Minggu, 29 Januari 2012

Cerita Silat Ku-Belum Berjudul

Bab 1

Manakala suasana alam pegunungan berubah hening, mata Damar Semboja menatap tajam orang dihadapannya, dia merasa Waliki belum ada kemajuan berarti sejak pertarungan terakhir mereka setahun lalu. Bahkan dipertarungan kali ini, dia pastikan Waliki sudah dibatas kemampuannya. Keadaannya terlihat letih dan mengenaskan. Diwajah dan sekujur tubuh dipenuhi rembesan keringat, sedang nafasnya terdengar memburu. Dadanya naik turun cepat. Dia terlalu memaksakan diri. Sedangkan dirinya hanya menampakan butiran2 keringat dikening dan wajahnya. Nafasnyapun masih teratur pelan. Masih ada cadangan ilmu dan jurus2 hebat yg belum dikeluarkan.
 “ Bila kau paksakan menggunakan ilmu itu, sambil harus menghadapi serangan lawan, maka kau sendirilah yg celaka. Ilmu itu sanggup mencelakaimu”.
Mendengar ucapan Damar itu, Waliki hanya mencibir lalu meludah, “ Huh…setua ini aku masih belum dapat menemukan inti ilmu ini”.
Damar melangkah menghampiri. Kini keduanya sudah berdiri berdampingan. Pandangan menerawang kearah pedesaan Pringjati jauh dibawah kaki gunung.
“ Apa maumu, Waliki. Kau mati2 an mencoba terus menggali sari patinya, namun untuk siapa semua itu nanti. Cacat lima ratus tahun lalu, membuat nasib ilmu ini terpaksa harus dimusnahkan dari muka bumi. Apakah kau diam2, bersikeras ingin mewariskan ilmu yg terlarang ini. Sudahkah kau tentukan siapa dia?”.
Waliki termenung mendengarnya.
“ Pasti akan tiba saatnya nanti…”, gumamnya lirih.
Kembali keheningan menyelimuti mereka. Cahaya fajar sudah menerobos genangan kabut yg mengambang, menciptakan kehangatan alam.   
 Tiba2 suara Damar seperti berbisik, seolah cukup didengar mereka berdua.
  “Akhir2 ini Sekararum bersikeras ingin mencari orang tuanya”.
Kepala Waliki mengangguk sesaat, lalu mendesah pelan, “ Dia selama ini pasti memendam rasa sedih melihat teman2nya begitu bahagia dapat berkumpul dengan orang tua mereka”.
Seolah tidak terusik dengan jawaban itu, Damar tanpa menengok mengangsurkan sesuatu kepada Waliki.
“ Sekitar sepuluh tahun lalu, si tongkat biru dari serikat Pancasaka memberikan ini”. ( serikat pancasaka, terdiri dari pengemis, gelandangan, peramal, pencopet dan pemusik jalanan)
Dalam keremangan kabut, dengan sekilas, Waliki melihat ada sesuatu memancarkan warna meski sangat redup diatas telapak tangan kanan Damar. Diambilnya benda tsb. Sebuah kalung dari logam putih mengilap sebesar kelingking bayi. Bandulnya berupa batu beralas pipih dengan permukaan cembung sebesar separuh telapak tangannya, berbentuk setengah lonjong. Tapi sengaja dipotong oleh benda sangat tajam tepat ditengah2 menjadi dua. dengan bekas irisan sangat halus, sehingga tidak kentara. Pada permukaan yg cembung, berpendar sinar dengan komposisi warna berubah2, seperti pelangi. Yg luar biasa adalah didalamnya terlihat  samar2 bentuk seperti pedang dipahat berwarna hijau. Seumur hidupnya dia tidak pernah melihat  benda  yg tercipta secara alami seperti ini.
Karena penasaran maka dibolak balik bandul kalung itu, setelah puas lalu mengembalikannya kpd Damar.
 ”Ada maksud apa dia memberikan cuma2 benda seberharga ini, kepadamu?”
Dengan memasukan kembali kalung tsb dibalik jubah, Damar menjawab:
“Kalung ini bukan miliknya. Si tongkat biru dititipi untuk memberikannya kepadaku!” ada senyum kecil saat  berkata seperti itu.
Waliki mengerutkan dahi, “Aneh, selama ini yg kutahu mereka kelompok yg tinggi hati dan angkuh. Bagimana mungkin mau  dititipi sesuatu untuk orang lain”.
Damar seakan tidak mendengar komentar Waliki, dan melanjutkan ceritanya, “Setelah satu bulan lebih sitongkat biru dan kelompoknya mencari, akhirnya dia menemukanku. Sambil menyerahkan kalung ini yg terbungkus kulit buaya dan dijahit sangat rapat, sitongkat biru menyampaikan pesan sipemilik kalung, bahwa aku tidak perlu mencarinya lagi, tolong besarkan cucuku, berikan kalung ini kepadanya saat dia ingin mencari orang tuanya”.
“Setelah lima tahun masa pencarianku, pesan itu tidak dapat kupahami. Ragu2 aku menerima kalung ini, tapi melihat sitongkat biru sendiri, yg namanya tersohor di jagad, maka aku menjadi yakin. Dengan mengucapkan terima kasih, aku menanyakan siapakah pemilik barang ini, sehingga tongkat biru begitu repot perlu memberikan langsung kepadaku. Tetapi wajah Sitongkat biru jadi mengeras, lalu membuka telapak tangan kanannya, dan kulihat ada bekas luka tipis berupa goresan melintang yg dalam dan memanjang selebar telapak tangannya, seperti diukir dengan pisau tajam. Dengan suara geram dia berkata, bahwa luka tsb dialami ketika bertempur melawan pemilik kalung itu, hanya sejurus, dia terkena pukulan lawan dan darah menetes dari ujung tongkatnya, merembas dari luka ditelapak tangannya yg sedang menggenggam tongkat!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar