Bab
2
Damar sengaja mengambil
jalan yg sempit, terjal serta licin mendaki di perbukitan ini. Bukan jalan
lebar yg biasa dilalui orang umum bila ingin menuju ke perguruan. Tidak lama kemudian terlihat dataran rumput luas, disekitarnya
ditumbuhi pepohonan besar dan rindang. Disebelah kirinya, dibawah dia sedang berdiri saat ini terdengar bunyi
air sungai mengalir deras, menuju ke pedesaan dibawah sana. Sedangkan jauh diujung barat tanah dataran
ini, seperti mengelilinginya, samar2 nampak bayangan redup berjajar pegunungan yg
menjulang dihiasi awan2 putih berarak dipuncak2nya.
Begitu dia menginjak
tanah dataran ini, maka beberapa langkah kemudian ia berbelok ke sebuah lereng perbukitan
cukup tinggi, dimana terdapat anak tangga berbatu yg berkelok kelok seperti
ular. Setelah mencapai puncak anak tangga bertemulah kembali dia dengan tanah
datar. Tanah ini juga ditumbuhi berbagai pepohonan besar dan tua, akhirnya
samar2 didepannya nampak berdiri sebuah
bangunan pagar batu tinggi dan kokoh memanjang melintangi jalan. Terlihat pintu
gerbang menjulang dengan daun pintu yg besar dan tebal. Tepat diatas pintu itu, terlihat mencolok menempel
sebuah papan nama besar berbentuk persegi. Pada papan dgn warna dasar putih
itu, ditengah2nya terukir huruf besar berwarna hitam. Terbaca “Perguruan
Pringjati “.
Didepan pintu
gerbang yg selalu terbuka, dia melihat enam orang laki2 masing2 menyandang
sibilah pedang menggantung dipinggangnya. Mereka berusia sekitar akhir dua
puluhan, sedang berdiri, menjaga pintu gerbang perguruan.. Mereka adalah bagian
dari para murid perguruan Pringjati.
Sebagai pendiri
yg telah membesarkan perguruan, Damar memang selama ini jarang bertemu langsung
dengan para murid. Padahal sepuluh tahun lalu kegiatan itu rutin dilakukannya.
Namun sejak dia mengangkat apa yg dinamakannya dewan guru, menjadikan seluruh
kegiatan mengajar keilmuan di perguruan ini, diserahkan kepada mereka. Adanya dewan ini, membuat dia jarang berhubungan
langsung dengan para murid yg dulu selalu dilakukannya. Memang ada beberapa murid ditingkatan tinggi,
kebanyakan murid2 tua, yg sudah lebih tiga puluh tahun belajar di perguruan
ini, dengan merekalah dia masih berlatih dan melakukan penyempurnaan keilmuan
sekaligus melaksanakan tahap pengujiannya. Akan tetapi adanya kegiatan rutin
keluar perguruan meski setahun sekali, seperti sekarang ini, kadang2 dia
manfaatkan sebagai proses bertemu kembali dengan anak muridnya.
“Salam, guru
besar…semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,”
terdengar murid paling tua diantara mereka, mewakili salam penghormatan kepada
Damar.
Bagi mereka,
bertemu guru besarnya disaat bertugas seperti ini, merupakan berkah tersendiri.
Kejadiannya bisa satu berbanding seribu.
Dengan
mengangguk Damar membalas salam mereka, “ Kalian murid tingkat berapa, siapa guru
kalian?”
“Saya ditingkat
tujuh, mereka ditingkat enam. Kami dilatih guru Baya”. jawab murid tadi.
Seingat Damar,
Baya memang termasuk salah satu murid cerdas. Punya keinginan kuat untuk maju.
Beberapa waktu lalu dia sempat mengujinya untuk melatih jurus baru.
“Sudah berapa
lama kalian bersama guru Baya,”
“Satu tahun”
“Satu tahun !, Sebelumnya
dibimbing siapa?”
“Guru Antini”
“Sungguh cepat
kalian berganti guru, kalau begitu sejak berada disini, siapa saja yg mengajar
kalian?”
“Pertama kali
kami disini, dilatih guru Narda. Selama dua tahun beliau menjadi guru kami.
Kemudian dilanjutkan oleh guru Lamping selama empat tahun lalu beliau
digantikan guru Antini. Ternyata beliau hanya mengajar satu tahun. Digantikan
guru Baya. Hingga hari ini…”
Damar terdiam. Ketika
membangun perguruan ini, empat puluh tahun lalu, Narda dan Lamping termasuk pendirinya.
Mereka adalah angkatan pertama perguruan. Sedang Antini dan Baya adalah murid2
awal perguruan. Mereka tergolong angkatan kedua.
“Ahh…sebenarnya
aku merasa kurang suka, dengan pergantian pengajar kalian secepat ini. Tapi ada pertimbangan2 tertentu
bagi para guru dalam hal ini. Untuk itu kalian harap maklum”.
Para murid
hanya diam sambil mengangguk.
“Aku ingin
mencoba kalian…”, begitu selesai bicara, dalam sekejap Damar seperti menghilang
dari pandangan mereka, terbang kearah sebuah dahan, dan seketika itu juga telah
kembali ditempatnya. Sebuah peragaan ilmu meloncat tingkat tinggi. Terlihat
ditangan kanannya memegang sebatang ranting pohon sepanjang lengan orang dewasa,
bersih dari cabang dan daun, serta lurus, tapi kecil lentur.
“Cabut pedang
kalian, keroyok aku…!”
Mendengar
perintah dari guru besarnya, ada keraguan diwajah mereka. Padahal dari wajah2
mereka masih tersisa kekaguman atas kejadian ketika Damar mengambil ranting
dari pohon yg berjarak lumayan jauh di sebelah kiri mereka.
Memang tidak
lama ketertegunan mereka, sebagai manusia terlatih mereka dengan cepat
menyesuaikan diri. Tapi sebelum simurid tertua itu mengeluarkan pedang,
didengarnya suara pedang dicabut dari sarungnya.
Nampak rekannya
yg berdiri sebelah kiri agak dibelakangnya, sudah bergerak menyerang. Tangannya
sudah menghunus sebatang pedang mengilap.
Sebagai murid tingkat
enam, gerakan orang ini cepat, tapi sangat lamban bagi Damar. Dia tidak
menghindar, melainkan menangkis, membenturkan senjata rantingnya dengan pedang
lawan.
Akibatnya luar biasa, terdengar suara
dentingan seperti dua logam saling beradu. Simurid bergetar, terdorong
kebelakang lima langkah. Damar masih tegak berdiri ditempatnya semula, tidak
bergeser apalagi bergerak. Hanya ujung2
jubah putihnya yg riap2 tertiup angin. Senjata ranting digenggaman tangan kanan,
masih seperti semula utuh tanpa cacat.
Bagai baja
senjata ranting kecil dan lentur itu, dapat menggetarkan pedang lawannya.
Simurid meringis, mukanya merah, menahan kaget bercampur sakit, dia merasa
tangan yg memegang pedang itu masih bergetar, telapak tangannya kesemutan dan
panas, seketika ingin dilepaskan pedang itu. Tapi tidak. Harga diri dan
kemauannya menguatkan hati untuk tetap bertahan. Bahkan kini dia memegang pedangnya
dengan dua tangan. Mengatur kondisinya untuk bersiap menyerang lagi.
Sebelum rasa
sakit itu hilang, dia melihat ketiga bayangan rekannya masing2 memegang pedang
dengan serempak menyerang guru besarnya. Seperti tadi, terdengar suara dua
logam saling dibenturkan, hanya sekali, namun kali ini lebih keras.
Yang pertama
kali diperhatikannya adalah guru besar masih diposisi semula, pandangan dan
raut mukanyapun dilihatnya tidak berubah, seperti tadi, ketika bercakap2 dengan
mereka. Kondisi senjata ranting itu masih sama, terlihat lentur tanpa cacat.
Sedangkan ketiga rekannya, semuanya terdorong, jauh kebelakang, kini sejajar
dengan dirinya. Bahkan salah satu murid tingkat enam, meringis kesakitan,
pedang yg dipegangnya terlontar entah kemana. Dua lainnya harus menahan sakit,
dengan muka merah, mirip dirinya mencoba menahan pedang masing2 dengan kedua
tangan, dan bersiap2 untuk menyerang.
“Cukup…!” seru
Damar. Lalu dilemparnya senjata ranting ditangan. Gerakannya terlihat perlahan
saja, tapi bagai anak panak lepas dari busur, ranting terbang kearah sebuah
batang pohon besar. Sekejap kemudian dengan menimbulkan suara berderak, maka ranting
itu telah tertancap diatas batang pohon. Ujungnya masuk sedalam satu kilan
sedang sisanya masih bergetar berayun2.
Para murid yg
melihat hal itu seketika melongo, takjub.
“Aku bisa
mengukur kemampuan kalian. Menurutku, masih dibawah tataran yg seharusnya dicapai
ditingkat enam atau tujuh. Ilmu kalian tidak seperti aku harapkan” Damar
berkata sambil mengelus dagunya yg halus tdk berjenggot itu. Mesti kecewa, tapi
matanya memandang lembut ke masing2 murid. Sedang para murid itu hanya
menunduk, hati mereka masih diliputi rasa kekaguman yg belum hilang dan rasa
bersalah karena telah mengecewakan guru besar mereka. Tapi Damar memastikan
mereka mencerna apa yg diucapkan tadi.
“Akan aku
berikan sedikit tambahan ilmu, dasar2 ilmu ini seharusnya sudah kalian pelajari
sejak berada di tingkat lima. Aku merasakan tidak ada dlm diri kalian. Apa para
guru telah lupa mengajarkan atau kalian yg melewatkannya”.
“Ini ilmu
pernafasan. Dapat meningkatkan tenaga dalam, dengan cara menggali sumber
kekuatan dlm diri kalian yg masih terpendam. Bila sudah dapat menguasainya,
ilmu ini dapat menjadi perisai untuk pertahanan diri, sekaligus menjadi dorongan
tenaga yg beberapa kali lipat kekuatannya pada saat menyerang”.
Kemudian Damar
menggerakan tangan, kaki, lalu mencondongkan badannya, menarik napas dan
menghembuskannya. Semua itu kelihatan pelan dan lembut, seperti orang menari.
Disela2 gerakannya dia memberikan penjelasan kepada para murid.
Sesaat
berikutnya para murid itu serempak melakukan gerakan yg dicontohkan Damar
tadi. Ternyata bagi mereka gerekan2 itu,
sangat mudah dilakukan.
Setelah puas
melihat hasil pelajaran yg diberikan olehnya, Damar berkata,” Lakukan gerakan
ini sesering mungkin, satu bulan kemudian akan terasa manfaatnya. Aku akan
masuk kedalam”.
“Terima kasih
guru besar. Salam…!” jawab para murid hampir bersamaan dengan suara gugup, dan
buru2 menghentikan latihannya, mereka hanya sempat melihat bayangan punggung
sang guru yg menghilang cepat melintasi pintu gerbang, masuk ke lingkungan perguruan.
Ada beberapa
murid sedang menyapu. Mereka berhenti ketika guru besar itu melewatinya, dan
berucap salam. Sambil tetap berjalan Damar membalas salam mereka. Dia menuju
bangunan yg berada di bagian barat. Ada sesuatu sedang berkecamuk dipikirannya.
“ Selama
sepuluh tahun ini aku jarang mengawasi anak murid. Semenjak hadirnya Sekararum,
aku benar2 seperti tidak memiliki perguruan ini lagi. Aku merasa selama ini
hanya Sekararumlah duniaku. Aku tidak pernah melihat ke sekitar. Keberadaan
orang2 ini, kejadian2 yg dialami mereka, bahkan bagaimana penataan kebun dan
taman dilingkungan perguruan. Ahh…aku yg salah, benar2 bodoh!, Kini aku merasa
terasing di perguruanku sendiri, yang aku dirikan empat puluh tahun lalu”.
Sambil
melangkah pikirannya menerawang ke puluhan tahun lalu, ketika dia mendirikan perguruan
ini. Usianya mendekati akhir tiga puluh tahun, dengan menyandang jagoan pedang,
duniapun menjulukinya si pedang pucat. Namun saat itu jiwanya sedang guncang.
Kematian istri tercinta satu bulan sebelumnya akibat wabah penyakit ganas yg menyerang desanya dan ketidak berdayaan dirinya karena
gagal mencari tabib yg sanggup menolong istrinya, membuat dia menimpakan semua
kesalahan itu pada dirinya sendiri.
Tidak terima
dengan kondisi ini, diapun mengundurkan diri dari keramaian dunia, berjalan
melewati lembah, menembus hutan dan menyebrangi ngarai dan sungai. Hidup
berpindah2, dari satu tempat ketempat lainnya. mencoba mencari sesuatu yg bisa
melupakan kedukaan hebat ini. Tidak terasa waktu berjalan, sudah satu tahun dia
menyiksa diri seperti itu, kemudian alam sadarnya terbuka, pikiran normal
seperti menyeruak kembali, membawa sinar2 kecil yg cahayanya mampu menerangi
kegelapan hati selama ini. Ketidakwarasan perilakunya pun mencair dan menyisakan penyesalan mendalam,
karena kebodohan yg diperbuat setahun ini. Bagaimana bisa dia melupakan buah
kasih sayang dan cinta kasih dengan istrinya!
Benar!, masih
ada anak satu2nya hasil perkawinan mereka. Seorang putri usia lima tahun. Yang
kini pasti sendiri, menangis dan tersisih.Yang dengan tega dan biadab dia
tinggalkan bahkan ditelantarkan karena kelemahan hatinya. Apakah arwah istrinya
akan rela, melihat perbuatan nista ini. Tidak…arwah istrinya akan menangis dan mengutuknya.
Bagaimana mungkin dia melupakan anak ini. Anak itupun berduka, tersiksa atas
kematian ibunya, akan tetapi penyiksaan ini harusnya bisa berkurang dan mungkin
hilang seandainya dia mampu menghibur, mencurahkan kasih sayangnya. Kenyataanya
penyiksaan menjadi semakin dalam dan kelam dialami anak itu, akibat kelemahan batin dan sikap bodoh dirinya.
Penyesalan itu
akhirnya mengembalikan langkah2 kakinya ke tempat dimana dia menitipkan putrinya.
Sejak itu dia mencurahkan seluruh kasih sayang dan cinta seorang ayah kepada
anak dengan setulus dan sepenuh hati.
Akhirnya ayah dan anak itu menuju ke timur ke
lembah Pringjati. Lembah ini pernah disinggahi selama pengembaraan sintingnya.
Terasing dari keramaian. Disana terdapat sebuah desa yg tidak terawat dan
kumuh, kegairahan dan semangat hidup dimasyarakatnya tidak ada, padahal daerah
ini subur. Kehadiran dia disana diacuhkan, maka diatas hamparan tanah datar yg
luas disalah satu lereng bukit sebuah desa, dan dibantu beberapa warganya
dengan upah secukupnya, akhirnya dia
mendirikan sebuah rumah,. Bersama orang upahan itu diubahnya tanah datar itu
menjadi persawahan yg subur, sedang sisi2nya dia ciptakan perkebunan yg indah.
Selama itu pula secara diam2, dan tanpa sepengetahuan orang lain, dia turunkan
keilmuan dan kehebatannya sebagai jago pedang kepada putri satu2nya.
Kebahagiaan itu
tidak lama, kecemburuan dan ketidakmampuan beberapa orang disekitar menciptakan
persekongkolan jahat dengan berandalan kondang penghuni lembah ini. Untuk
menghancurkan dirinya.
Kejadian itu saat fajar, dengan langit merah
dan kabut menyelimuti bukit, beberapa orang bergerak diam2 tak bersuara,
menyerbu ke rumahnya. Tapi sungguh sial, mereka tengah menyatroni rumah milik
jagoan pedang berjuluk si pedang pucat. Mereka seolah kena batunya, bahkan
pimpinan berandal diam tak berkutik, tertegun dengan kehebatan pedang lawan.
Belum sadar siapa sebenarnya yg dihadapi, dia bertobat dan ingin mengabdi
kepada tuan rumah. Sejak itulah bersama
mereka, Damar mendirikan perguruan Pringjati, sekaligus menjadi gurunya.
Kali ini langkah kaki Damar ringan dan cepat. Dia
menuju bagian barat di lingkungan dalam perguruan. Sepertinya dia tidak ingin berjumpa
dengan siapapun. Jalanan batu berkelok kadang menaik dan turun. Sedang disisi
jalan ini tampak dikejauhan sana berdiri rumah para guru dengan tanahnya yg
luas. Rumah2 itu pun letaknya saling berjauhan dan berpencar, hanya dibatasi
pohon perdu mengelilingi luas tanah tiap rumah. Di depan masing2 rumah itu dihiasi
taman2 pohon dan bunga yg indah dan asri. Hasil karya Waliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar