Bab
3
Keheranan
menyeruak dihati Sekararum, ketika nama Waliki kembali disebut, “ Kakek,…
sebenarnya siapa Waliki itu, hingga kakek menempatkan dia seolah diatas para
paman lain?”.
“Kamu jangan
salah paham, aku tidak pernah menyanjung dia. Bahkan dalam keseharianpun aku
memperlakukan dia sebagai tukang kebun dan orang lama yg mengabdi di perguruan.
Hanya untuk urusan ini, aku lebih memilihnya sebagai pendamping perjalananmu.
Karena aku satu2nya orang di perguruan ini yang mengetahui jati diri Waliki
sesungguhnya.
“Apa yg kamu dan semua orang diperguruan ini
ketahui, tentang Waliki selama dua puluh lima tahun keberadaannya disini,
mungkin hanyalah sebagai situkang kebun. Tapi siapa yg tahu seorang Waliki sebelum
itu?
“Aku harus membuka
rahasia ini, tapi ingat Sekararum, kamu harus menutupnya rapat2, jangan pernah
cerita kepada siapapun, tidak boleh ada seorangpun yang tahu jati diri Waliki
sebenarnya,” tangan Damar memegang lembut tangan cucunya, tapi mata teduh itu
bersinar tajam dan nada pelan suaranyapun sangat serius, membuat jantung Sekararum
berdegup kencang, ketegangan merasuk dirinya.
“ Aku janji,
kakek…” akhirnya bisa juga dia berbicara, meski dengan suara pelan, tidak kalah
pelan dari suara Damar.
Peristiwa yg
dikisahkan Damar kepada Sekararum sebenarnya terjadi sekitar lebih dari lima
ratus tahun lalu, disuatu tempat paling utara, disekitar pegunungan Caka yg
memanjang dari timur ke barat, bagai tembok pembatas negeri ini dengan dunia
lain. Di lembah Kanca namanya, berdiri perguruan Awan Hitam. Tak seorangpun
tahu siapa pendirinya, sedikit sekali cerita yg tergali dari perguruan ini.
Hingga suatu ketika salah seorang muridnya bernama Kobovali diangkat menjadi
patih istana. Sebuah jabatan di istana yg hanya satu tingkat dibawah kekuasaan
raja saat itu, yaitu raja Warda. Seorang patih dibantu para mentri dan senopati bertanggung jawab untuk melaksanakan semua
kebijakan yg telah dibuat raja, baik
masalah kesejahteraan pegawai, keamanan di dalam negeri dan di perbatasan,
maupun untuk kesejahteraan rakyat negeri ini. Ternyata dengan berlalunya waktu
pengaruh kekuasaan Kobovali melebihi raja.
Sayang dia bertabiat buruk, akhirnya sifat rakus, serakah dan sewenang2
itu menjalar juga ke para pembantu dari orang2 golongannya, dan menyingkirkan,
bahkan melenyapkan atau membunuh siapapun
yg tidak setuju atau menentangnya. sehingga pengaruh buruk itu
merajalela tidak hanya di istana tetapi hampir di seluruh negeri. Para pejabat
bertindak sewenang2 tak terkendali, menanam kekayaan pribadi berlimpah, sedang
rakyat hidup merana dan sengsara. Raja bagai sebuah boneka. Raja dan
keluarganya dijejali segala harta dan kemewahan, disanjung2 bagai penguasa
dunia, padahal raja terasing dari kehidupan disekitar rakyatnya, hanya berita
bohong mengenai kemakmuran dan ketentraman negeri selalu dihembus2kan oleh
Kobovali dan kelompoknya. Rakyat diseluruh negeri dihinggapi rasa takut
mencekam, pajak mencekik, apabila tidak sanggup membayarnya maka salah seorang
anggota keluarga dijadikan budak disita harta bendanya atau mungkin dibakar
rumahnya, penculikan gadis2 dan wanita
muda oleh para penyamun untuk dijual kepada para pejabat brengsek sebagai budak
nafsu. Kekacauan dan kebrobrokan moral melanda hampir diseluruh negeri. Kegelapan
seakan menyelimuti negeri ini.
Didunia selalu ada dua sifat saling berlawanan
yg akan menyeimbangkan keadaan, ada siang ada malam, ada orang kaya ada yg
miskin, dan ada kejahatan pasti ada kebaikan. Begitu pula dimasa kekuasaan raja
Warda, kesengsaraan yg ditimbulkan oleh Kobovali mendapat perlawanan dari para
pendekar dan beberapa pejabat bahkan adipati, meskipun selama lima tahun
perjuangan mereka selalu dapat dipatahkan. Sehingga menginjak awal tahun ketujuh
pemerintahan Kobovali, semangat juang para pendekar dan kawan2 itu membara di
suatu daerah bernama Eskel, terletak jauh disebelah timur ibukota kerajaan.
Kepala daerahnya seorang pemuda bernama
Morota, dia baru dua tahun menjabat adipati, menggantikan ayahnya setelah
mengundurkan diri karena perasaanya tidak tahan atas kebengisan orang2 pusat
istana.
Ternyata Morota
pemuda yg cerdas dan berani, kekayaan pribadi keluarganya dan semua harta
orang2 kaya digunakan sebagai upeti ke istana, menggantikan pajak mencekik yg
ditanggung rakyatnya. Hutan dan pekarangan dibuka dijadikan persawahan dan
kebun milik rakyat, dengan perjanjian bagi hasil separuhnya. Bagi rakyat yg
belum mampu membuka lahan persawahan sendiri, diwajibkan bekerja di tanah2
milik kadipaten, dengan imbalan bahan pokok secukupnya dan upah yg dijadikan
sebagai pembayaran atas pembelian tanah garapan itu nantinya. Memang banyak
orang kaya tidak setuju atas kebijakan ini, sehingga mereka berbondong2 pindah,
setelah dengan terpaksa menyerahkan separuh dari harta milik mereka. Setahun
kemudian, manfaatnya sangat terasa bagi daerah Eskel, kehidupan rakyatnya lebih
baik daripada daerah lainnya, bahkan saat pihak istana menaikan nilai upeti yg
wajib disetorkan, dari semua adipati diseluruh negeri, hanya adipati Morota
satu2nya yang membayar upeti dengan cara tidak membebankan pajak kpd rakyatnya.
Dibalik sikap
tunduk dan tetap mengabdi kepada raja, selama itu pula diam2 Morota telah
membentuk kekuatan untuk melawan kebobrokan Kobovali. Dia bersekutu dengan para
pendekar, perguruan2, perwira2 dan pejabat2 serta adipati lain yg sealiran
dengannya, menyiapkan pasukan tersembunyi berjumlah ribuan, tersebar diseluruh
daerah sekeliling istana. Persekutuan ini dikenal dengan persekutuan Pita
Putih. Gerakan kelompok ini tak terlacak, serba rahasia dan cepat, hampir2
seperti angin, sehingga pihak istanapun tidak menyadari, bahwa mereka tengah
berdiri diujung pedang. Setelah gerakan diam2 pasukan kesekitar istana selesai,
maka menjelang harinya dipimpin oleh Morota dan seorang pendekar berilmu tinggi
bernama Ki Selogiri, kelompok ini menyerbu
istana.
Penyerbuan
dilaksanakan saat istana menyelengarakan pesta hari kelahiran raja. Ditengah
kemeriahan pesta besar2an itu, bagai gelombang pasang menghempas, lautan
penyerbu masuk memporak porandakan istana.
Pesta pora dan hura hura menjadi bencana dan huru hara bagi Kobovali dan
pengikutnya. Semua orang yg sudah didaftar dan dicatat sebagai orang yg harus
dihabisi, seketika itu juga dibunuh.
Kepala dipenggal ditancapkan keujung tombak. Sedang Raja dan para keluarganya disekap diruang2 bawah tanah. Tapi sayang
Kobovali bersama keluarganya berhasil lolos. Dia bersama sisa pasukan yg masih
setia, yg jumlahnya tidak sedikit, melarikan diri menuju ke perguruan Awan
Hitam dilembah Kanca.
Kemenangan
Morota dan kelompok Pita Putih disambut gempita seluruh negeri. Bagai sinar mentari pagi, menyibak kabut
gelap. Bagai derasnya hujan menghapus kemarau panjang, peristiwa ini adalah harapan, apalagi nama
Morota sebagai adipati Eskel sudah dikenal setiap orang. Sehingga atas
kesepakatan bersama dari semua kelompok penyebu ini, yg diwakili Ki Selogiri, mengangkat Morota sebagai raja negeri Sirias.
Berita itupun menyebar diseluruh negeri.
Setelah
memulihkan keadaan istana dan pemerintahan, Morota memerintahkan Ki Selogiri,
yg ketika itu diangkat sebagai Senopati, dengan kelompok Pita Putih bersama tiga
puluh ribu pasukan yg dipimpin tiga tumenggung, dan dibantu oleh dua orang
adipati dengan dua puluh ribu bala pengawalnya, mereka melakukan pengejaran
terhadap Kobovali. Tidak selang lama kemudian Morota didampingi lima puluh ribu
pasukan menyusul kelompok Ki Selogiri.
Pelarian Kobovali dan pasukannya menuju utara
telah menyisakan kehancuran dan ketakutan disetiap daerah yg dilewati. Membuat
kebencian terhadap mereka mengakar dan mendarah daging, sehingga perlawanan
kecil2an disepanjang pelariannya sering dilakukan oleh para pendekar dibantu
oleh penduduk sekitar. Ternyata tidak semua daerah melawannya, ada sebagian
terang2an membantunya. Karena tidak semua kepala daerah menyambut gembira dan
setuju atas kemenangan Morota dan kedudukannya sebagai raja, beberepa adipati
yg daerahnya dilalui oleh Kobovali dan beberapa perwira2 diperbatasan,
mendukung dan memberi bantuan kepada Kobovali selama pelariannya. Bentrokanpun
sering terjadi antara pendukung Kobovali dengan para pengejar yg dipimpin Ki
Selogiri dan Morota. Akan tetapi hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh
Morota dan Ki Selogiri, sehingga mereka
dapat mengalahkan rintangan2 itu dengan mudah. Sekaligus membasmi mereka dan
membersihkan negeri ini dari para pemberontak.
Tiga bulan
setelah pengejaran, lima puluh ribu pasukan dipimpin Morota dan Ki Selogiri
mengepung perguruan Awan Hitam di lembah Kanca. Perintah yg tersebar diseluruh
pasukan adalah “Tidak ada ampun bagi semua penghuni Awan Hitam. Bunuh semua
makhluk hidup disana, musnahkan semua bangunan beserta isinya”.
Sinar matahari
baru saja menyibak fajar, langit masih merah merekah, ketika aba2 penyerbuan
dibunyikan, pasukan bergerak menyerang ke segala penjuru perguruan. Pintu2
utama perguruan berhasil dijebol. Pertarungan tidak seimbang. Perlawanan sisa2
pasukan pendukung Kobovali sia2, mereka terdesak. Tanda2 akan kalah, mulai nampak. Tiba2 ditengah2 pasukan
penyerbu terjadi kekalutan, pasukan yg sudah ditata dalam kelompok2 barisan
berantakan, Morota dan Ki Selogiri beserta para pendekar mengira ada orang
sakti dari Awan Hitam langsung terjun ke tengah arena pertempuran dan melakukan
pembantaian. Seketika itu pula mereka menuju ke sana.
Setelah sampai
kesana, ternyata tidak ada seorang musuhpun bertarung ditengah pasukannya. Pasukan
itu dibantai oleh teman sendiri!. Seketika mereka sadar bahwa pasukannya saling
serang sendiri, mereka telah saling bunuh sesama kawan. Banyak korban sia2 tak
terelakan. Belum hilang keheranan mereka, telah terjadi kejadian serupa
ditempat-tempat lain. Bahkan mereka melihat sesama perwira saling serang dan
membunuh. Pasukan benar2 kocar kacir.
Pengaruh apa ini?. Seperti ada makhluk halus yg membantu pihak musuh. Pasukan
penyerbu yg masih normal kondisinya begitu melihat kejadian itu langsung surut,
hilang kepercayaannya, bahkan ada seorang adipati dengan paniknya terpaksa
menarik sisa2 pasukannya, menjauh dari perguruan Awan Hitam.
Kesempatan itu
benar2 dimanfaatkan oleh pihak Kobovali, sehingga dari kondisi sebelumnya yg
terdesak sekarang mereka bisa bernafas. Melihat hal ini Ki Selogiri cepat2
bertindak. Dia memerintahkan Morota bersama2 beberapa pendekar mengelilinginya.
Akan tetapi entah dari mana datangnya, seketika hidung mereka mencium bau harum yg menyengat. Lama2 bau ini
mempengaruhi pikiran dan akal sehat mereka, bahkan ada suara2 aneh yg memerintahkan agar mereka saling menyerang,
membunuh. Pikiran mereka telah dikendalikan orang lain. Akibatnya beberapa pendekar disekeliling Ki
Selogiri menyerang kawan disebelahnya, demikian pula sebaliknya. Kejadian
seperti ditengah2 pasukan tadi kini dialami para pendekar. Sedangkan Ki
Selogiri, Morota dan beberapa pendekar yg berilmu tinggi mencoba tetap
bertahan dari bau harum itu, sambil
melumpuhkan para pendekar yg mencoba saling membunuh bahkan ada yg mencoba
membunuh mereka.
Tidak berapa
lama kemudian, mereka merasa perlahan2 bau harum ini berkurang pengaruhnya,
rasa menyengat itu perlahan2 menghilang dan kesadaran serta akal sehat para
pendekar dan sisa pasukan yg saling bunuh sesama kawan itu kembali normal.
Seperti bangun dari mimpi buruk, berdiri bingung dan memandang heran kepada
temannya. Ketika melihat ke arena pertempuran, kekagetan bertambah, karena
banyak teman mereka mati dengan pedang atau tombak dari sesama teman sendiri.
Sedang didepan mereka terlihat perguran Awan Hitam kali ini benar2 diselimuti
kabut hitam. Entah darimana munculnya, kabut itu bergerak perlahan, menyebar
keseluruh penjuru perguruan. Kepanikan
kini melanda pihak Kobovali, entah apa yg terjadi, terlihat beberapa orang
semburat berlarian keluar, tidak mempedulikan pertempuran. Ada yg mengatakan
bahwa kabut hitam itu memancarkan hawa panas yang membakar mereka. Kemudian yg
terlihat diarena adalah dua pihak itu kini berhadap2an dgn kebingungan, sejenak
medan perang terdiam, para pasukan tertegun.
Morota melihat Ki
Selogiri berdiri menghadap perguruan Awan Hitam bersedekap, mata terpejam,
mulutnya komat kamit, didahi mengembun keringat. Samar2 diatas ubun2nya muncul
asap putih tipis. Tahulah dia bahwa kabut hitam disekitar perguruan Awan Hitam
adalah hasil perbuatan Ki Selogiri. Dia tidak tahu berakibat apa kabut ini
kepada pihak musuh, yg jelas mereka sekarang dalam kondisi panik. Cepat2 Morota
memanfaatkan situasi ini, segera dia
memerintahkan agar pasukannya menyerbu. Pihak musuh yg tertegun dan
kaget itupun kini menjadi sasaran pembantaian. Teriakan kematian, dan bau anyir
darah yg muncrat dari tubuh2 mereka menggenang diatas tanah. Sosok2 mayat
bergelimpangan, bertumpukan dengan sekujur tubuh berwarna merah darah. Belum
puas bagai serigala kelaparan melihat segerombolan domba, maka Morota, Ki
Selogiri dan para pendekar serta pasukannya dengan beringas, menyerbu masuk ke
dalam perguruan. Siapapun lawan dihadapan mereka, berakhir tak bernyawa.
Termasuk para murid, dan keluarga mereka dari perguruan Awan Hitam. Laki2,
perempuan, anak2, dan orang tua , bahkan hewan2 yg hidup semua dilindas,
dibabat habis. Benar2 pemusnahan tanpa ampun, sesuai perintah. Sungguh tidak
berperikemanusiaan.
Genangan darah
sudah mencapai tumit sepatu, ketika didepan mereka berdiri dua sosok laki2
mengenakan jubah hitam dgn muka merah menakutkan, dgn golok berlinangan darah
digenggaman, sedang menghadang gerak pasukan. Morota dan pasukannya berhenti,
seketika itu mereka sadar bahwa sekarang musuh hanya tersisa dua orang
dihadapan. Dua manusia ini, adalah Kobovali dan disebelahnya seorang lebih tua
berjenggot putih panjang, memakai sorban warna coklat. Inilah gurunya Kobovali.
Kebencian dan amarah hebat terlintas dari wajah mereka berdua, manakala melihat
pembunuhan massal penghuni perguruannya. Sedang disekitar mereka tergeletak
puluhan mayat, nampaknya dua orang ini telah memakan banyak korban dari pasukan
Morota.
Tatapan mata
Kobovali tajam menusuk tertuju kepada Morota. Golok diacungkan lurus kedepan
kearah Morota. Suatu tantangan perang tanding. Morota yg berpedang ganda
bergerak beberapa langkah kedepan, tujuh langkah dari hadapan Kobovali dia
berhenti. Wajahnya tenang, tersungging seulas senyuman. Sakit hati Kobovali,
sambil berteriak kencang, dia meloncat menyerang. Pertarungan hebat tak
terelakan. Antara dua manusia beda generasi, Kobovali dari generasi tua,
seorang patih yg berpengalaman dan berilmu tinggi, sedangkan lawannya adalah
pemuda, seorang raja baru, belum berpengalaman, namun tidak kalah tinggi
ilmunya. Ternyata pertarungan tidak kalah hebatnya terjadi juga diarena lain,
antara Ki Selogiri dengan si orang tua bersorban coklat itu. Bahkan beberapa
saksi melihat seakan ada petir dan badai menyambar2 disekitar pertarungan dua
manusia tua ini.
Tujuh tahun
kehidupan selama di istana dengan foya2 dan bergelimang kemewahan dan keenakan,
telah menguras tenaga murni Kobovali, semakin lama terlihat bahwa dia dibawah
tekanan Morota. Matahari baru condong ke
barat ketika pedang ganda Morota berhasil menebas putus leher Kobovali,
potongan kepala itu terlempar dan jatuh menggilinding, bercipratan darah.
Seorang jendral bertindak cepat, dengan menusukan tombak kepangkal leher,
seketika Morotapun mengangkat tombak yg diujungnya menancap kepala Kobovali.
Sorak sorai gempita seluruh pasukan terdengar. Menggetarkan bangunan
sekitarnya. Belum hilang gema sorakan kemenanangan, menyusul ditempat lain
terdengar pula sorakan lebih keras. Di arena terlihat Ki Selogiri berhasil
mengalahkan lawannya, meski luka yg dialami Ki Selogiri dari pertarungan itu
tidak ringan. Darah masih menetes dari pinggir bibirnya, berjalan sempoyongan
sambil tangan kanannya memegang erat didada.
Muntah darah segar sebelum akhirnya duduk bersila memejamkan mata,
mencoba mengatur kembali energi dalam tubuh yg bergejolak tak beraturan, dan
menyalurkan ke saluran2 yg normal.
“Akhirnya perguruan Awan Hitampun dimusnahkan,
bangunan beserta isinya dibakar. Diumumkan kekalayak ramai tentang pelarangan
ilmu awan hitam. Bagi pengikutnya yang tersisa, untuk mereka yg terbukti
mempelajari dan mempunyai ilmu aliran ini, hukuman mati ganjarannya. Sejak itu
pula semua yg berhubungan dengan Awan Hitam punah dari muka bumi ini”, dengan
menghembus nafas panjang, Damar menghentikan ceritanya, dilihatnya Sekararum
terpekur, terkesima dengan cerita ini.
Setelah lama
terdiam seakan menghayati kisah itu, Sekararum lalu bertanya ,“Apa kaitannya
cerita ini dengan Waliki…?”
“ Ternyata
Waliki mewarisi ilmu Awan Hitam…,” jawab Damar tenang.
Sekararum
mengerutkan keningnya,” Bukankah ilmu itu dilarang dan semuanya sudah
dimusnahkan…?”
“ Peristiwa ini
terjadi kira2 dua puluh lima tahun lalu, lama setelah perguruan kita ini
berdiri,” Damar menjawab, setelah sebelumnya dia kembali meneguk wedang.
“ Waliki tiba
di desa Pringjati, sebagai pengembara yg ingin menghabiskan masa tuanya dengan
hidup tenang maka dia bermaksud menetap disini. Dengan seijin ki lurah saat itu
dia membuka lahan, untuk rumah dan persawahan. Ternyata Waliki tukang kayu yg
bagus, disamping dia ahli bercocok tanam dan berkebun. Tidak lama kemudian dia
didaulat beberapa warga untuk menularkan keahliannya itu. Waliki tidak menolak,
bahkan dengan senang hati mengajarkannya. Akhirnya keahlian Waliki sampai
ketelinga orang di perguruan sini. Hal
sama dia lakukan pada penghuni perguruan, dia membantu menata bangunan,
persawahan dan taman, disekitar sini. Agar kami dapat selalu berhubungan
dengannya, kami mengangkatnya sebagai tukang kebun perguruan, dan akrab dengan
semua penghuni ”.
“ Waktupun
berjalan, secara diam2 ternyata Waliki tertarik pada bakat, kepandaian dan
susunan tulang yg dimiliki putriku, Nayala, yaitu ibumu Sekararum...,” setiap
mendengar nama ibunya disebut, bergetar dada Sekararum, Damarpun melanjutkan
kisahnya.
“ Nayala saat
itu lebih tua sedikit dari usiamu kini, kepandaiannya setara denganmu, entah
bagaimana awalnya, sehingga dengan sembunyi2 tanpa sepengetahuan siapapun
termasuk aku, Waliki membuat kesepakatan dan menurunkan ilmunya. Mereka berdua
berlatih, ditengah larut malam, dipuncak bukit Grojoganjati. Nayala pintar
mencuri waktu disaat aku berada di aula melatih murid. Suatu ketika tidak
sengaja aku memergoki dia sedang berlatih sendiri, gerakan2 dan jurus yg diperagakan
bukan dari ilmu selama ini kuajarkan. Jurus2 itu begitu kejam, bengis dan
sadis. Aku menduga itu ilmu dari aliran hitam. Apa Nayala menciptanya sendiri,
atau ada orang lain yg mengajarkannya, tapi siapa…?”
“ Selama itu
pula Nayala tidak menyadari bahwa aku menguntit gerak geriknya. Hingga suatu
malam, dengan sembunyi di puncak Grojoganjati aku melihat mereka melatih ilmu
tsb. Bahkan Waliki sempat berlatih menggunakan sebagaian kehebatan ilmu itu,
ilmu yg kejam. Menilik gerakan2 Nayala, menurutku dia baru menerima
sepersepuluh bagian. Setelah mereka menyelesaikan latihannya, aku biarkan
Nayala menuju jalan pulang. Aku ingin membuka kedok Waliki. Maka dijalan
setapak menurun bukit, dikegelapan malam, dengan membungkus sebagian wajahku
dengan kain gelap, aku pura2 berdiri bersandarkan pohon, menghadang
perjalanannya. Dia sungguh terkejut, hingga lama berdiri tertegun. Waliki pasti
menduga, bahwa dihadapannya adalah salah satu penghuni perguruan, tapi tidak
tahu siapa. Dia tdk ingin kedoknya terbongkar,
ternyata sangat sulit untuk membuatnya mengaku. Akhirnya kami bertarung,
aku merasa ilmu Waliki masih dibawah muridku Sartani maupun Aryasulu bahkan
Gagar, tapi kadang2 ditengah pertarungan muncul bau harum menyengat hidung,
berakibat memecahkan pemusatan pikiranku, sehingga cukup lama aku baru bisa
mengalahkannya. Sambil mengingat2 ilmu apa yg mempunyai ciri seperti ini, aku
membuka kain penutup muka, dan meminta Waliki tidak mengulangi perbuatannya.
Dia berjanji tidak melakukan lagi, tanpa seijinku, dan menyebut ilmu yg
dimiliki adalah cabang ilmu dari perguruan Awan Hitam. Ilmu itu dia peroleh,
tiga puluh tahun sebelumnya dari seorang perempuan tua, yg tinggal di lembah
Duka di barat negeri ini. Tapi dia tetap merahasiakan sampai sekarang siapa
perempuan tua itu. Dan sejak saat itu, keaslian jati dirinya hanya diketahui
olehku dan ibumu. Sampai sekarang ”.
Hening serasa
mencekam, setelah Damar menyelesaikan ceritanya. Tidak terasa mataharipun
hampir mencapai puncaknya. Rindangnya pohon di atas bukit ini sanggup untuk
menutup sinarnya, meski masih ada yg menerobos disela2 dedaunan. Udara pun
masih sejuk, dengan anginnya semilir. Hingga cuaca panaspun tidak terasakan.
Damar
meneruskan pembicaraan, “ Waliki menerima untuk menjadi pendampingmu selama
perjalanan,…tapi dengan syarat aku mengijinkan dia untuk menurunkan semua ilmu
warisan Awan Hitam kepadamu… ”.
“ Dan aku
menyetujuinya…” Damar berkata pelan, sambil menoleh menatap lembut cucunya.
Sebelum Sekararum
sempat mengucapkan sesuatu, Damar melanjutkan,“ Baik buruk pengaruh ilmu itu
kepadamu sudah aku pertimbangkan, seandainya kamu tidak menyetujuinya, aku
putuskan selama aku masih hidup maka tidak ada pencarian terhadap ayah dan
ibumu”, ada sedikit nada menekan dalam suara Damar, meski masih dengan kelembutan
seorang kakek yg menyayangi cucunya.
Sekararum hanya
termangu mendengarnya. Seolah menuju jalan buntu, maka diapun hanya mengangguk.
“ Ahh…maafkan
kakekmu ini Sekararum, aku lega akhirnya kau menyetujuinya. Besok kita akan ke
sanggar untuk mempersiapkan perjalananmu. Sekarang kau harus berangkat ke air
terjun grojoganjati, kau pasti sudah ditunggu paman dan kakak2mu untuk berlatih
di sana,”
Segera Sekararum
mencium tangan kakeknya, setelah mengucap salam, maka dia bergegas pergi
menuruni bukit, kemudian berbelok dijalan setapak untuk selanjutnya mendaki
hingga kepuncak. Setelah sosok cucunya hilang di tikungan bukit, Damarpun
menghela napas panjang. Dia merasa bahwa diamnya Sekararum menandakan bahwa
cucunya itu menerima dengan berat hati,
tapi dia mengetahui bahwa Waliki adalah seorang pengembara yg handal, seperti
dirinya, ahli pencari jejak. Dibawah
lindungannya maka perjalanan cucunya tidak akan tersesat, tanpa arah. Hanya yg
tidak diduganya adalah syarat yg diajukan Waliki. Tapi semuanya kini sudah
diputuskan, dan segera akan dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar