Sabtu, 25 Februari 2012

Cerita Silat ku entri 5


Bab 3

Keheranan menyeruak dihati Sekararum, ketika nama Waliki kembali disebut, “ Kakek,… sebenarnya siapa Waliki itu, hingga kakek menempatkan dia seolah diatas para paman lain?”.
“Kamu jangan salah paham, aku tidak pernah menyanjung dia. Bahkan dalam keseharianpun aku memperlakukan dia sebagai tukang kebun dan orang lama yg mengabdi di perguruan. Hanya untuk urusan ini, aku lebih memilihnya sebagai pendamping perjalananmu. Karena aku satu2nya orang di perguruan ini yang mengetahui jati diri Waliki sesungguhnya.
 “Apa yg kamu dan semua orang diperguruan ini ketahui, tentang Waliki selama dua puluh lima tahun keberadaannya disini, mungkin hanyalah sebagai situkang kebun. Tapi siapa yg tahu seorang Waliki sebelum itu?
“Aku harus membuka rahasia ini, tapi ingat Sekararum, kamu harus menutupnya rapat2, jangan pernah cerita kepada siapapun, tidak boleh ada seorangpun yang tahu jati diri Waliki sebenarnya,” tangan Damar memegang lembut tangan cucunya, tapi mata teduh itu bersinar tajam dan nada pelan suaranyapun sangat serius, membuat jantung Sekararum berdegup kencang, ketegangan merasuk dirinya.
“ Aku janji, kakek…” akhirnya bisa juga dia berbicara, meski dengan suara pelan, tidak kalah pelan dari suara Damar.
Peristiwa yg dikisahkan Damar kepada Sekararum sebenarnya terjadi sekitar lebih dari lima ratus tahun lalu, disuatu tempat paling utara, disekitar pegunungan Caka yg memanjang dari timur ke barat, bagai tembok pembatas negeri ini dengan dunia lain. Di lembah Kanca namanya, berdiri perguruan Awan Hitam. Tak seorangpun tahu siapa pendirinya, sedikit sekali cerita yg tergali dari perguruan ini. Hingga suatu ketika salah seorang muridnya bernama Kobovali diangkat menjadi patih istana. Sebuah jabatan di istana yg hanya satu tingkat dibawah kekuasaan raja saat itu, yaitu raja Warda. Seorang patih dibantu para mentri dan senopati  bertanggung jawab untuk melaksanakan semua kebijakan  yg telah dibuat raja, baik masalah kesejahteraan pegawai, keamanan di dalam negeri dan di perbatasan, maupun untuk kesejahteraan rakyat negeri ini. Ternyata dengan berlalunya waktu pengaruh kekuasaan Kobovali melebihi raja.  Sayang dia bertabiat buruk, akhirnya sifat rakus, serakah dan sewenang2 itu menjalar juga ke para pembantu dari orang2 golongannya, dan menyingkirkan, bahkan melenyapkan atau membunuh siapapun  yg tidak setuju atau menentangnya. sehingga pengaruh buruk itu merajalela tidak hanya di istana tetapi hampir di seluruh negeri. Para pejabat bertindak sewenang2 tak terkendali, menanam kekayaan pribadi berlimpah, sedang rakyat hidup merana dan sengsara. Raja bagai sebuah boneka. Raja dan keluarganya dijejali segala harta dan kemewahan, disanjung2 bagai penguasa dunia, padahal raja terasing dari kehidupan disekitar rakyatnya, hanya berita bohong mengenai kemakmuran dan ketentraman negeri selalu dihembus2kan oleh Kobovali dan kelompoknya. Rakyat diseluruh negeri dihinggapi rasa takut mencekam, pajak mencekik, apabila tidak sanggup membayarnya maka salah seorang anggota keluarga dijadikan budak disita harta bendanya atau mungkin dibakar rumahnya, penculikan  gadis2 dan wanita muda oleh para penyamun untuk dijual kepada para pejabat brengsek sebagai budak nafsu. Kekacauan dan kebrobrokan moral melanda hampir diseluruh negeri. Kegelapan seakan menyelimuti negeri ini.
 Didunia selalu ada dua sifat saling berlawanan yg akan menyeimbangkan keadaan, ada siang ada malam, ada orang kaya ada yg miskin, dan ada kejahatan pasti ada kebaikan. Begitu pula dimasa kekuasaan raja Warda, kesengsaraan yg ditimbulkan oleh Kobovali mendapat perlawanan dari para pendekar dan beberapa pejabat bahkan adipati, meskipun selama lima tahun perjuangan mereka selalu dapat dipatahkan. Sehingga menginjak awal tahun ketujuh pemerintahan Kobovali, semangat juang para pendekar dan kawan2 itu membara di suatu daerah bernama Eskel, terletak jauh disebelah timur ibukota kerajaan. Kepala daerahnya seorang  pemuda bernama Morota, dia baru dua tahun menjabat adipati, menggantikan ayahnya setelah mengundurkan diri karena perasaanya tidak tahan atas kebengisan orang2 pusat istana.
Ternyata Morota pemuda yg cerdas dan berani, kekayaan pribadi keluarganya dan semua harta orang2 kaya digunakan sebagai upeti ke istana, menggantikan pajak mencekik yg ditanggung rakyatnya. Hutan dan pekarangan dibuka dijadikan persawahan dan kebun milik rakyat, dengan perjanjian bagi hasil separuhnya. Bagi rakyat yg belum mampu membuka lahan persawahan sendiri, diwajibkan bekerja di tanah2 milik kadipaten, dengan imbalan bahan pokok secukupnya dan upah yg dijadikan sebagai pembayaran atas pembelian tanah garapan itu nantinya. Memang banyak orang kaya tidak setuju atas kebijakan ini, sehingga mereka berbondong2 pindah, setelah dengan terpaksa menyerahkan separuh dari harta milik mereka. Setahun kemudian, manfaatnya sangat terasa bagi daerah Eskel, kehidupan rakyatnya lebih baik daripada daerah lainnya, bahkan saat pihak istana menaikan nilai upeti yg wajib disetorkan, dari semua adipati diseluruh negeri, hanya adipati Morota satu2nya yang membayar upeti dengan cara tidak membebankan pajak kpd rakyatnya.
Dibalik sikap tunduk dan tetap mengabdi kepada raja, selama itu pula diam2 Morota telah membentuk kekuatan untuk melawan kebobrokan Kobovali. Dia bersekutu dengan para pendekar, perguruan2, perwira2 dan pejabat2 serta adipati lain yg sealiran dengannya, menyiapkan pasukan tersembunyi berjumlah ribuan, tersebar diseluruh daerah sekeliling istana. Persekutuan ini dikenal dengan persekutuan Pita Putih. Gerakan kelompok ini tak terlacak, serba rahasia dan cepat, hampir2 seperti angin, sehingga pihak istanapun tidak menyadari, bahwa mereka tengah berdiri diujung pedang. Setelah gerakan diam2 pasukan kesekitar istana selesai, maka menjelang harinya dipimpin oleh Morota dan seorang pendekar berilmu tinggi bernama Ki Selogiri, kelompok ini menyerbu  istana.
Penyerbuan dilaksanakan saat istana menyelengarakan pesta hari kelahiran raja. Ditengah kemeriahan pesta besar2an itu, bagai gelombang pasang menghempas, lautan penyerbu masuk memporak porandakan istana.  Pesta pora dan hura hura menjadi bencana dan huru hara bagi Kobovali dan pengikutnya. Semua orang yg sudah didaftar dan dicatat sebagai orang yg harus dihabisi, seketika itu juga  dibunuh. Kepala dipenggal ditancapkan keujung tombak. Sedang Raja dan para keluarganya  disekap diruang2 bawah tanah. Tapi sayang Kobovali bersama keluarganya berhasil lolos. Dia bersama sisa pasukan yg masih setia, yg jumlahnya tidak sedikit, melarikan diri menuju ke perguruan Awan Hitam dilembah Kanca.
Kemenangan Morota dan kelompok Pita Putih disambut gempita seluruh negeri.  Bagai sinar mentari pagi, menyibak kabut gelap. Bagai derasnya hujan menghapus kemarau panjang,  peristiwa ini adalah harapan, apalagi nama Morota sebagai adipati Eskel sudah dikenal setiap orang. Sehingga atas kesepakatan bersama dari semua kelompok penyebu ini, yg diwakili Ki Selogiri,  mengangkat Morota sebagai raja negeri Sirias. Berita itupun menyebar diseluruh negeri.
Setelah memulihkan keadaan istana dan pemerintahan, Morota memerintahkan Ki Selogiri, yg ketika itu diangkat sebagai Senopati, dengan kelompok Pita Putih bersama tiga puluh ribu pasukan yg dipimpin tiga tumenggung, dan dibantu oleh dua orang adipati dengan dua puluh ribu bala pengawalnya, mereka melakukan pengejaran terhadap Kobovali. Tidak selang lama kemudian Morota didampingi lima puluh ribu pasukan menyusul kelompok Ki Selogiri.
 Pelarian Kobovali dan pasukannya menuju utara telah menyisakan kehancuran dan ketakutan disetiap daerah yg dilewati. Membuat kebencian terhadap mereka mengakar dan mendarah daging, sehingga perlawanan kecil2an disepanjang pelariannya sering dilakukan oleh para pendekar dibantu oleh penduduk sekitar. Ternyata tidak semua daerah melawannya, ada sebagian terang2an membantunya. Karena tidak semua kepala daerah menyambut gembira dan setuju atas kemenangan Morota dan kedudukannya sebagai raja, beberepa adipati yg daerahnya dilalui oleh Kobovali dan beberapa perwira2 diperbatasan, mendukung dan memberi bantuan kepada Kobovali selama pelariannya. Bentrokanpun sering terjadi antara pendukung Kobovali dengan para pengejar yg dipimpin Ki Selogiri dan Morota. Akan tetapi hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Morota dan Ki Selogiri,   sehingga mereka dapat mengalahkan rintangan2 itu dengan mudah. Sekaligus membasmi mereka dan membersihkan negeri ini dari para pemberontak.
Tiga bulan setelah pengejaran, lima puluh ribu pasukan dipimpin Morota dan Ki Selogiri mengepung perguruan Awan Hitam di lembah Kanca. Perintah yg tersebar diseluruh pasukan adalah “Tidak ada ampun bagi semua penghuni Awan Hitam. Bunuh semua makhluk hidup disana, musnahkan semua bangunan beserta isinya”.
Sinar matahari baru saja menyibak fajar, langit masih merah merekah, ketika aba2 penyerbuan dibunyikan, pasukan bergerak menyerang ke segala penjuru perguruan. Pintu2 utama perguruan berhasil dijebol. Pertarungan tidak seimbang. Perlawanan sisa2 pasukan pendukung Kobovali sia2, mereka terdesak. Tanda2 akan  kalah, mulai nampak. Tiba2 ditengah2 pasukan penyerbu terjadi kekalutan, pasukan yg sudah ditata dalam kelompok2 barisan berantakan, Morota dan Ki Selogiri beserta para pendekar mengira ada orang sakti dari Awan Hitam langsung terjun ke tengah arena pertempuran dan melakukan pembantaian. Seketika itu pula mereka menuju ke sana.
Setelah sampai kesana, ternyata tidak ada seorang musuhpun bertarung ditengah pasukannya. Pasukan itu dibantai oleh teman sendiri!. Seketika mereka sadar bahwa pasukannya saling serang sendiri, mereka telah saling bunuh sesama kawan. Banyak korban sia2 tak terelakan. Belum hilang keheranan mereka, telah terjadi kejadian serupa ditempat-tempat lain. Bahkan mereka melihat sesama perwira saling serang dan membunuh. Pasukan benar2  kocar kacir. Pengaruh apa ini?. Seperti ada makhluk halus yg membantu pihak musuh. Pasukan penyerbu yg masih normal kondisinya begitu melihat kejadian itu langsung surut, hilang kepercayaannya, bahkan ada seorang adipati dengan paniknya terpaksa menarik sisa2 pasukannya, menjauh dari perguruan Awan Hitam.
Kesempatan itu benar2 dimanfaatkan oleh pihak Kobovali, sehingga dari kondisi sebelumnya yg terdesak sekarang mereka bisa bernafas. Melihat hal ini Ki Selogiri cepat2 bertindak. Dia memerintahkan Morota bersama2 beberapa pendekar mengelilinginya. Akan tetapi entah dari mana datangnya, seketika hidung mereka  mencium bau harum yg menyengat. Lama2 bau ini mempengaruhi pikiran dan akal sehat mereka, bahkan ada suara2 aneh  yg memerintahkan agar mereka saling menyerang, membunuh. Pikiran mereka telah dikendalikan orang lain.  Akibatnya beberapa pendekar disekeliling Ki Selogiri menyerang kawan disebelahnya, demikian pula sebaliknya. Kejadian seperti ditengah2 pasukan tadi kini dialami para pendekar. Sedangkan Ki Selogiri, Morota dan beberapa pendekar yg berilmu tinggi mencoba tetap bertahan  dari bau harum itu, sambil melumpuhkan para pendekar yg mencoba saling membunuh bahkan ada yg mencoba membunuh mereka.
Tidak berapa lama kemudian, mereka merasa perlahan2 bau harum ini berkurang pengaruhnya, rasa menyengat itu perlahan2 menghilang dan kesadaran serta akal sehat para pendekar dan sisa pasukan yg saling bunuh sesama kawan itu kembali normal. Seperti bangun dari mimpi buruk, berdiri bingung dan memandang heran kepada temannya. Ketika melihat ke arena pertempuran, kekagetan bertambah, karena banyak teman mereka mati dengan pedang atau tombak dari sesama teman sendiri. Sedang didepan mereka terlihat perguran Awan Hitam kali ini benar2 diselimuti kabut hitam. Entah darimana munculnya, kabut itu bergerak perlahan, menyebar keseluruh penjuru perguruan.  Kepanikan kini melanda pihak Kobovali, entah apa yg terjadi, terlihat beberapa orang semburat berlarian keluar, tidak mempedulikan pertempuran. Ada yg mengatakan bahwa kabut hitam itu memancarkan hawa panas yang membakar mereka. Kemudian yg terlihat diarena adalah dua pihak itu kini berhadap2an dgn kebingungan, sejenak medan perang terdiam, para pasukan tertegun.
Morota melihat Ki Selogiri berdiri menghadap perguruan Awan Hitam bersedekap, mata terpejam, mulutnya komat kamit, didahi mengembun keringat. Samar2 diatas ubun2nya muncul asap putih tipis. Tahulah dia bahwa kabut hitam disekitar perguruan Awan Hitam adalah hasil perbuatan Ki Selogiri. Dia tidak tahu berakibat apa kabut ini kepada pihak musuh, yg jelas mereka sekarang dalam kondisi panik. Cepat2 Morota memanfaatkan situasi ini, segera dia  memerintahkan agar pasukannya menyerbu. Pihak musuh yg tertegun dan kaget itupun kini menjadi sasaran pembantaian. Teriakan kematian, dan bau anyir darah yg muncrat dari tubuh2 mereka menggenang diatas tanah. Sosok2 mayat bergelimpangan, bertumpukan dengan sekujur tubuh berwarna merah darah. Belum puas bagai serigala kelaparan melihat segerombolan domba, maka Morota, Ki Selogiri dan para pendekar serta pasukannya dengan beringas, menyerbu masuk ke dalam perguruan. Siapapun lawan dihadapan mereka, berakhir tak bernyawa. Termasuk para murid, dan keluarga mereka dari perguruan Awan Hitam. Laki2, perempuan, anak2, dan orang tua , bahkan hewan2 yg hidup semua dilindas, dibabat habis. Benar2 pemusnahan tanpa ampun, sesuai perintah. Sungguh tidak berperikemanusiaan.
Genangan darah sudah mencapai tumit sepatu, ketika didepan mereka berdiri dua sosok laki2 mengenakan jubah hitam dgn muka merah menakutkan, dgn golok berlinangan darah digenggaman, sedang menghadang gerak pasukan. Morota dan pasukannya berhenti, seketika itu mereka sadar bahwa sekarang musuh hanya tersisa dua orang dihadapan. Dua manusia ini, adalah Kobovali dan disebelahnya seorang lebih tua berjenggot putih panjang, memakai sorban warna coklat. Inilah gurunya Kobovali. Kebencian dan amarah hebat terlintas dari wajah mereka berdua, manakala melihat pembunuhan massal penghuni perguruannya. Sedang disekitar mereka tergeletak puluhan mayat, nampaknya dua orang ini telah memakan banyak korban dari pasukan Morota.
Tatapan mata Kobovali tajam menusuk tertuju kepada Morota. Golok diacungkan lurus kedepan kearah Morota. Suatu tantangan perang tanding. Morota yg berpedang ganda bergerak beberapa langkah kedepan, tujuh langkah dari hadapan Kobovali dia berhenti. Wajahnya tenang, tersungging seulas senyuman. Sakit hati Kobovali, sambil berteriak kencang, dia meloncat menyerang. Pertarungan hebat tak terelakan. Antara dua manusia beda generasi, Kobovali dari generasi tua, seorang patih yg berpengalaman dan berilmu tinggi, sedangkan lawannya adalah pemuda, seorang raja baru, belum berpengalaman, namun tidak kalah tinggi ilmunya. Ternyata pertarungan tidak kalah hebatnya terjadi juga diarena lain, antara Ki Selogiri dengan si orang tua bersorban coklat itu. Bahkan beberapa saksi melihat seakan ada petir dan badai menyambar2 disekitar pertarungan dua manusia tua ini.
Tujuh tahun kehidupan selama di istana dengan foya2 dan bergelimang kemewahan dan keenakan, telah menguras tenaga murni Kobovali, semakin lama terlihat bahwa dia dibawah tekanan Morota.  Matahari baru condong ke barat ketika pedang ganda Morota berhasil menebas putus leher Kobovali, potongan kepala itu terlempar dan jatuh menggilinding, bercipratan darah. Seorang jendral bertindak cepat, dengan menusukan tombak kepangkal leher, seketika Morotapun mengangkat tombak yg diujungnya menancap kepala Kobovali. Sorak sorai gempita seluruh pasukan terdengar. Menggetarkan bangunan sekitarnya. Belum hilang gema sorakan kemenanangan, menyusul ditempat lain terdengar pula sorakan lebih keras. Di arena terlihat Ki Selogiri berhasil mengalahkan lawannya, meski luka yg dialami Ki Selogiri dari pertarungan itu tidak ringan. Darah masih menetes dari pinggir bibirnya, berjalan sempoyongan sambil tangan kanannya memegang erat didada.  Muntah darah segar sebelum akhirnya duduk bersila memejamkan mata, mencoba mengatur kembali energi dalam tubuh yg bergejolak tak beraturan, dan menyalurkan ke saluran2 yg normal. 
 “Akhirnya perguruan Awan Hitampun dimusnahkan, bangunan beserta isinya dibakar. Diumumkan kekalayak ramai tentang pelarangan ilmu awan hitam. Bagi pengikutnya yang tersisa, untuk mereka yg terbukti mempelajari dan mempunyai ilmu aliran ini, hukuman mati ganjarannya. Sejak itu pula semua yg berhubungan dengan Awan Hitam punah dari muka bumi ini”, dengan menghembus nafas panjang, Damar menghentikan ceritanya, dilihatnya Sekararum terpekur, terkesima dengan cerita ini.
Setelah lama terdiam seakan menghayati kisah itu, Sekararum lalu bertanya ,“Apa kaitannya cerita ini dengan Waliki…?”
“ Ternyata Waliki mewarisi ilmu Awan Hitam…,” jawab Damar tenang.
Sekararum mengerutkan keningnya,” Bukankah ilmu itu dilarang dan semuanya sudah dimusnahkan…?”
“ Peristiwa ini terjadi kira2 dua puluh lima tahun lalu, lama setelah perguruan kita ini berdiri,” Damar menjawab, setelah sebelumnya dia kembali meneguk wedang.
“ Waliki tiba di desa Pringjati, sebagai pengembara yg ingin menghabiskan masa tuanya dengan hidup tenang maka dia bermaksud menetap disini. Dengan seijin ki lurah saat itu dia membuka lahan, untuk rumah dan persawahan. Ternyata Waliki tukang kayu yg bagus, disamping dia ahli bercocok tanam dan berkebun. Tidak lama kemudian dia didaulat beberapa warga untuk menularkan keahliannya itu. Waliki tidak menolak, bahkan dengan senang hati mengajarkannya. Akhirnya keahlian Waliki sampai ketelinga orang di perguruan sini.  Hal sama dia lakukan pada penghuni perguruan, dia membantu menata bangunan, persawahan dan taman, disekitar sini. Agar kami dapat selalu berhubungan dengannya, kami mengangkatnya sebagai tukang kebun perguruan, dan akrab dengan semua penghuni ”.
“ Waktupun berjalan, secara diam2 ternyata Waliki tertarik pada bakat, kepandaian dan susunan tulang yg dimiliki putriku, Nayala, yaitu ibumu Sekararum...,” setiap mendengar nama ibunya disebut, bergetar dada Sekararum, Damarpun melanjutkan kisahnya.
“ Nayala saat itu lebih tua sedikit dari usiamu kini, kepandaiannya setara denganmu, entah bagaimana awalnya, sehingga dengan sembunyi2 tanpa sepengetahuan siapapun termasuk aku, Waliki membuat kesepakatan dan menurunkan ilmunya. Mereka berdua berlatih, ditengah larut malam, dipuncak bukit Grojoganjati. Nayala pintar mencuri waktu disaat aku berada di aula melatih murid. Suatu ketika tidak sengaja aku memergoki dia sedang berlatih sendiri, gerakan2 dan jurus yg diperagakan bukan dari ilmu selama ini kuajarkan. Jurus2 itu begitu kejam, bengis dan sadis. Aku menduga itu ilmu dari aliran hitam. Apa Nayala menciptanya sendiri, atau ada orang lain yg mengajarkannya, tapi siapa…?”
“ Selama itu pula Nayala tidak menyadari bahwa aku menguntit gerak geriknya. Hingga suatu malam, dengan sembunyi di puncak Grojoganjati aku melihat mereka melatih ilmu tsb. Bahkan Waliki sempat berlatih menggunakan sebagaian kehebatan ilmu itu, ilmu yg kejam. Menilik gerakan2 Nayala, menurutku dia baru menerima sepersepuluh bagian. Setelah mereka menyelesaikan latihannya, aku biarkan Nayala menuju jalan pulang. Aku ingin membuka kedok Waliki. Maka dijalan setapak menurun bukit, dikegelapan malam, dengan membungkus sebagian wajahku dengan kain gelap, aku pura2 berdiri bersandarkan pohon, menghadang perjalanannya. Dia sungguh terkejut, hingga lama berdiri tertegun. Waliki pasti menduga, bahwa dihadapannya adalah salah satu penghuni perguruan, tapi tidak tahu siapa. Dia tdk ingin kedoknya terbongkar,  ternyata sangat sulit untuk membuatnya mengaku. Akhirnya kami bertarung, aku merasa ilmu Waliki masih dibawah muridku Sartani maupun Aryasulu bahkan Gagar, tapi kadang2 ditengah pertarungan muncul bau harum menyengat hidung, berakibat memecahkan pemusatan pikiranku, sehingga cukup lama aku baru bisa mengalahkannya. Sambil mengingat2 ilmu apa yg mempunyai ciri seperti ini, aku membuka kain penutup muka, dan meminta Waliki tidak mengulangi perbuatannya. Dia berjanji tidak melakukan lagi, tanpa seijinku, dan menyebut ilmu yg dimiliki adalah cabang ilmu dari perguruan Awan Hitam. Ilmu itu dia peroleh, tiga puluh tahun sebelumnya dari seorang perempuan tua, yg tinggal di lembah Duka di barat negeri ini. Tapi dia tetap merahasiakan sampai sekarang siapa perempuan tua itu. Dan sejak saat itu, keaslian jati dirinya hanya diketahui olehku dan ibumu. Sampai sekarang ”.
Hening serasa mencekam, setelah Damar menyelesaikan ceritanya. Tidak terasa mataharipun hampir mencapai puncaknya. Rindangnya pohon di atas bukit ini sanggup untuk menutup sinarnya, meski masih ada yg menerobos disela2 dedaunan. Udara pun masih sejuk, dengan anginnya semilir. Hingga cuaca panaspun tidak terasakan.
Damar meneruskan pembicaraan, “ Waliki menerima untuk menjadi pendampingmu selama perjalanan,…tapi dengan syarat aku mengijinkan dia untuk menurunkan semua ilmu warisan Awan Hitam kepadamu… ”.
“ Dan aku menyetujuinya…” Damar berkata pelan, sambil menoleh menatap lembut cucunya.
Sebelum Sekararum sempat mengucapkan sesuatu, Damar melanjutkan,“ Baik buruk pengaruh ilmu itu kepadamu sudah aku pertimbangkan, seandainya kamu tidak menyetujuinya, aku putuskan selama aku masih hidup maka tidak ada pencarian terhadap ayah dan ibumu”, ada sedikit nada menekan dalam suara Damar, meski masih dengan kelembutan seorang kakek yg menyayangi cucunya.
Sekararum hanya termangu mendengarnya. Seolah menuju jalan buntu, maka diapun hanya mengangguk.
“ Ahh…maafkan kakekmu ini Sekararum, aku lega akhirnya kau menyetujuinya. Besok kita akan ke sanggar untuk mempersiapkan perjalananmu. Sekarang kau harus berangkat ke air terjun grojoganjati, kau pasti sudah ditunggu paman dan kakak2mu untuk berlatih di sana,”
Segera Sekararum mencium tangan kakeknya, setelah mengucap salam, maka dia bergegas pergi menuruni bukit, kemudian berbelok dijalan setapak untuk selanjutnya mendaki hingga kepuncak. Setelah sosok cucunya hilang di tikungan bukit, Damarpun menghela napas panjang. Dia merasa bahwa diamnya Sekararum menandakan bahwa cucunya itu  menerima dengan berat hati, tapi dia mengetahui bahwa Waliki adalah seorang pengembara yg handal, seperti dirinya, ahli pencari jejak.  Dibawah lindungannya maka perjalanan cucunya tidak akan tersesat, tanpa arah. Hanya yg tidak diduganya adalah syarat yg diajukan Waliki. Tapi semuanya kini sudah diputuskan, dan segera akan dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar