Rabu, 29 Februari 2012

Cerita Silat Ku entri 6


Bab 4

Damar melanjutkan memakan sisa2 pisang bakar, ketika pendengarannya menangkap langkah2 kaki meski ringan menapaki tangga berbatu dibawah sana menuju ke pekarangan. Seperti acuh dia meneguk habis isi gelasnya dan berdiri keluar dari teras, untuk menyambut kedatangan tamu.
Dilihatnya kini tiga sosok muncul dari bawah bukit, melangkah beriringan dijalan setapak. Paling depan seorang laki2 usianya lebih tua dari Damar, tubuhnya tinggi kurus. Nama laki2 tua ini Sartani. Murid pertama Damar.
Dibelakangnya berjalan mengikuti, seorang pria tua seusia Damar, meski hanya setinggi separuh pria pertama tadi, tapi bentuk badannya sangat menarik perhatian, karena gendut bulat seperti bola, lebar tubuhnya memenuhi lebar jalan setapak ini. Sedang kepalanya plontos. Si tua gemuk ini mengenakan jubah tebal warna putih yg dibiarkan terbuka, memperlihatkan perut buncit besar mirip gentong dengan pusar menonjol.  Ditangan kanannya menggenggam tongkat kayu bulat yang besar mengilap dan meliuk2 bagai ular, panjangnya dua kali tinggi badannya. Hebatnya sigendut plontos ini sangat cepat dan ringan langkahnya, seolah dia mengelinding dan memantul mirip bola. Dialah murid nomor tiga , Gagar namanya.
Laki2 paling belakang ini, setinggi Damar, sangat tenang penampilannya. Usianya setara lainnya. Wajahnya masih menyisakan ketampanan di masa mudanya, rambut putihnya lurus berminyak panjang sebahu, dibiarkan terurai tanpa ikatan.  Murid kedua, Aryasulu. Selintas melihat penampilannya, orang pasti akan bergumam dalam hati betapa pesoleknya kakek ini.
Tidak lama kemudian mereka sudah berdiri berjajar dihadapan Damar.
“ Salam, …semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,” serempak mereka mengucapkannya, sambil menundukan kepala. Hal yg sama dilakukan Damar saat membalas salam mereka.
“ Maaf, …kedatangan kami mungkin mengganggu guru. Setelah lima hari ini bepergian. Sekararum pasti ingin mengobrol lama2 dengan guru ”, Sartani membuka pembicaraan. Suaranya datar dan berat.
Dengan mengibaskan sebelah tangan, seolah isyarat agar mereka jangan sungkan2, Damar berkata, “ Kondisi kecamatan Pringjati yg terdiri  lima desa telah mengalami kemajuan pesat, bukan hanya pertanian dan peternakan yg ramai, tapi telah banyak pedagang menyebar merata hampir disetiap sudut, apalagi mulai banyak pande besi, tukang pintal dan tenun dan tempat penyamakan kulit. Bahkan sepenglihatanku tanah yg dijadikan tempat tinggal dan persawahan jadi semakin luas. Banyak pendatang membuka lahan baru. Sehingga diseluruh pelosok desa2 ini jalanan semakin bercabang. Apalagi jalan menuju wilayah Draw diperlebar, sehingga sangat ramai orang melewatinya. Aku perhatikan banyak orang dan pedagang dari kecamatan lain juga melalui  jalan tersebut. Padahal satu tahun lalu, mereka  lebih baik memilih jalan sedikit memutar melalui kecamatan Tangguljati “
 Kali ini tatapan Damar tertuju pada kakek pesolek,“ Aku bangga dengan cara kerja putramu, mengelola wilayah ini, Arya…,”
Yang disentil dengan muka masih tersenyum dan mengangguk hormat menjawab,” Terima kasih, semua berkat didikan dan arahan tiada bosan2nya dari guru kepada kami, sehingga saya dapat memberi saran2 untuk pembangunan sebuah pemukiman yg makmur kepada Bagaswala”, suaranya lembut, melibihi halusnya suara Damar.
Gagar mendadak menimpali, suaranya mirip anak anak, “Benar, tapi dengarkan dulu, Ada ribuan pasukan ditempatkan disekitar kecamatan ini. Dan mulai sekarang setiap penduduk akan dikenakan keharusan membayar pajak kepada kadipaten. Akan ada beberapa petugas dipimpin bendahara yg menghitung berapa besarnya pajak yg akan dikenakan pada masing2 penduduk. Nampaknya pajak diwajibkan pada semua lapisan, kaya atau miskin. Bagi yg tidak mampu membayarnya, akan disita harta bendanya, dan diusir dari wilayah ini. Apa kita hanya berdiam”.
Damar tercenung mendengar perkataan Gagar, memang akhir2 ini berita2 rencana pungutan pada penduduk semakin gencar. Tapi haruskah ada kekerasan. Diliriknya Aryasulu yg terdiam  hanya menyungging senyum. Sedang Sartani seperti biasanya, raut mukanya datar, sulit ditebak isi hatinya.
Kini mereka berjalan menuju ke samping rumah, melalui jalan setapak dari batu, kearah belakang menuju kebangunan kecil , sebuah sanggar.
Suasana mendadak sepi. Didalam sanggar, mereka duduk bersila membentuk lingkaran. Anehnya posisi ini bukan siksaan bagi Gagar yg gendut dan tambun itu. Dalam sanggar ternyata kosong melompong, hanya tergelar tikar dari anyaman bamboo menutupi separuh luas lantai.
Gagar melanjutkan, “Raja Drambura yg baru memerintah enam bulan ini, telah menekan seluruh adipati diwilayah negeri, bahwa tanah, air dan hasil bumi yg keluar dari dalamnya adalah milik kerajaan. Raja bagai penguasa tunggal “. 
Tiba2 sekujur tubuh Damar menegang, tapi tetap dengan suara halus,“ Apa yang terjadi bila Bagaswala, menolaknya...?” entah kepada siapa diantara mereka bertiga, dia bertanya.
Aryasulu masih tersenyum menjawab,” Mungkin seribu pasukan akan meratakan desa  ini. Raja telah bertindak cepat, dia telah mendirikan barak2 pasukan diseluruh wilayah negeri ini, bahkan daerah terpencilpun tidak luput dari jangkauan”.
Damar mengangguk pelan, “Benar2 cerdik dia”.
Selama pembicaraan ini Sartani hanya diam mendengarkan, wajahnya tertunduk dengan mata terpejam.
 “ Sartani, apa kebijakan itu berlaku juga pada perguruan ini “, pertanyaan Damar kini tertuju pada pria jangkung ini.
Dengan perlahan dia mengangkat wajah, matanya tertuju pada Damar,” Sebenarnya kedatangan kami berkaitan dengan masalah ini. Besok pagi Bagaswala akan membawa petugas dari kadipaten berkunjung kemari. Kedatangan mereka hendak memaparkan kebijakan itu”.
Tiba2 Gagar menyahut suaranya keras melengking,“ Selama ini, kita tidak pernah membayar sesen pun pada kadipaten atau kerajaan. Perguruan ini dapat besar seperti sekarang ini, juga hasil perjuangan kita sendiri. Pihak kadipaten atau kerajaan tidak pernah memberi bantuan bahkan bermanfaat pada kehidupan kita. Untuk apa harus tunduk pada peraturan mereka. Kita harus melawannya. Lima ribu penghuni perguruan siap untuk berjuang menentang kezaliman ini…!”, mukanya merah, dan nafasnya menggebu setelah dia mengakhiri kalimatnya.
Semua orang terkesiap, mereka menatap tajam pada sigendut, Aryasulu sekejap sempat kehilangan senyumnya, lalu suaranya tenang ketika berkata,” Semua harus dipertimbangkan dulu dengan matang, perkataan Gagar agar kita melawan kezaliman, saya setuju, tapi kita harus bisa mengukur kekuatan sendiri. Aku sudah berhitung mengenai ini. Dari lima ribu penghuni perguruan, mungkin hanya tiga ribu dapat ikut berjuang, karena sisanya adalah anak2 dan para perempuan lemah, mereka harus dilindungi. Ingat diluar wilayah kita masih terdapat puluhan barak pasukan, mereka secepatnya dapat memberi bantuan kepada seribu pasukan yg sudah ditempatkan disini. Menurutku sebaiknya menunggu hasil dari pertemuan besok. Akan tetapi sekiranya kita diharuskan mentaati kebijakan itu, maka jalan kekerasan seperti diusulkan Gagar bukan pilihan tepat, aku sarankan kita meminta kelonggaran waktu dan besarnya pungutan”.
Gagar tampaknya belum bisa menerima usul Aryasulu,“ Perguruan ini dan penghuni setiap pedesaan yg dipimpin Bagaswala harus bersatu berjuang bersama menentang peraturan itu!” suaranya melengking seperti tadi, bahkan dengan mengepal tinju dia mengangkat tangan kanannya. Dengan menggeleng2kan kepala Aryasulu menanggapinya sambil tersenyum.
Damar akhirnya berkata,” Sepertinya Bagaswala sudah mengambil keputusan untuk menuruti titah adipati. Gagar benar bahwa bila peraturannya sangat mencekik rakyat, ini adalah bentuk kezaliman, harus dilawan, tapi sekarang belum saatnya. Kita menunggu hasil dari pertemuan besok, dan saya pikir usul dari Arya dapat kita jalankan. Aku minta kalian bertiga selalu berhubungan dengan Bagaswala, dan selama itu kita melihat akibat dari kebijakan ini di daerah lainnya. Dan mudah2an tanpa menunggu waktu lama, kita segera menentukan tindakan”.
Sartani mengerutkan keningnya, begitu mendengar perkataan Damar, matanya melirik kearah Aryasulu. Yg dilirik mengangguk perlahan, dengan senyum tak pernah hilang dia berkata,” Apa guru menganggap kebijakan ini adalah suatu kezaliman. Dan ada keinginan kita nantinya akan melawan kebijakan raja ini?”
“ Kita akan melihatnya besok. Apakah besarnya pungutan itu cukup masuk akal dan wajar dibebankan pada masyarakat. Apabila kita menganggap pungutan yg ditarik sangat tinggi dan mencekik leher rakyat, maka itu adalah kesewenangan. Perguruan ini dibangun untuk kedamaian dan kesejahteraan tidak hanya para penghuninya, melainkan semua manusia. Apabila penghuni perguruan tahu ada kezaliman dan kesewenang2an dimuka bumi ini, maka wajib melawannya. Untuk apa kita hidup  diatas penderitaan orang lain. Tapi kita tidak akan bertindak ceroboh dan nekat, setiap langkah dalam memerangi kesewenang2an ini harus diperhitungkan dengan matang, karena yg kita hadapi adalah raja yg memerintah negeri Sirias”.
Suasana menjadi sunyi. Sartani dan Aryasulu menundukan kepala terbenam dalam pikiran masing2. Sedang Gagar hanya manggut2 dengan menatap Damar. Seakan memberi dukungan.
Sambil mengangguk2 pelan Damar berkata, “Sartani, kita harus mengumpulkan dewan guru untuk merundingkan hal ini. Nanti malam di aula kita adakan pertemuan. Aku pikir masih banyak pekerjaan harus kalian selesaikan, aku persilahkan kalian meninggalkan sanggar ini”.
 Terima kasih guru…salam”, tanpa berkata2 lagi serentak mereka berdiri dan meninggalkan sanggar.
Seperti tadi, saat mereka naik ke bukit, ketika turunpun mereka jalan berbaris dengan posisi yg sama. Langkah mereka ringan dan cepat.
Didalam sanggar Damar masih merenung. Keadaan negeri Sirias setahun terakhir ini selalu diselimuti ketegangan. Kehidupan rakyatnya serasa terombang ambing didalam lingkaran tarik menarik pengaruh antara raja Giril dan Drambura. Cerita lama terulang kembali. Dua tokoh pelaku utama yang masih satu garis keturunan ini berebut kekuasaan. Giril sudah berkuasa selama 20 tahun. Akhirnya enam bulan lalu tumbang oleh pamannya sendiri, yg usianya dua puluh tahun lebih tua. Sekarang Drambura seperti gelap mata. Diliputi ketakutan berlebihan akan perebutan kekuasaan oleh pihak2 yang ingin membalas dendam atau memanfaatkan keruhnya situasi negeri, membuat dirinya ingin membentengi diri. Sumber keuangan yang terbatas dan sudah menipis, memunculkan kebijakan penarikan pajak kepada rakyatnya. Suatu cara kuno yg umum diterapkan para penguasa terdahulu, namun dalam perjalanannya lebih banyak ditentang rakyatnya daripada didukung.
Tanpa sadar Damar kini sudah berdiri ditepi lereng bukit dibelakang sanggar. Pandangan jauh menerawang diseberang lembah. Matahari tepat diatas kepala.
Sebentar lagi Sekararum melakukan perjalanan, berarti aku punya banyak waktu untuk menilik dan menata perguruan ini.
Entah karena pikirannya sedang terpusat kosong seperti melamun, atau langkah kaki ini memang tak terdengar, ketika desir itu menyentak dirinya, dan sepersekian detik kemudian disusul suara anak muda menyadarkan Damar. Atau mungkin mengagetkan dia.
“ Salam guru besar, saya anak murid bernama Bawana tidak sengaja mengganggu ketenangan guru. Saya menuju keatas sini, sebetulnya ingin mencari Sekararum. Kami ada janji bertemu disini”. suaranya bergetar, tidak berani dia mengangkat muka. Sehingga rambut hitam lebat dan lurus menjuntai jatuh menutupi wajahnya. Tubuhnya tegak berdiri lurus dengan kaki saling merapat. Kedua telapak tangannya saling bertautan didepan dada. Sikapnya benar2 hormat bahkan sedikit ketakutan.
Damar menoleh kearah pemuda yg berjarak sepuluh langkah dibelakangnya, “Sudah berapa lama pemuda ini berada disitu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengar kehadirannya”, bisiknya.
Sehingga sesaat kemudian dia membalas salam.
Setelah berjalan lebih mendekat, kali ini Damar dapat memperhatikan penampilan pemuda ini. Rambutnya hitam tebal dan lurus panjang sebahu, dengan ikat kepala bermotif sulaman bunga, mengenakan pakaian biru mencolok, dilapisi jubah tipis putih berhias bunga merah. Bau harum yg ringan terhembus dari pemuda ini. 
“Ahh…kakek dan cucu ternyata sama2 pesolek”, serunya dalam hati.
Bawana merasa rikuh ketika Damar berdiri dihadapannya, seolah ingin menelanjanginya.
” Sekararum berada di Grojoganjati, dia bersama murid lain sedang mendalami ilmu barisan pedang”, Damar menyahut.
Selama hidup di perguruan baru sekarang ini Bawana berbicara dengan guru besar Damar. Ternyata baginya suara kakek ini  lembut dan halus, tidak segarang yg dia perkirakan sebelumnya. Seketika perasaan tenang menggelayutinya.
 “ Berapa usiamu? sudah sampai tingkat berapa kamu diperguruan ini?” Damar tahu bahwa Bawana mencari Sekararum karena mereka ingin menelusuri jalan tembus baru.
“ Usia murid dua puluh tahun. Kini murid bersama guru Lamping sudah  menyelesaikan tahap akhir ilmu pedang tingkat sebelas”, ketenangan perasaan membuat Bawana percaya diri, saat menjawabpun, meski dengan sikap hormat tapi nadanya penuh kebanggan, ada senyum dibibirnya. Namun tatapan matanya masih kearah bawah, dia menghindar berpandangan langsung dengan Damar.
Dengan manggut2 Damar lebih seksama memperhatikan pemuda dihadapannya ini “Aku bangga ternyata pemuda seusiamu sudah mampu berlatih tanding dengan guru Lamping, sampai akhir tingkat sebelas. Sangat jarang penghuni perguruan ini mampu melakukan sepertimu”. Benar2 tulus ucapan Damar ditelinga Bawana, sehingga pemuda ini  memberanikan diri mengangkat muka dan menatap guru besar.
Mata yg ditatapnya itu ternyata begitu teduh dan lembut, tapi diperhatikannya ada kepedihan disana. Sangat beda dengan milik Sekararum, yang bebas, cerah dan periang itu. Namun Bawana melihat ada kemiripan wajah diantara kakek cucu ini.  
Bagi Damar wajah Bawana sangat beda dengan wajah ayahnya, ternyata wajah pemuda ini seperti bayangan di cermin bagi wajah kakeknya. Benar2 sangat mirip Arya dikala muda.
“ Apa kakekmu masih sering mengajarmu ?”, tiba2 Damar bertanya.
“ Akhir2 ini kakek Arya bersama kakek Sartani sering keluar perguruan, bertemu ayah di pendopo, jadi jarang beliau melatih saya”.
“ Hmm…”. Masih menatap Bawana, kali ini suaranya tegas,” Aku ijinkan kamu menunggu Sekararum disini, atau kalau kamu ingin cepat bertemu, jumpai saja dia di Grojoganjati. Tapi kalau kalian berencana menelusuri jalan tembus yg baru ditemukan, lebih baik dihari lain saja”.
Salah tingkah Bawana mencari jawaban, hingga mukanya tertunduk memerah. Tidak disangka tujuannya kemari telah diketahui oleh Damar.
Akibatnya terbata2 dia menjawab, “Ee..ee..anak murid minta maaf. Seandainya tahu kalau Sekararum harus berlatih ilmu barisan pedang, tentu tidak akan kemari”.
“ Mengapa kamu tidak ikut berlatih ilmu barisan pedang?”
“ Saya tidak menyukai ilmu pedang dalam barisan. Para paman guru pernah berkata bahwa saya tidak berjodoh dengan ilmu itu, karena sering merusak kerjasama kelompok, akibatnya barisan pedang menjadi berantakan”.
“ Apa yg kamu rasakan ketika menjadi bagian barisan pedang?”
“ Ketika sedang melihat kedudukan lawan, ada keinginan kuat untuk segera menyerang sendiri, mengabaikan kesatuan kelompok dalam barisan pedang. Sehingga pernah saya tiba2 menjadi bertarung sendirian dengan lawan, sedang rekan yang lainnya dalam satu barisan hanya tertegun menonton”.
  Damar mengangguk pelan, “ Dalam ilmu barisan pedang, tidak hanya harus menyatukan kepandaian ilmu pedang, tapi juga sifat dan perasaan masing2 orang dalam barisan itu. Yang terutama adalah ketenangan dan kesabaran. Semakin kuat sifat itu diantara masing2 orang dalam barisan, dapat menimbulkan kerjasama ilmu pedang yang hebat sehingga barisan itu menjadi kokoh, padu dan menyatu seperti satu jiwa. Nampaknya sifat itu kurang kamu miliki. Sifat yang menurun dari ayahmu, namun bertolak belakang dengan sifat kakekmu”.
“ Saya mohon petunjuknya…”
“ Aku tidak akan mencoba merubah sifat bawaanmu ini. Dan aku tidak kecewa bila  kamu tidak tertarik dengan ilmu barisan pedang. Sudah seharusnya masing2 anak murid diperguruan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi ciri khasnya”, Damar berhenti sebentar kemudian lanjutnya, “Bila kau benar2 ingin minta petunjuk dariku, cabut pedangmu. Aku ingin tahu sampai dimana kemahiran ilmu pedangmu ditingkat sebelas”.
Mendengar itu Bawana hanya terpaku. Lama dia memandangi guru besar dihadapannya. Namun sikakek ini raut wajahnya masih seperti tadi. Sehingga menimbulkan ketenangan ketika dia mengeluarkan pedang tipis mengilap dari sarungnya.
“ Peragakan jurus ilmu pedang tingkat sebelas”, berkata Damar
Bawana memusatkan pikiran sejenak. Pedang digenggaman tangan kanan disilangkan lurus didada. Sedang tangan kirinya menyilang dibawah tangan kanan. Setelah memberi hormat pada Damar. Dia mulai bergerak selangkah dengan lambat sambil menyabetkan pedang lurus kedepan. Tiba2 gerakannya berubah cepat dengan meliukan badan dan tangannya menusuk dibarengi dengan loncatan panjang sambil kaki kanan menendang kesamping, sebelum mendarat badannya memutar 360 derajat diudara. Pedang ditangannya bagai putaran gangsing. Tubuh dan pedang Bawana menyatu seperti bayangan yg mendengung bergerak cepat meragakan jurus pedang tingkat sebelas.  Semua itu sangat sulit diikuti mata orang biasa. 
Damar tidak berkedip memperhatikan semua gerakan Bawana. Sementara raut wajahnya tidak berubah, terlihat datar. Tidak ada kekaguman ataupun kekecewaan disana.
Tidak terasa Bawana telah memainkan semua jurus dalam ilmu pedang tingkat sebelas. Bawana menyudahinya dengan memberi salam seperti pembukaan tadi. Tidak nampak kelelahan pada dirinya, nafasnya masih pelan dan tenang seperti sebelumnya, hanya nampak butiran kecil keringat menempel didahi. Setelah menyarungkan pedangnya dia berkata, “ Sekali lagi murid mohon petunjuknya bila melakukan kesalahan memperagakan jurus tadi”.
“ Tidak ada yg salah dengan peragaanmu. Dulu aku menciptakan jurus pedang tingkat sebelas ini, dilandasi oleh pengaruh nafsu amarah. Sehingga semua gerakan tatkala bertahan maupun menyerang  selalu bersifat menghukum pihak lawan. Jurus ini mengumbar kegarangan terhadap lawan dengan membasminya. Cocok dengan sifatmu yg mementingkan diri sendiri, tidak sabar dan garang. Beruntung kamu dididik oleh guru yg bertabiat sama dengan jurus ini, menjadikan jurus ini semakin ganas”.
 “ Ilmu pedang Pringjati ada duabelas tingkatan, namun tingkat sebelas inilah paling dahsyat diantara tingkatan lainnya sekalipun dibanding tingkat duabelas. Karena tingkat duabelas hanya merupakan rangkuman ilmu pedang dari tingkat satu sampai sepuluh. Menimbang sifat dasarmu, aku akan mencoba mengasah lagi kegarangan tingkat sebelas, manakala berada ditanganmu. Jurus ini aku namakan tingkat sebelas lanjutan. Baru aku ciptakan dua tahun lalu. Jurus ini sangat lentur terhadap pengguna bagaimanapun sifatnya dan membangkitan daya gempur dua kali lipat. Artinya menggunakan jurus ini kegarangan ilmu pedang tingkat sebelasmu bisa terasa dua kali lebih dahsyat oleh pihak lawan. Namun dengan syarat kamu harus menguasai hingga tuntas ilmu pernafasan tingkat sebelas lanjutan ini. Bila penguasaanmu kurang tuntas, maka penggunaan jurus ini akan menyedot tenaga dalam, hawa murni cepat merosot dan habis. Sehingga pihak lawan dapat mudah mengalahkanmu”.   
Mendengarnya Bawana sudah pasti tidak memperdulikan akibat itu. Hari ini dia merasa dapat durian runtuh, karena banyak cerita beredar dilingkungan perguruan akan betapa  jarangnya guru besar berhubungan langsung dengan para penghuninya. Bahkan sekedar bercakap atau bertatap mukapun tidak pernah. Namun bukan rahasia umum bila setiap perjumpaan tak terduga dengan guru besar ini akan membawa berkah tersendiri, seperti saat ini guru besar berkenan menambah jurus ilmu pedang padanya.
Akhirnya dua orang ini larut dalam pengajaran jurus pedang dan ilmu pernafasan.
Matahari di barat sana hampir menuju ke balik pegunungan. Sinarnyapun terpancar merah menerobos disela awan yg bergulung2. Sebentar lagi senja akan tiba.
Latihan jurus pedang dan ilmu pernafasan sudah selesai. Damar berdiri bersedekap sedang Bawana dihadapannya duduk bersimpuh terasa lunglai. Tarikan nafasnya memburu deras tidak teratur,  mukanya merah padam, sedang pakaiannya basah kuyup oleh keringat. Nampaknya tiupan keras angin di lereng bukit ini masih tidak mampu mendinginkan panas tubuhnya.
“ Jurus ini akan membalik seperti menyerang dirimu, bila kau belum menguasai ilmu pernafasannya dengan benar. Maka jangan sekali2 kau gunakan. Tuntaskan dulu ilmu pernafasannya. Aku bangga kau cepat menguasai gerakan jurus itu, tinggal menyempurnakan pernafasannya saja. Jurus ini belum pernah aku ajarkan kepada siapapun, tidak juga kepada Sekararum”.
“ Terima kasih kakek guru…”, ucap Bawana hampir mencium tanah.
“ Sekarang pergilah ke Grojoganjati, Sekararum dan lainnya masih lama berlatih disana”, ujar Damar. Tanpa menghiraukan Bawana dia melangkah menuju sanggarnya lagi. Bawana masih diam duduk bersimpuh sambil mengatur pernafasannya, dia memberi salam dan berulang2  ucapkan terimakasih pada sosok Damar, yg hanya kelihatan bayangannya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar