Bab
6
Setelah
berpisah dengan Damar diatas bukit sana, maka seharian itu Waliki hanya bekerja
disawah. Melewati hari2 nanti kesabarannya mungkin akan diuji, yaitu menunggu kepastian
keberangkatan. Dia ingin secepatnya melakukan perjalanan dengan Sekararum.
Bukan karena bisa berpetualang kembali, tetapi hasratnya menurunkan ilmu begitu
menggebu. Masa penantian selama puluhan tahun, berakhir sudah. Ilmu yang
dimiliki kini akan mendapatkan pewaris baru, secara sah jatuh kepada putri dari
bakal muridnya dulu – ibu dari anak ini. Teringat kejadian dua puluh lima tahun
lalu, kala itu dia terpesona oleh bakat dan kecerdasan Nayala putri Damar. Setelah
dalam masa pengembaraannya dia sangat berhati2 memilih calon, maka menurutnya
ilmu ini sangat cocok diwariskan kepada Nayala. Sehingga mati2an dia merayu dan
membujuknya. Bagai durian runtuh, ternyata Nayala menyanggupinya, meskipun
dengan sembunyi2 mereka melatih ilmu ini. Entah bagaimana kejadiannya akhirnya
Damar memergoki kelancangannya. Pertarungan dengan Damar sungguh luar biasa
baginya. Memang ilmu yg dimilikinya masih mentah, dan diapun merasakan hal itu.
Akan tetapi dia bukannya tidak berusaha mengembangkannya. Berbekal ingatan petunjuk
dari gurunya dia selalu mencoba berusaha meningkatkan kemampuannya. Tapi dasar
dia tidak berjodoh atau karena kebodohannya, maka ilmu ini mentok hanya sampai
disini, hasilnya jauh panggang dari api.
Seperti biasanya, bila kegiatan rutin telah
usai, maka beberapa warga di pedesaan bergerombol duduk di gardu, tempat beberapa
pengawal kecamatan bergilir berjaga keamanan. Malam itu Waliki termasuk
diantara mereka. Dengan diterangi obor baik didalam dan luar gardu, beberapa
dari mereka duduk mengelilingi meja berbentuk lonjong, ada pula sebagian
berdiri, bersandar didinding, menikmati obrolan, isinya kadang2 serius tetapi
juga terdengar tawa keras. Ada penganan ubi bakar dan jagung panggang serta
camilan kacang rebus ditengah meja. Mug besar berisi wedang jahe gula aren telah
mengisi cangkir dihadapan masing2 warga desa.
“ Pindah ke kadipaten
lain! Kemana? Semua tempat diatas bumi ini milik raja, berarti pasti dipungut
pajak”, Laki2 tambun berperut buncit yg berdiri bersandar dinding hampir berteriak, suaranya terdengar sengau.
Kengototannya membuat suasana gardu mendadak sunyi.
Tidak mau kalah, pria berwajah bersih yg duduk
tegak akhirnya angkat bicara, “ Aku pernah berdagang sampai ke kadipaten Draw,
disana bebas dari pungutan pajak…!”
Cepat si tambun
berkata,“ Tapi kalau kamu mau pindah kesana, tiga perempat harta bendamu harus
disumbangkan, sebagai upeti untuk kadipaten. Lalu kamu akan diberi bekal tanah
garapan dengan harga tertentu yg harus diangsur. Hasil dari tanah garapan itu
separuh diambil kadipaten, begitu seterusnya sampai bisa melunasi harga tanah
yg kamu garap. Itu aturan yg berlaku disana, ditetapkan lima tahun lalu bagi penduduk
pindahan dari wilayah lain. Dan hidup
seperti itu akan berlangsung bertahun2, karena harga tanah ditetapkan terlalu
tinggi, dan akan ditinjau ulang setiap tahun. Saat itu harganya bisa mencapai
dua kali lipat. Tapi bila kamu sebagai penduduk pindahan ini akhirnya bisa
melunasinya, maka untuk selanjutnya hidupnya akan tentram, bebas dari pajak.
Itu yang terjadi disana”.
Sesaat semua
terdiam, termenung. Suasana menjadi hening. Sesaat berikutnya terdengar orang
seusia Waliki yg duduk disebelah pria bersih tadi bersuara. Disamping
penampilannya terlihat perlente diantara semua, dia juga seperti disegani.
“ Dua hari lagi ki camat Bagaswala dengan
bendahara dibantu aparat kadipaten akan menghitung besarnya pajak masing2
warga. Selanjutnya ditetapkan berapa pajak harus masing2 kita bayar. Berarti
harapan kita tipis untuk menolaknya”, Berhenti memandang beberapa orang,
menunggu tanggapan mereka. Ternyata semua diam mendengarkan, maka dia melanjutkan,
“Dahulu kala saat disini masih sepi,
penduduknya mungkin hanya sepersepuluh dari sekarang. Seolah tanah tanpa
harapan. Aku merintis usaha sendiri, dengan bertani dan berdagang. Begitu
kedatangan guru Damar, dia memacu kami untuk membangun wilayah ini. Puluhan
tahun kemudian hasilnya sungguh menakjubkan. Seperti sekarang ini. Apa yg aku
maksudkan adalah di tanah ini masih ada guru Damar. Kita bisa meminta petunjuk
padanya. Dia pasti tidak akan tinggal diam, dengan kekhawatiran yg melanda kita.
Tetapi hal ini bukan berarti melawan pada ki camat selaku pemimpin disini. Guru
Damar tidak akan berbuat seperti itu. Yang aku dengar besok, utusan adipati
ingin bertemu dengan guru Damar di perguruan. Kita akan datang lebih awal ke perguruan,
sowan pada guru Damar, sekaligus meminta petunjuk padanya”.
Tiba2 seorang
pemuda menyeletuk, “ Aku sering melihat guru Sartani dan guru Arya menemui Bagaswala
di pendopo”,
“ Ya…, dan itu
bisa diartikan perguruan mendukung kebijakan adipati”, kali ini laki2 yg
berdiri diambang pintu gardu ikut menimpali.
“ Apalagi guru
Damar selama ini jarang ikut terlibat, dan turun perguruan menyambangi kita”,
kembali pemuda tadi berkata. “ Apa masih ada harapan…?”
“ Lebih baik
mencoba, daripada tidak bertindak sama sekali ”, ujar laki2 tua berpenampilan
mewah itu. Suasana menjadi hening didalam dan luar gardu, semua larut pada
pikiran masing2. Waliki sedari tadi menjadi pendengar, dan berdiri bersebelahan
dengan lainnya diluar gardu, telah mengenal akrab mereka yg berbicara tadi. Yg
paling tua perlente itu adalah bekas anak murid Damar, sepuluh tahun lalu.
Laki2 berperut buncit adalah juragan Mohing, paling kaya di desa. Sedang pria
berwajah bersih merupakan pedagang keliling langganan warga sini. Dua laki2 muda
terakhir bekas murid perguruan tingkat lima, berarti mempunyai kemampuan
lumayan. Mereka adalah anggota pengawal kecamatan. Selanjutnya pembicaraan di
gardu itu, bergantian dikuasai mereka.
Malam semakin
menjelang, sinar bulan terang menyinar. Hawa dingin semakin menyengat. Akhirnya
laki2 tua perlente menyahut, “ Kalau begitu besok pagi, kami berempat akan
menemui guru Damar. Mudah2an tindakan ini tidak dianggap lancang oleh Bagaswala”. Nadanya puas seolah2 kesimpulan dari suatu
pertemuan telah diambil.
Selama itu pula
diam2 perhatian Waliki tertuju pada tiga sosok, yg sedang duduk diwarung,
diseberang gardu. Sinar beberapa lilin terpasang, meneranginya, memang warung
itu mulai sepi, hanya meladeni mereka bertiga. Tetapi terlihat olehnya gerak
gerik mereka lebih terpusat pada pembicaraan di gardu, daripada makanan yg
dihidangkan. Bagi orang berkemampuan tinggi tidak akan sulit untuk mendengarkan
dan mengikuti semua obrolan di gardu ini dari jarak sejauh warung itu. Waliki memaklumi
bahwa mereka adalah para pendatang yg kebetulan mampir di desa ini, seperti
kebanyakan yang lain, mengingat wilayah ini telah menjadi seperti kota kecil yg
mulai ramai. Sehingga keberadaan mereka disini tidak patut dicurigai, karena
siapapun pendatang harus melewati pemeriksaan ketat di pintu gerbang utara maupuan di
selatan.
Waliki sendiri
sering mendengar disaat2 sekarang ini banyak mata2 adipati dan kerajaan
berkeliaran diwilayah2 ramai. Mereka memantau dan mencoba mengendalikan
situasi. Termasuk disini.
Dan cangkrukan
di gardu inipun mulai bubar ketika beberapa orang, mengundurkan diri, pulang ke
rumah masing2. Waliki salah satunya. Namun rasa penasaran membuat dia tidak
membelok kearah rumahnya melainkan, berhenti disuatu tikungan jalan kecil
disamping rumah yg tidak jauh dari warung tersebut. Tersembunyi dan mengintip.
Sebenarnya menyadari ketuaannya, seharusnya malu dengan kelakuannya seperti
ini, tetapi entah mengapa, perasaan menggebu untuk mengetahui tindakan
selanjutnya dari mereka bertiga, telah mendorong untuk melibatkan diri. Memang dilihat
olehnya, mereka keluar dari warung seiring bubarnya cangkrukan digardu.
Hebatnya mereka menyebar, satu orang
kearah utara mengikuti situa perlente. Satunya lagi melangkah dibelakang
sitambun menuju arah barat dan yg terakhir berjalan pelan selangkah mendahului
dua pengawal, mereka bergerak ke pendopo. Kebingungan menerpa Waliki, hatinya
ragu yang mana hendak dikuntitnya. Akhirnya pertimbangan hatinya lebih tertuju
kearah situa perlente, kebetulan jalan yg diambil searah menuju tempat
tinggalnya. Untuk itu secepatnya dia mengambil jalan memutar, harapannya akan
bertemu mereka dipersimpangan gang kedua.
Tidak ingin
ketinggalan, Waliki mengerahkan ilmu terbangnya. Tubuhnya melintas diatas
bangunan rumah2 penduduk. Pijakan kakinya tak bersuara bagai seekor kucing,
sesaat kemudian dia sudah berada dijalan menuju persimpangan, dimana terdapat
gang yang akan dilalui oleh mereka. Jalan disini hanya diterangi dengan
beberapa obor bambu, sehingga suasananya temaram. Kira2 mencapai ujung
persimpangan Waliki melambatkan langkahnya, kemudian berbelok pelan sambil
menengok kearah kanan. Sepi. Hanya lilin megantung apinya bergoyang ditiup
angin. Diapun berhenti dipinggir persimpangan.
“Apakah mereka
tidak melewati jalan ini?”, serunya dalam hati. “ Tidak mungkin, tadi kulihat
mereka telah memasuki gang pertama, dan harusnya hanya melalui jalan ini untuk keluar dari gang pertama. Apa mereka
kembali dan berbelok masuk gang yg lain”.
Entah mengapa
kekhawatiran menjalar keseluruh tubuhnya. Seketika dia berlari kecil memasuki jalan yg harus
dilalui buruannya, tapi tak terlihat batang hidung siapapun. Mereka berdua
seakan lenyap ditelan bumi. Tiba2 ketakutan melanda, bayangan jelek kematian
bergelayut dipikirannya. Kemudian Waliki meneruskan langkahnya menyusuri jalanan
di gang pertama. Masih sepi, bahkan tidak nampak bayangan manusia didepannya. Dia
memutuskan meneruskan langkahnya, dan berharap berpapasan dengan mereka.
Waliki adalah ahli
pencari jejak, kejadian ini membuatnya kagum. Jejak mereka berdua hilang ditengah jalan lurus ini. Dari bekasnya
tidak ada kekerasan yg berlangsung. Walikipun mendongak ke atas, bahkan
kesekitarnya. Agak jauh diseberang sana terlihat rumah penduduk berjajar
berhimpitan. Pintu dan jendela telah tertutup rapat. Sedang dihalaman rumah2
itu banyak ditumbuhi pepohonan rindang.
Tiba2 mata tajam Waliki tertuju diujung sebuah rumah kira2 berjarak sepuluh
meter darinya. Dia melihat patahan dahan
tergeletak ditanah. Setelah diambilnya, dia tahu bahwa patahan ini baru,
terlihat masih basah.
“ Apa dia
diculik? “, bisiknya dalam hati.
Dari bekas
patahan dahan tersebut Waliki dapat menentukan arah seharusnya diambil, namun
dia bimbang melakukannya. Siapapun yg mampu mengambil situa perlente tanpa
suara dan perlawanan, pasti bukan orang sembarangan. Bila dia mengejarnya,
keadaannya akan merugikan baginya. Disini dia dikenal sebagai situkang kebun,
yg tidak mempunyai kepandaian apapun. Disamping itu mungkin yang dihadapi
adalah orang2nya adipati atau kerajaan. Dia tidak ingin terlibat dalam lingkaran pertentangan
kekuasaan, karena sebentar lagi dia akan melakukan pengembaraan bersama Sekararum.
Pertimbangan2 itu akhirnya membuatnya mundur. Dia berjalan balik, meninggalkan
jalan setapak lurus, bekas dua orang yg lenyap itu, menuju tempat tinggalnya.
Sambil berjalan
pelan dia menyalurkan seluruh kekuatan ilmunya ke indera pendengarannya.
Berhati-hati jangan sampai terlewatkan bila ada pengintai, sekarang dia merasa
sedang diawasi. Aneh padahal beberapa saat lalu dia yg mengawasi mereka.
Ternyata keadaan sekitarnya tidak mengkhawatirkan. Waliki lega. Sambil merenung
dia melangkah lebar, ingin cepat2 sampai di rumah. “ Besok pagi desa ini pasti
geger. Akan ada berita hilangnya beberapa orang penting”.
bagus
BalasHapusmana kelanjutannya mas bro