ayah dari ki camat Pringjati.
Perkiraanku melalui perguruan ini dengan diatur oleh dua murid tua itu akan
dijadikan penopang utama gerakan mereka. Hanya aku penasaran, apakah Damar belum
mengetahui gerak gerik dua murid tuanya itu. Maka aku menyatroni kediamannya,
mengawasi tindak tanduknya, bahkan mencoba menguping pembicaraan. Akhirnya tuan mengetahui kejadian
selanjutnya”.
Adipati terdiam
sejenak, dengan mengerut kening dia berkata, “ Menurutmu Damar ikut serat dalam
gerakan ini?”.
“ Tidak, meski
aku harus lebih meyakinkan pendapatku ini”
“ Berarti
dipihak mana dia akan berdiri?”
“ Sipedang
pucat terkenal sederhana, jujur dan berjiwa satria. Melihat wataknya dia lebih
mementingkan kesejahteraan rakyat dari pada penguasa negeri ini. Sebagai
pemimpin sebuah perguruan, tentu berbagai iming2 dari adipati dan pihak2 lain akan
menggodanya. Tetapi sulit mengikat dia dalam lingkaran perebutan kekuasaan apalagi
sebagai tukang pukulnya adipati. Meskipun hal ini akan membahayakan dirinya,
mengingat orang2 kepercayaan yaitu dewan guru ada gelagat mencoba
mengkhianatinya. Dan itu ditentukan pada pertemuan besok ”.
“ Berapa kekuatan perguruan ini, seandainya terjadi
bentrokan dengan pasukan”.
“ Kira2 tiga
ribu orang. Ditambah bekas anak murid yg tersebar diluar, bila mereka masih
setia. Semuanya bisa menjadi lima ribu orang”, Begitu yakin kucing bayangan ketika
menjawab. Dan adipatipun menyadari kebenarannya. Karena dia tahu pekerjaan
orang dihadapannya ini. Sebagai orang sewaan, ahli dalam pengintaian dan
rahasia musuh, bekerja secara rahasia, dan merahasiakan penyewanya. Meski nyawa
taruhannya. Itulah yg dia ketahui tentang kehebatan kelompok ini. Maka dia
tidak ragu2 membayar mahal.
“ Apa rencanamu
selanjutnya”.
“Selama ini aku
masih mencari berita penting diwilayah ini, termasuk hasil pertemuan utusan
adipati dengan Damar. Bila semua ini selesai, akan aku laporankan ditempat dan waktu yg sudah ditentukan. Aku
menyesal karena ketidakbecusanku akhirnya kita berjumpa disini, diluar rencana
yg telah disepakati“, mata kucing bayangan menyilau tajam, menantang adipati. “Dan
aku tidak suka, bila yg menyewaku membayangi pekerjaanku, seolah tidak percaya
kemampuanku”.
Adipati tertawa
pendek,” Yang kau lakukan luar biasa. Tidak ada orangku sanggup mengerjakannya.
Aku beruntung mendapatmu. Mengenai pertemuan ini, bukan aku tidak mempercayai
kemampuanmu, tapi kebetulan aku melewati lembah ini, sepulang dari makam
eyangku di Slompretan. Seandainya menyinggungmu, aku minta maaf”.
Diapun berdiri
sambil menangkupkan kedua tangannya. Dengan tenang kucing bayangan ikut berdiri.
“ Tuan adipati,
tidak perlu seperti ini. Aku lancang bicara”, sambil menangkupkan telapaknya,
dia membalas hormat.
“
Sudahlah…anggap tidak pernah ada kejadian seperti ini”.
“ Terima
kasih”.
Masih
tersenyum, adipati menoleh kesamping kanan.
“ Paman…!”,
ujarnya.
Terkesiap hati kucing
bayangan, demi melihat dari balik kegelapan pohon, disebelah tempat dimana adipati
ketika itu muncul, kini melangkah seorang laki2 bertubuh kurus dan tinggi. Berjubah
hitam dengan kain penutup kepala juga hitam. Gerakannya pelan, hebatnya injakan
kaki pada rerumputan dan dedaunan kering yg berserakan, tidak menimbulkan
suara. Benar2 ilmu meredam bunyi tingkat tinggi. Sesaat itu kucing bayangan
hanya bisa bengong. Tatapannya pilu kearah laki2 ini.
“ Sebelum aku
pergi…”, terdengar suara adipati. “ Maukah menjawab, ada hubungan apa kau
dengan perempuan lembah ular…?”.
Kondisi kucing
bayangan dalam keterkejutan luar biasa, adanya laki2 yg dipanggil paman, dan
kini berdiri disamping adipati, benar2 diluar jangkauan nalarnya. Hingga sesaat
dia seperti tidak mendengar pertanyaan adipati.
“ Dia kekasihku…”,
jawabnya datar, tanpa gejolak perasaan. Perhatiannya lebih tertuju kearah laki2
tua misterius itu – yg dari tadi hanya diam membisu, sorot matanya dingin,
acuh.
Adipati hanya
manggut2 ,“ Apakah kau melenyapkan mereka?”
“ Kehebatan
sipedang sakti jantan sudah termashur. Digabung dengan perempuan itu, maka
mereka bukan tandinganku. Perlawananku hanya beberapa jurus. Kutinggal
gelanggang dengan membawa bekas luka diperutku”.
Adipati
terdiam, hanya matanya menatap kucing bayangan.
Kemudian dia
berkata, “ Aku pergi dulu…”, tanpa menunggu jawaban, mereka berdua sudah
bergerak, dan lenyap digelapan hutan.
Tinggal kucing
bayangan berdiri termangu. Semua peristiwa dimalam ini telah meruntuhkan kehebatan
yang dibanggakannya. Dua orang tadi membuktikan, betapa luas ilmu didunia ini.
Dibanding mereka, dia merasa kecil. Sambil menghela nafas panjang, dia
meneruskan perjalanannya menuju perbatasan utara pedesaan.