Selasa, 27 Maret 2012

Cerita Silat Ku entri 8


Bab 6

Setelah berpisah dengan Damar diatas bukit sana, maka seharian itu Waliki hanya bekerja disawah. Melewati hari2 nanti kesabarannya mungkin akan diuji, yaitu menunggu kepastian keberangkatan. Dia ingin secepatnya melakukan perjalanan dengan Sekararum. Bukan karena bisa berpetualang kembali, tetapi hasratnya menurunkan ilmu begitu menggebu. Masa penantian selama puluhan tahun, berakhir sudah. Ilmu yang dimiliki kini akan mendapatkan pewaris baru, secara sah jatuh kepada putri dari bakal muridnya dulu – ibu dari anak ini. Teringat kejadian dua puluh lima tahun lalu, kala itu dia terpesona oleh bakat dan kecerdasan Nayala putri Damar. Setelah dalam masa pengembaraannya dia sangat berhati2 memilih calon, maka menurutnya ilmu ini sangat cocok diwariskan kepada Nayala. Sehingga mati2an dia merayu dan membujuknya. Bagai durian runtuh, ternyata Nayala menyanggupinya, meskipun dengan sembunyi2 mereka melatih ilmu ini. Entah bagaimana kejadiannya akhirnya Damar memergoki kelancangannya. Pertarungan dengan Damar sungguh luar biasa baginya. Memang ilmu yg dimilikinya masih mentah, dan diapun merasakan hal itu. Akan tetapi dia bukannya tidak berusaha mengembangkannya. Berbekal ingatan petunjuk dari gurunya dia selalu mencoba berusaha meningkatkan kemampuannya. Tapi dasar dia tidak berjodoh atau karena kebodohannya, maka ilmu ini mentok hanya sampai disini, hasilnya jauh panggang dari api.
  Seperti biasanya, bila kegiatan rutin telah usai, maka beberapa warga di pedesaan bergerombol duduk di gardu, tempat beberapa pengawal kecamatan bergilir berjaga keamanan. Malam itu Waliki termasuk diantara mereka. Dengan diterangi obor baik didalam dan luar gardu, beberapa dari mereka duduk mengelilingi meja berbentuk lonjong, ada pula sebagian berdiri, bersandar didinding, menikmati obrolan, isinya kadang2 serius tetapi juga terdengar tawa keras. Ada penganan ubi bakar dan jagung panggang serta camilan kacang rebus ditengah meja. Mug besar berisi wedang jahe gula aren telah mengisi cangkir dihadapan masing2 warga desa.
“ Pindah ke kadipaten lain! Kemana? Semua tempat diatas bumi ini milik raja, berarti pasti dipungut pajak”, Laki2 tambun berperut buncit yg berdiri bersandar dinding  hampir berteriak, suaranya terdengar sengau. Kengototannya membuat suasana gardu mendadak sunyi.
 Tidak mau kalah, pria berwajah bersih yg duduk tegak akhirnya angkat bicara, “ Aku pernah berdagang sampai ke kadipaten Draw, disana bebas dari pungutan pajak…!”
Cepat si tambun berkata,“ Tapi kalau kamu mau pindah kesana, tiga perempat harta bendamu harus disumbangkan, sebagai upeti untuk kadipaten. Lalu kamu akan diberi bekal tanah garapan dengan harga tertentu yg harus diangsur. Hasil dari tanah garapan itu separuh diambil kadipaten, begitu seterusnya sampai bisa melunasi harga tanah yg kamu garap. Itu aturan yg berlaku disana, ditetapkan lima tahun lalu bagi penduduk pindahan dari wilayah lain.  Dan hidup seperti itu akan berlangsung bertahun2, karena harga tanah ditetapkan terlalu tinggi, dan akan ditinjau ulang setiap tahun. Saat itu harganya bisa mencapai dua kali lipat. Tapi bila kamu sebagai penduduk pindahan ini akhirnya bisa melunasinya, maka untuk selanjutnya hidupnya akan tentram, bebas dari pajak. Itu yang terjadi disana”.
Sesaat semua terdiam, termenung. Suasana menjadi hening. Sesaat berikutnya terdengar orang seusia Waliki yg duduk disebelah pria bersih tadi bersuara. Disamping penampilannya terlihat perlente diantara semua, dia juga seperti disegani.
 “ Dua hari lagi ki camat Bagaswala dengan bendahara dibantu aparat kadipaten akan menghitung besarnya pajak masing2 warga. Selanjutnya ditetapkan berapa pajak harus masing2 kita bayar. Berarti harapan kita tipis untuk menolaknya”, Berhenti memandang beberapa orang, menunggu tanggapan mereka. Ternyata semua diam mendengarkan, maka dia melanjutkan, “Dahulu kala saat disini  masih sepi, penduduknya mungkin hanya sepersepuluh dari sekarang. Seolah tanah tanpa harapan. Aku merintis usaha sendiri, dengan bertani dan berdagang. Begitu kedatangan guru Damar, dia memacu kami untuk membangun wilayah ini. Puluhan tahun kemudian hasilnya sungguh menakjubkan. Seperti sekarang ini. Apa yg aku maksudkan adalah di tanah ini masih ada guru Damar. Kita bisa meminta petunjuk padanya. Dia pasti tidak akan tinggal diam, dengan kekhawatiran yg melanda kita. Tetapi hal ini bukan berarti melawan pada ki camat selaku pemimpin disini. Guru Damar tidak akan berbuat seperti itu. Yang aku dengar besok, utusan adipati ingin bertemu dengan guru Damar di perguruan. Kita akan datang lebih awal ke perguruan, sowan pada guru Damar, sekaligus meminta petunjuk padanya”.
Tiba2 seorang pemuda menyeletuk, “ Aku sering melihat guru Sartani dan guru Arya menemui Bagaswala di pendopo”,
“ Ya…, dan itu bisa diartikan perguruan mendukung kebijakan adipati”, kali ini laki2 yg berdiri diambang pintu gardu ikut menimpali.   
“ Apalagi guru Damar selama ini jarang ikut terlibat, dan turun perguruan menyambangi kita”, kembali pemuda tadi berkata. “ Apa masih ada harapan…?”
“ Lebih baik mencoba, daripada tidak bertindak sama sekali ”, ujar laki2 tua berpenampilan mewah itu. Suasana menjadi hening didalam dan luar gardu, semua larut pada pikiran masing2. Waliki sedari tadi menjadi pendengar, dan berdiri bersebelahan dengan lainnya diluar gardu, telah mengenal akrab mereka yg berbicara tadi. Yg paling tua perlente itu adalah bekas anak murid Damar, sepuluh tahun lalu. Laki2 berperut buncit adalah juragan Mohing, paling kaya di desa. Sedang pria berwajah bersih merupakan pedagang keliling langganan warga sini. Dua laki2 muda terakhir bekas murid perguruan tingkat lima, berarti mempunyai kemampuan lumayan. Mereka adalah anggota pengawal kecamatan. Selanjutnya pembicaraan di gardu itu, bergantian dikuasai mereka.
Malam semakin menjelang, sinar bulan terang menyinar. Hawa dingin semakin menyengat. Akhirnya laki2 tua perlente menyahut, “ Kalau begitu besok pagi, kami berempat akan menemui guru Damar. Mudah2an tindakan ini tidak dianggap lancang oleh Bagaswala”.  Nadanya puas seolah2 kesimpulan dari suatu pertemuan telah diambil.
Selama itu pula diam2 perhatian Waliki tertuju pada tiga sosok, yg sedang duduk diwarung, diseberang gardu. Sinar beberapa lilin terpasang, meneranginya, memang warung itu mulai sepi, hanya meladeni mereka bertiga. Tetapi terlihat olehnya gerak gerik mereka lebih terpusat pada pembicaraan di gardu, daripada makanan yg dihidangkan. Bagi orang berkemampuan tinggi tidak akan sulit untuk mendengarkan dan mengikuti semua obrolan di gardu ini dari jarak sejauh warung itu. Waliki memaklumi bahwa mereka adalah para pendatang yg kebetulan mampir di desa ini, seperti kebanyakan yang lain, mengingat wilayah ini telah menjadi seperti kota kecil yg mulai ramai. Sehingga keberadaan mereka disini tidak patut dicurigai, karena siapapun pendatang harus melewati pemeriksaan  ketat di pintu gerbang utara maupuan di selatan.
Waliki sendiri sering mendengar disaat2 sekarang ini banyak mata2 adipati dan kerajaan berkeliaran diwilayah2 ramai. Mereka memantau dan mencoba mengendalikan situasi. Termasuk disini.
Dan cangkrukan di gardu inipun mulai bubar ketika beberapa orang, mengundurkan diri, pulang ke rumah masing2. Waliki salah satunya. Namun rasa penasaran membuat dia tidak membelok kearah rumahnya melainkan, berhenti disuatu tikungan jalan kecil disamping rumah yg tidak jauh dari warung tersebut. Tersembunyi dan mengintip. Sebenarnya menyadari ketuaannya, seharusnya malu dengan kelakuannya seperti ini, tetapi entah mengapa, perasaan menggebu untuk mengetahui tindakan selanjutnya dari mereka bertiga, telah mendorong untuk melibatkan diri. Memang dilihat olehnya, mereka keluar dari warung seiring bubarnya cangkrukan digardu. Hebatnya  mereka menyebar, satu orang kearah utara mengikuti situa perlente. Satunya lagi melangkah dibelakang sitambun menuju arah barat dan yg terakhir berjalan pelan selangkah mendahului dua pengawal, mereka bergerak ke pendopo. Kebingungan menerpa Waliki, hatinya ragu yang mana hendak dikuntitnya. Akhirnya pertimbangan hatinya lebih tertuju kearah situa perlente, kebetulan jalan yg diambil searah menuju tempat tinggalnya. Untuk itu secepatnya dia mengambil jalan memutar, harapannya akan bertemu mereka dipersimpangan gang kedua.
Tidak ingin ketinggalan, Waliki mengerahkan ilmu terbangnya. Tubuhnya melintas diatas bangunan rumah2 penduduk. Pijakan kakinya tak bersuara bagai seekor kucing, sesaat kemudian dia sudah berada dijalan menuju persimpangan, dimana terdapat gang yang akan dilalui oleh mereka. Jalan disini hanya diterangi dengan beberapa obor bambu, sehingga suasananya temaram. Kira2 mencapai ujung persimpangan Waliki melambatkan langkahnya, kemudian berbelok pelan sambil menengok kearah kanan. Sepi. Hanya lilin megantung apinya bergoyang ditiup angin. Diapun berhenti dipinggir persimpangan.
“Apakah mereka tidak melewati jalan ini?”, serunya dalam hati. “ Tidak mungkin, tadi kulihat mereka telah memasuki gang pertama, dan harusnya hanya melalui jalan ini  untuk keluar dari gang pertama. Apa mereka kembali dan berbelok masuk gang yg lain”.
Entah mengapa kekhawatiran menjalar keseluruh tubuhnya.  Seketika dia berlari kecil memasuki jalan yg harus dilalui buruannya, tapi tak terlihat batang hidung siapapun. Mereka berdua seakan lenyap ditelan bumi. Tiba2 ketakutan melanda, bayangan jelek kematian bergelayut dipikirannya. Kemudian Waliki meneruskan langkahnya menyusuri jalanan di gang pertama. Masih sepi, bahkan tidak nampak bayangan manusia didepannya. Dia memutuskan meneruskan langkahnya, dan berharap berpapasan dengan mereka.
Waliki adalah ahli pencari jejak, kejadian ini membuatnya kagum. Jejak mereka berdua  hilang ditengah jalan lurus ini. Dari bekasnya tidak ada kekerasan yg berlangsung. Walikipun mendongak ke atas, bahkan kesekitarnya. Agak jauh diseberang sana terlihat rumah penduduk berjajar berhimpitan. Pintu dan jendela telah tertutup rapat. Sedang dihalaman rumah2 itu  banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Tiba2 mata tajam Waliki tertuju diujung sebuah rumah kira2 berjarak sepuluh meter darinya. Dia  melihat patahan dahan tergeletak ditanah. Setelah diambilnya, dia tahu bahwa patahan ini baru, terlihat masih basah.
“ Apa dia diculik? “, bisiknya dalam hati.
Dari bekas patahan dahan tersebut Waliki dapat menentukan arah seharusnya diambil, namun dia bimbang melakukannya. Siapapun yg mampu mengambil situa perlente tanpa suara dan perlawanan, pasti bukan orang sembarangan. Bila dia mengejarnya, keadaannya akan merugikan baginya. Disini dia dikenal sebagai situkang kebun, yg tidak mempunyai kepandaian apapun. Disamping itu mungkin yang dihadapi adalah orang2nya adipati atau kerajaan. Dia  tidak ingin terlibat dalam lingkaran pertentangan kekuasaan, karena sebentar lagi dia akan melakukan pengembaraan bersama Sekararum. Pertimbangan2 itu akhirnya membuatnya mundur. Dia berjalan balik, meninggalkan jalan setapak lurus, bekas dua orang yg lenyap itu, menuju tempat tinggalnya.
Sambil berjalan pelan dia menyalurkan seluruh kekuatan ilmunya ke indera pendengarannya. Berhati-hati jangan sampai terlewatkan bila ada pengintai, sekarang dia merasa sedang diawasi. Aneh padahal beberapa saat lalu dia yg mengawasi mereka. Ternyata keadaan sekitarnya tidak mengkhawatirkan. Waliki lega. Sambil merenung dia melangkah lebar, ingin cepat2 sampai di rumah. “ Besok pagi desa ini pasti geger. Akan ada berita hilangnya beberapa orang penting”.

1 komentar: