Rabu, 01 Februari 2012

Cersil Ku Blm Berjudul entri 3


Bab 2

Damar sengaja mengambil jalan yg sempit, terjal serta licin mendaki di perbukitan ini. Bukan jalan lebar yg biasa dilalui orang umum bila ingin menuju ke perguruan. Tidak lama  kemudian terlihat dataran rumput luas, disekitarnya ditumbuhi pepohonan besar dan rindang. Disebelah kirinya, dibawah  dia sedang berdiri saat ini terdengar bunyi air sungai mengalir deras, menuju ke pedesaan dibawah sana.  Sedangkan jauh diujung barat tanah dataran ini, seperti mengelilinginya, samar2 nampak bayangan redup berjajar pegunungan yg menjulang dihiasi awan2 putih berarak dipuncak2nya.
Begitu dia menginjak tanah dataran ini, maka beberapa langkah kemudian ia berbelok ke sebuah lereng perbukitan cukup tinggi, dimana terdapat anak tangga berbatu yg berkelok kelok seperti ular. Setelah mencapai puncak anak tangga bertemulah kembali dia dengan tanah datar. Tanah ini juga ditumbuhi berbagai pepohonan besar dan tua, akhirnya samar2 didepannya nampak  berdiri sebuah bangunan pagar batu tinggi dan kokoh memanjang melintangi jalan. Terlihat pintu gerbang menjulang dengan daun pintu yg besar dan tebal.  Tepat diatas pintu itu, terlihat mencolok menempel sebuah papan nama besar berbentuk persegi. Pada papan dgn warna dasar putih itu, ditengah2nya terukir huruf besar berwarna hitam. Terbaca “Perguruan Pringjati “.
Didepan pintu gerbang yg selalu terbuka, dia melihat enam orang laki2 masing2 menyandang sibilah pedang menggantung dipinggangnya. Mereka berusia sekitar akhir dua puluhan, sedang berdiri, menjaga pintu gerbang perguruan.. Mereka adalah bagian dari para murid perguruan Pringjati.
Sebagai pendiri yg telah membesarkan perguruan, Damar memang selama ini jarang bertemu langsung dengan para murid. Padahal sepuluh tahun lalu kegiatan itu rutin dilakukannya. Namun sejak dia mengangkat apa yg dinamakannya dewan guru, menjadikan seluruh kegiatan mengajar keilmuan di perguruan ini, diserahkan kepada mereka.  Adanya dewan ini, membuat dia jarang berhubungan langsung dengan para murid yg dulu selalu dilakukannya.  Memang ada beberapa murid ditingkatan tinggi, kebanyakan murid2 tua, yg sudah lebih tiga puluh tahun belajar di perguruan ini, dengan merekalah dia masih berlatih dan melakukan penyempurnaan keilmuan sekaligus melaksanakan tahap pengujiannya. Akan tetapi adanya kegiatan rutin keluar perguruan meski setahun sekali, seperti sekarang ini, kadang2 dia manfaatkan sebagai proses bertemu kembali dengan anak muridnya.
“Salam, guru besar…semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,” terdengar murid paling tua diantara mereka, mewakili salam penghormatan kepada Damar.
Bagi mereka, bertemu guru besarnya disaat bertugas seperti ini, merupakan berkah tersendiri. Kejadiannya bisa satu berbanding seribu.
Dengan mengangguk Damar membalas salam mereka, “ Kalian murid tingkat berapa, siapa guru kalian?”
“Saya ditingkat tujuh, mereka ditingkat enam. Kami dilatih guru Baya”.  jawab murid tadi.
Seingat Damar, Baya memang termasuk salah satu murid cerdas. Punya keinginan kuat untuk maju. Beberapa waktu lalu dia sempat mengujinya untuk melatih jurus baru.
“Sudah berapa lama kalian bersama guru Baya,”
“Satu tahun”
“Satu tahun !, Sebelumnya dibimbing siapa?”
“Guru Antini”
“Sungguh cepat kalian berganti guru, kalau begitu sejak berada disini, siapa saja yg mengajar kalian?”
“Pertama kali kami disini, dilatih guru Narda. Selama dua tahun beliau menjadi guru kami. Kemudian dilanjutkan oleh guru Lamping selama empat tahun lalu beliau digantikan guru Antini. Ternyata beliau hanya mengajar satu tahun. Digantikan guru Baya. Hingga hari ini…”
Damar terdiam. Ketika membangun perguruan ini, empat puluh tahun lalu, Narda dan Lamping termasuk pendirinya. Mereka adalah angkatan pertama perguruan. Sedang Antini dan Baya adalah murid2 awal perguruan. Mereka tergolong angkatan kedua.
“Ahh…sebenarnya aku merasa kurang suka, dengan pergantian pengajar kalian  secepat ini. Tapi ada pertimbangan2 tertentu bagi para guru dalam hal ini. Untuk itu kalian harap maklum”.
Para murid hanya diam sambil mengangguk.
“Aku ingin mencoba kalian…”, begitu selesai bicara, dalam sekejap Damar seperti menghilang dari pandangan mereka, terbang kearah sebuah dahan, dan seketika itu juga telah kembali ditempatnya. Sebuah peragaan ilmu meloncat tingkat tinggi. Terlihat ditangan kanannya memegang sebatang ranting pohon sepanjang lengan orang dewasa, bersih dari cabang dan daun, serta lurus, tapi kecil lentur.
“Cabut pedang kalian, keroyok aku…!”
Mendengar perintah dari guru besarnya, ada keraguan diwajah mereka. Padahal dari wajah2 mereka masih tersisa kekaguman atas kejadian ketika Damar mengambil ranting dari pohon yg berjarak lumayan jauh di sebelah kiri mereka.
Memang tidak lama ketertegunan mereka, sebagai manusia terlatih mereka dengan cepat menyesuaikan diri. Tapi sebelum simurid tertua itu mengeluarkan pedang, didengarnya suara pedang dicabut dari sarungnya.
Nampak rekannya yg berdiri sebelah kiri agak dibelakangnya, sudah bergerak menyerang. Tangannya sudah menghunus sebatang pedang mengilap.
Sebagai murid tingkat enam, gerakan orang ini cepat, tapi sangat lamban bagi Damar. Dia tidak menghindar, melainkan menangkis, membenturkan senjata rantingnya dengan pedang lawan.
 Akibatnya luar biasa, terdengar suara dentingan seperti dua logam saling beradu. Simurid bergetar, terdorong kebelakang lima langkah. Damar masih tegak berdiri ditempatnya semula, tidak bergeser apalagi bergerak.  Hanya ujung2 jubah putihnya yg riap2 tertiup angin. Senjata ranting digenggaman tangan kanan, masih seperti semula utuh tanpa cacat. 
Bagai baja senjata ranting kecil dan lentur itu, dapat menggetarkan pedang lawannya. Simurid meringis, mukanya merah, menahan kaget bercampur sakit, dia merasa tangan yg memegang pedang itu masih bergetar, telapak tangannya kesemutan dan panas, seketika ingin dilepaskan pedang itu. Tapi tidak. Harga diri dan kemauannya menguatkan hati untuk tetap bertahan. Bahkan kini dia memegang pedangnya dengan dua tangan. Mengatur kondisinya untuk bersiap menyerang lagi.
Sebelum rasa sakit itu hilang, dia melihat ketiga bayangan rekannya masing2 memegang pedang dengan serempak menyerang guru besarnya. Seperti tadi, terdengar suara dua logam saling dibenturkan, hanya sekali, namun kali ini lebih keras.
Yang pertama kali diperhatikannya adalah guru besar masih diposisi semula, pandangan dan raut mukanyapun dilihatnya tidak berubah, seperti tadi, ketika bercakap2 dengan mereka. Kondisi senjata ranting itu masih sama, terlihat lentur tanpa cacat. Sedangkan ketiga rekannya, semuanya terdorong, jauh kebelakang, kini sejajar dengan dirinya. Bahkan salah satu murid tingkat enam, meringis kesakitan, pedang yg dipegangnya terlontar entah kemana. Dua lainnya harus menahan sakit, dengan muka merah, mirip dirinya mencoba menahan pedang masing2 dengan kedua tangan, dan bersiap2 untuk menyerang.
“Cukup…!” seru Damar. Lalu dilemparnya senjata ranting ditangan. Gerakannya terlihat perlahan saja, tapi bagai anak panak lepas dari busur, ranting terbang kearah sebuah batang pohon besar. Sekejap kemudian dengan menimbulkan suara berderak, maka ranting itu telah tertancap diatas batang pohon. Ujungnya masuk sedalam satu kilan sedang sisanya masih bergetar berayun2.
Para murid yg melihat hal itu seketika melongo, takjub.
“Aku bisa mengukur kemampuan kalian. Menurutku, masih dibawah tataran yg seharusnya dicapai ditingkat enam atau tujuh. Ilmu kalian tidak seperti aku harapkan” Damar berkata sambil mengelus dagunya yg halus tdk berjenggot itu. Mesti kecewa, tapi matanya memandang lembut ke masing2 murid. Sedang para murid itu hanya menunduk, hati mereka masih diliputi rasa kekaguman yg belum hilang dan rasa bersalah karena telah mengecewakan guru besar mereka. Tapi Damar memastikan mereka mencerna apa yg diucapkan tadi.
“Akan aku berikan sedikit tambahan ilmu, dasar2 ilmu ini seharusnya sudah kalian pelajari sejak berada di tingkat lima. Aku merasakan tidak ada dlm diri kalian. Apa para guru telah lupa mengajarkan atau kalian yg melewatkannya”.   
“Ini ilmu pernafasan. Dapat meningkatkan tenaga dalam, dengan cara menggali sumber kekuatan dlm diri kalian yg masih terpendam. Bila sudah dapat menguasainya, ilmu ini dapat menjadi perisai untuk pertahanan diri, sekaligus menjadi dorongan tenaga yg beberapa kali lipat kekuatannya pada saat menyerang”.
Kemudian Damar menggerakan tangan, kaki, lalu mencondongkan badannya, menarik napas dan menghembuskannya. Semua itu kelihatan pelan dan lembut, seperti orang menari. Disela2 gerakannya dia memberikan penjelasan kepada para murid.
Sesaat berikutnya para murid itu serempak melakukan gerakan yg dicontohkan Damar tadi.  Ternyata bagi mereka gerekan2 itu, sangat mudah dilakukan.
Setelah puas melihat hasil pelajaran yg diberikan olehnya, Damar berkata,” Lakukan gerakan ini sesering mungkin, satu bulan kemudian akan terasa manfaatnya. Aku akan masuk kedalam”.
“Terima kasih guru besar. Salam…!” jawab para murid hampir bersamaan dengan suara gugup, dan buru2 menghentikan latihannya, mereka hanya sempat melihat bayangan punggung sang guru yg menghilang cepat melintasi pintu gerbang, masuk ke lingkungan perguruan.
Ada beberapa murid sedang menyapu. Mereka berhenti ketika guru besar itu melewatinya, dan berucap salam. Sambil tetap berjalan Damar membalas salam mereka. Dia menuju bangunan yg berada di bagian barat. Ada sesuatu sedang berkecamuk dipikirannya.
“ Selama sepuluh tahun ini aku jarang mengawasi anak murid. Semenjak hadirnya Sekararum, aku benar2 seperti tidak memiliki perguruan ini lagi. Aku merasa selama ini hanya Sekararumlah duniaku. Aku tidak pernah melihat ke sekitar. Keberadaan orang2 ini, kejadian2 yg dialami mereka, bahkan bagaimana penataan kebun dan taman dilingkungan perguruan. Ahh…aku yg salah, benar2 bodoh!, Kini aku merasa terasing di perguruanku sendiri, yang aku dirikan empat puluh tahun lalu”.
Sambil melangkah pikirannya menerawang ke puluhan tahun lalu, ketika dia mendirikan perguruan ini. Usianya mendekati akhir tiga puluh tahun, dengan menyandang jagoan pedang, duniapun menjulukinya si pedang pucat. Namun saat itu jiwanya sedang guncang. Kematian istri tercinta satu bulan sebelumnya akibat wabah penyakit ganas yg menyerang  desanya dan ketidak berdayaan dirinya karena gagal mencari tabib yg sanggup menolong istrinya, membuat dia menimpakan semua kesalahan itu pada dirinya sendiri.
Tidak terima dengan kondisi ini, diapun mengundurkan diri dari keramaian dunia, berjalan melewati lembah, menembus hutan dan menyebrangi ngarai dan sungai. Hidup berpindah2, dari satu tempat ketempat lainnya. mencoba mencari sesuatu yg bisa melupakan kedukaan hebat ini. Tidak terasa waktu berjalan, sudah satu tahun dia menyiksa diri seperti itu, kemudian alam sadarnya terbuka, pikiran normal seperti menyeruak kembali, membawa sinar2 kecil yg cahayanya mampu menerangi kegelapan hati selama ini. Ketidakwarasan perilakunya pun  mencair dan menyisakan penyesalan mendalam, karena kebodohan yg diperbuat setahun ini. Bagaimana bisa dia melupakan buah kasih sayang dan cinta kasih dengan istrinya!
Benar!, masih ada anak satu2nya hasil perkawinan mereka. Seorang putri usia lima tahun. Yang kini pasti sendiri, menangis dan tersisih.Yang dengan tega dan biadab dia tinggalkan bahkan ditelantarkan karena kelemahan hatinya. Apakah arwah istrinya akan rela, melihat perbuatan nista ini. Tidak…arwah istrinya akan menangis dan mengutuknya. Bagaimana mungkin dia melupakan anak ini. Anak itupun berduka, tersiksa atas kematian ibunya, akan tetapi penyiksaan ini harusnya bisa berkurang dan mungkin hilang seandainya dia mampu menghibur, mencurahkan kasih sayangnya. Kenyataanya penyiksaan menjadi semakin dalam dan kelam dialami anak itu, akibat  kelemahan batin dan sikap bodoh dirinya.
Penyesalan itu akhirnya mengembalikan langkah2 kakinya ke tempat dimana dia menitipkan putrinya. Sejak itu dia mencurahkan seluruh kasih sayang dan cinta seorang ayah kepada anak dengan setulus dan sepenuh hati.
 Akhirnya ayah dan anak itu menuju ke timur ke lembah Pringjati. Lembah ini pernah disinggahi selama pengembaraan sintingnya. Terasing dari keramaian. Disana terdapat sebuah desa yg tidak terawat dan kumuh, kegairahan dan semangat hidup dimasyarakatnya tidak ada, padahal daerah ini subur. Kehadiran dia disana diacuhkan, maka diatas hamparan tanah datar yg luas disalah satu lereng bukit sebuah desa, dan dibantu beberapa warganya dengan upah secukupnya,  akhirnya dia mendirikan sebuah rumah,. Bersama orang upahan itu diubahnya tanah datar itu menjadi persawahan yg subur, sedang sisi2nya dia ciptakan perkebunan yg indah. Selama itu pula secara diam2, dan tanpa sepengetahuan orang lain, dia turunkan keilmuan dan kehebatannya sebagai jago pedang kepada putri satu2nya.
Kebahagiaan itu tidak lama, kecemburuan dan ketidakmampuan beberapa orang disekitar menciptakan persekongkolan jahat dengan berandalan kondang penghuni lembah ini. Untuk menghancurkan dirinya.
 Kejadian itu saat fajar, dengan langit merah dan kabut menyelimuti bukit, beberapa orang bergerak diam2 tak bersuara, menyerbu ke rumahnya. Tapi sungguh sial, mereka tengah menyatroni rumah milik jagoan pedang berjuluk si pedang pucat. Mereka seolah kena batunya, bahkan pimpinan berandal diam tak berkutik, tertegun dengan kehebatan pedang lawan. Belum sadar siapa sebenarnya yg dihadapi, dia bertobat dan ingin mengabdi kepada tuan rumah. Sejak itulah bersama  mereka, Damar mendirikan perguruan Pringjati, sekaligus menjadi gurunya.
Kali ini langkah kaki Damar ringan dan cepat. Dia menuju bagian barat di lingkungan dalam perguruan. Sepertinya dia tidak ingin berjumpa dengan siapapun. Jalanan batu berkelok kadang menaik dan turun. Sedang disisi jalan ini tampak dikejauhan sana berdiri rumah para guru dengan tanahnya yg luas. Rumah2 itu pun letaknya saling berjauhan dan berpencar, hanya dibatasi pohon perdu mengelilingi luas tanah tiap rumah. Di depan masing2 rumah itu dihiasi taman2 pohon dan bunga yg indah dan asri. Hasil karya Waliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar