Bab
4
Damar
melanjutkan memakan sisa2 pisang bakar, ketika pendengarannya menangkap
langkah2 kaki meski ringan menapaki tangga berbatu dibawah sana menuju ke
pekarangan. Seperti acuh dia meneguk habis isi gelasnya dan berdiri keluar dari
teras, untuk menyambut kedatangan tamu.
Dilihatnya kini
tiga sosok muncul dari bawah bukit, melangkah beriringan dijalan setapak.
Paling depan seorang laki2 usianya lebih tua dari Damar, tubuhnya tinggi kurus.
Nama laki2 tua ini Sartani. Murid pertama Damar.
Dibelakangnya
berjalan mengikuti, seorang pria tua seusia Damar, meski hanya setinggi separuh
pria pertama tadi, tapi bentuk badannya sangat menarik perhatian, karena gendut
bulat seperti bola, lebar tubuhnya memenuhi lebar jalan setapak ini. Sedang
kepalanya plontos. Si tua gemuk ini mengenakan jubah tebal warna putih yg
dibiarkan terbuka, memperlihatkan perut buncit besar mirip gentong dengan pusar
menonjol. Ditangan kanannya menggenggam
tongkat kayu bulat yang besar mengilap dan meliuk2 bagai ular, panjangnya dua
kali tinggi badannya. Hebatnya sigendut plontos ini sangat cepat dan ringan
langkahnya, seolah dia mengelinding dan memantul mirip bola. Dialah murid nomor
tiga , Gagar namanya.
Laki2 paling
belakang ini, setinggi Damar, sangat tenang penampilannya. Usianya setara
lainnya. Wajahnya masih menyisakan ketampanan di masa mudanya, rambut putihnya
lurus berminyak panjang sebahu, dibiarkan terurai tanpa ikatan. Murid kedua, Aryasulu. Selintas melihat penampilannya,
orang pasti akan bergumam dalam hati betapa pesoleknya kakek ini.
Tidak lama
kemudian mereka sudah berdiri berjajar dihadapan Damar.
“ Salam,
…semoga keselamatan dan kesejahteraan senantiasa selalu menyertai guru,”
serempak mereka mengucapkannya, sambil menundukan kepala. Hal yg sama dilakukan
Damar saat membalas salam mereka.
“ Maaf, …kedatangan
kami mungkin mengganggu guru. Setelah lima hari ini bepergian. Sekararum pasti
ingin mengobrol lama2 dengan guru ”, Sartani membuka pembicaraan. Suaranya
datar dan berat.
Dengan
mengibaskan sebelah tangan, seolah isyarat agar mereka jangan sungkan2, Damar
berkata, “ Kondisi kecamatan Pringjati yg terdiri lima desa telah mengalami kemajuan pesat,
bukan hanya pertanian dan peternakan yg ramai, tapi telah banyak pedagang menyebar
merata hampir disetiap sudut, apalagi mulai banyak pande besi, tukang pintal
dan tenun dan tempat penyamakan kulit. Bahkan sepenglihatanku tanah yg
dijadikan tempat tinggal dan persawahan jadi semakin luas. Banyak pendatang
membuka lahan baru. Sehingga diseluruh pelosok desa2 ini jalanan semakin
bercabang. Apalagi jalan menuju wilayah Draw diperlebar, sehingga sangat ramai
orang melewatinya. Aku perhatikan banyak orang dan pedagang dari kecamatan lain
juga melalui jalan tersebut. Padahal
satu tahun lalu, mereka lebih baik
memilih jalan sedikit memutar melalui kecamatan Tangguljati “
Kali ini tatapan Damar tertuju pada kakek
pesolek,“ Aku bangga dengan cara kerja putramu, mengelola wilayah ini, Arya…,”
Yang disentil
dengan muka masih tersenyum dan mengangguk hormat menjawab,” Terima kasih,
semua berkat didikan dan arahan tiada bosan2nya dari guru kepada kami, sehingga
saya dapat memberi saran2 untuk pembangunan sebuah pemukiman yg makmur kepada Bagaswala”,
suaranya lembut, melibihi halusnya suara Damar.
Gagar mendadak menimpali,
suaranya mirip anak anak, “Benar, tapi dengarkan dulu, Ada ribuan pasukan ditempatkan
disekitar kecamatan ini. Dan mulai sekarang setiap penduduk akan dikenakan
keharusan membayar pajak kepada kadipaten. Akan ada beberapa petugas dipimpin
bendahara yg menghitung berapa besarnya pajak yg akan dikenakan pada masing2
penduduk. Nampaknya pajak diwajibkan pada semua lapisan, kaya atau miskin. Bagi
yg tidak mampu membayarnya, akan disita harta bendanya, dan diusir dari wilayah
ini. Apa kita hanya berdiam”.
Damar tercenung
mendengar perkataan Gagar, memang akhir2 ini berita2 rencana pungutan pada
penduduk semakin gencar. Tapi haruskah ada kekerasan. Diliriknya Aryasulu yg terdiam hanya menyungging senyum. Sedang Sartani seperti
biasanya, raut mukanya datar, sulit ditebak isi hatinya.
Kini mereka
berjalan menuju ke samping rumah, melalui jalan setapak dari batu, kearah
belakang menuju kebangunan kecil , sebuah sanggar.
Suasana
mendadak sepi. Didalam sanggar, mereka duduk bersila membentuk lingkaran.
Anehnya posisi ini bukan siksaan bagi Gagar yg gendut dan tambun itu. Dalam sanggar
ternyata kosong melompong, hanya tergelar tikar dari anyaman bamboo menutupi
separuh luas lantai.
Gagar melanjutkan,
“Raja Drambura yg baru memerintah enam bulan ini, telah menekan seluruh adipati
diwilayah negeri, bahwa tanah, air dan hasil bumi yg keluar dari dalamnya
adalah milik kerajaan. Raja bagai penguasa tunggal “.
Tiba2 sekujur
tubuh Damar menegang, tapi tetap dengan suara halus,“ Apa yang terjadi bila Bagaswala,
menolaknya...?” entah kepada siapa diantara mereka bertiga, dia bertanya.
Aryasulu masih
tersenyum menjawab,” Mungkin seribu pasukan akan meratakan desa ini. Raja telah bertindak cepat, dia telah
mendirikan barak2 pasukan diseluruh wilayah negeri ini, bahkan daerah
terpencilpun tidak luput dari jangkauan”.
Damar
mengangguk pelan, “Benar2 cerdik dia”.
Selama
pembicaraan ini Sartani hanya diam mendengarkan, wajahnya tertunduk dengan mata
terpejam.
“ Sartani, apa kebijakan itu berlaku juga pada
perguruan ini “, pertanyaan Damar kini tertuju pada pria jangkung ini.
Dengan perlahan
dia mengangkat wajah, matanya tertuju pada Damar,” Sebenarnya kedatangan kami
berkaitan dengan masalah ini. Besok pagi Bagaswala akan membawa petugas dari kadipaten
berkunjung kemari. Kedatangan mereka hendak memaparkan kebijakan itu”.
Tiba2 Gagar
menyahut suaranya keras melengking,“ Selama ini, kita tidak pernah membayar
sesen pun pada kadipaten atau kerajaan. Perguruan ini dapat besar seperti
sekarang ini, juga hasil perjuangan kita sendiri. Pihak kadipaten atau kerajaan
tidak pernah memberi bantuan bahkan bermanfaat pada kehidupan kita. Untuk apa
harus tunduk pada peraturan mereka. Kita harus melawannya. Lima ribu penghuni perguruan
siap untuk berjuang menentang kezaliman ini…!”, mukanya merah, dan nafasnya
menggebu setelah dia mengakhiri kalimatnya.
Semua orang
terkesiap, mereka menatap tajam pada sigendut, Aryasulu sekejap sempat
kehilangan senyumnya, lalu suaranya tenang ketika berkata,” Semua harus
dipertimbangkan dulu dengan matang, perkataan Gagar agar kita melawan
kezaliman, saya setuju, tapi kita harus bisa mengukur kekuatan sendiri. Aku
sudah berhitung mengenai ini. Dari lima ribu penghuni perguruan, mungkin hanya
tiga ribu dapat ikut berjuang, karena sisanya adalah anak2 dan para perempuan
lemah, mereka harus dilindungi. Ingat diluar wilayah kita masih terdapat
puluhan barak pasukan, mereka secepatnya dapat memberi bantuan kepada seribu
pasukan yg sudah ditempatkan disini. Menurutku sebaiknya menunggu hasil dari
pertemuan besok. Akan tetapi sekiranya kita diharuskan mentaati kebijakan itu, maka
jalan kekerasan seperti diusulkan Gagar bukan pilihan tepat, aku sarankan kita
meminta kelonggaran waktu dan besarnya pungutan”.
Gagar tampaknya
belum bisa menerima usul Aryasulu,“ Perguruan ini dan penghuni setiap pedesaan
yg dipimpin Bagaswala harus bersatu berjuang bersama menentang peraturan itu!”
suaranya melengking seperti tadi, bahkan dengan mengepal tinju dia mengangkat
tangan kanannya. Dengan menggeleng2kan kepala Aryasulu menanggapinya sambil
tersenyum.
Damar akhirnya
berkata,” Sepertinya Bagaswala sudah mengambil keputusan untuk menuruti titah
adipati. Gagar benar bahwa bila peraturannya sangat mencekik rakyat, ini adalah
bentuk kezaliman, harus dilawan, tapi sekarang belum saatnya. Kita menunggu
hasil dari pertemuan besok, dan saya pikir usul dari Arya dapat kita jalankan.
Aku minta kalian bertiga selalu berhubungan dengan Bagaswala, dan selama itu
kita melihat akibat dari kebijakan ini di daerah lainnya. Dan mudah2an tanpa
menunggu waktu lama, kita segera menentukan tindakan”.
Sartani
mengerutkan keningnya, begitu mendengar perkataan Damar, matanya melirik kearah
Aryasulu. Yg dilirik mengangguk perlahan, dengan senyum tak pernah hilang dia
berkata,” Apa guru menganggap kebijakan ini adalah suatu kezaliman. Dan ada
keinginan kita nantinya akan melawan kebijakan raja ini?”
“ Kita akan
melihatnya besok. Apakah besarnya pungutan itu cukup masuk akal dan wajar
dibebankan pada masyarakat. Apabila kita menganggap pungutan yg ditarik sangat
tinggi dan mencekik leher rakyat, maka itu adalah kesewenangan. Perguruan ini
dibangun untuk kedamaian dan kesejahteraan tidak hanya para penghuninya,
melainkan semua manusia. Apabila penghuni perguruan tahu ada kezaliman dan kesewenang2an
dimuka bumi ini, maka wajib melawannya. Untuk apa kita hidup diatas penderitaan orang lain. Tapi kita
tidak akan bertindak ceroboh dan nekat, setiap langkah dalam memerangi
kesewenang2an ini harus diperhitungkan dengan matang, karena yg kita hadapi
adalah raja yg memerintah negeri Sirias”.
Suasana menjadi
sunyi. Sartani dan Aryasulu menundukan kepala terbenam dalam pikiran masing2.
Sedang Gagar hanya manggut2 dengan menatap Damar. Seakan memberi dukungan.
Sambil
mengangguk2 pelan Damar berkata, “Sartani, kita harus mengumpulkan dewan guru
untuk merundingkan hal ini. Nanti malam di aula kita adakan pertemuan. Aku
pikir masih banyak pekerjaan harus kalian selesaikan, aku persilahkan kalian
meninggalkan sanggar ini”.
Terima kasih guru…salam”, tanpa berkata2 lagi
serentak mereka berdiri dan meninggalkan sanggar.
Seperti tadi,
saat mereka naik ke bukit, ketika turunpun mereka jalan berbaris dengan posisi
yg sama. Langkah mereka ringan dan cepat.
Didalam sanggar
Damar masih merenung. Keadaan negeri Sirias setahun terakhir ini selalu
diselimuti ketegangan. Kehidupan rakyatnya serasa terombang ambing didalam
lingkaran tarik menarik pengaruh antara raja Giril dan Drambura. Cerita lama terulang
kembali. Dua tokoh pelaku utama yang masih satu garis keturunan ini berebut
kekuasaan. Giril sudah berkuasa selama 20 tahun. Akhirnya enam bulan lalu
tumbang oleh pamannya sendiri, yg usianya dua puluh tahun lebih tua. Sekarang
Drambura seperti gelap mata. Diliputi ketakutan berlebihan akan perebutan
kekuasaan oleh pihak2 yang ingin membalas dendam atau memanfaatkan keruhnya
situasi negeri, membuat dirinya ingin membentengi diri. Sumber keuangan yang
terbatas dan sudah menipis, memunculkan kebijakan penarikan pajak kepada
rakyatnya. Suatu cara kuno yg umum diterapkan para penguasa terdahulu, namun
dalam perjalanannya lebih banyak ditentang rakyatnya daripada didukung.
Tanpa sadar
Damar kini sudah berdiri ditepi lereng bukit dibelakang sanggar. Pandangan jauh
menerawang diseberang lembah. Matahari tepat diatas kepala.
Sebentar lagi Sekararum
melakukan perjalanan, berarti aku punya banyak waktu untuk menilik dan menata perguruan
ini.
Entah karena
pikirannya sedang terpusat kosong seperti melamun, atau langkah kaki ini memang
tak terdengar, ketika desir itu menyentak dirinya, dan sepersekian detik
kemudian disusul suara anak muda menyadarkan Damar. Atau mungkin mengagetkan
dia.
“ Salam guru
besar, saya anak murid bernama Bawana tidak sengaja mengganggu ketenangan guru.
Saya menuju keatas sini, sebetulnya ingin mencari Sekararum. Kami ada janji
bertemu disini”. suaranya bergetar, tidak berani dia mengangkat muka. Sehingga
rambut hitam lebat dan lurus menjuntai jatuh menutupi wajahnya. Tubuhnya tegak
berdiri lurus dengan kaki saling merapat. Kedua telapak tangannya saling
bertautan didepan dada. Sikapnya benar2 hormat bahkan sedikit ketakutan.
Damar menoleh kearah
pemuda yg berjarak sepuluh langkah dibelakangnya, “Sudah berapa lama pemuda ini
berada disitu. Bagaimana mungkin aku tidak mendengar kehadirannya”, bisiknya.
Sehingga sesaat
kemudian dia membalas salam.
Setelah
berjalan lebih mendekat, kali ini Damar dapat memperhatikan penampilan pemuda
ini. Rambutnya hitam tebal dan lurus panjang sebahu, dengan ikat kepala
bermotif sulaman bunga, mengenakan pakaian biru mencolok, dilapisi jubah tipis
putih berhias bunga merah. Bau harum yg ringan terhembus dari pemuda ini.
“Ahh…kakek dan
cucu ternyata sama2 pesolek”, serunya dalam hati.
Bawana merasa
rikuh ketika Damar berdiri dihadapannya, seolah ingin menelanjanginya.
” Sekararum
berada di Grojoganjati, dia bersama murid lain sedang mendalami ilmu barisan
pedang”, Damar menyahut.
Selama hidup di
perguruan baru sekarang ini Bawana berbicara dengan guru besar Damar. Ternyata
baginya suara kakek ini lembut dan
halus, tidak segarang yg dia perkirakan sebelumnya. Seketika perasaan tenang
menggelayutinya.
“ Berapa usiamu? sudah sampai tingkat berapa
kamu diperguruan ini?” Damar tahu bahwa Bawana mencari Sekararum karena mereka ingin
menelusuri jalan tembus baru.
“ Usia murid dua
puluh tahun. Kini murid bersama guru Lamping sudah menyelesaikan tahap akhir ilmu pedang tingkat
sebelas”, ketenangan perasaan membuat Bawana percaya diri, saat menjawabpun,
meski dengan sikap hormat tapi nadanya penuh kebanggan, ada senyum dibibirnya.
Namun tatapan matanya masih kearah bawah, dia menghindar berpandangan langsung
dengan Damar.
Dengan manggut2
Damar lebih seksama memperhatikan pemuda dihadapannya ini “Aku bangga ternyata
pemuda seusiamu sudah mampu berlatih tanding dengan guru Lamping, sampai akhir
tingkat sebelas. Sangat jarang penghuni perguruan ini mampu melakukan
sepertimu”. Benar2 tulus ucapan Damar ditelinga Bawana, sehingga pemuda ini memberanikan diri mengangkat muka dan menatap
guru besar.
Mata yg
ditatapnya itu ternyata begitu teduh dan lembut, tapi diperhatikannya ada
kepedihan disana. Sangat beda dengan milik Sekararum, yang bebas, cerah dan
periang itu. Namun Bawana melihat ada kemiripan wajah diantara kakek cucu ini.
Bagi Damar
wajah Bawana sangat beda dengan wajah ayahnya, ternyata wajah pemuda ini
seperti bayangan di cermin bagi wajah kakeknya. Benar2 sangat mirip Arya dikala
muda.
“ Apa kakekmu
masih sering mengajarmu ?”, tiba2 Damar bertanya.
“ Akhir2 ini
kakek Arya bersama kakek Sartani sering keluar perguruan, bertemu ayah di
pendopo, jadi jarang beliau melatih saya”.
“ Hmm…”. Masih
menatap Bawana, kali ini suaranya tegas,” Aku ijinkan kamu menunggu Sekararum
disini, atau kalau kamu ingin cepat bertemu, jumpai saja dia di Grojoganjati. Tapi
kalau kalian berencana menelusuri jalan tembus yg baru ditemukan, lebih baik dihari
lain saja”.
Salah tingkah Bawana
mencari jawaban, hingga mukanya tertunduk memerah. Tidak disangka tujuannya
kemari telah diketahui oleh Damar.
Akibatnya
terbata2 dia menjawab, “Ee..ee..anak murid minta maaf. Seandainya tahu kalau Sekararum
harus berlatih ilmu barisan pedang, tentu tidak akan kemari”.
“ Mengapa kamu
tidak ikut berlatih ilmu barisan pedang?”
“ Saya tidak menyukai
ilmu pedang dalam barisan. Para paman guru pernah berkata bahwa saya tidak berjodoh
dengan ilmu itu, karena sering merusak kerjasama kelompok, akibatnya barisan
pedang menjadi berantakan”.
“ Apa yg kamu
rasakan ketika menjadi bagian barisan pedang?”
“ Ketika sedang
melihat kedudukan lawan, ada keinginan kuat untuk segera menyerang sendiri, mengabaikan
kesatuan kelompok dalam barisan pedang. Sehingga pernah saya tiba2 menjadi
bertarung sendirian dengan lawan, sedang rekan yang lainnya dalam satu barisan
hanya tertegun menonton”.
Damar
mengangguk pelan, “ Dalam ilmu barisan pedang, tidak hanya harus menyatukan
kepandaian ilmu pedang, tapi juga sifat dan perasaan masing2 orang dalam
barisan itu. Yang terutama adalah ketenangan dan kesabaran. Semakin kuat sifat
itu diantara masing2 orang dalam barisan, dapat menimbulkan kerjasama ilmu pedang
yang hebat sehingga barisan itu menjadi kokoh, padu dan menyatu seperti satu
jiwa. Nampaknya sifat itu kurang kamu miliki. Sifat yang menurun dari ayahmu,
namun bertolak belakang dengan sifat kakekmu”.
“ Saya mohon
petunjuknya…”
“ Aku tidak
akan mencoba merubah sifat bawaanmu ini. Dan aku tidak kecewa bila kamu tidak tertarik dengan ilmu barisan
pedang. Sudah seharusnya masing2 anak murid diperguruan ini memiliki kekhususan
tersendiri yang menjadi ciri khasnya”, Damar berhenti sebentar kemudian lanjutnya,
“Bila kau benar2 ingin minta petunjuk dariku, cabut pedangmu. Aku ingin tahu
sampai dimana kemahiran ilmu pedangmu ditingkat sebelas”.
Mendengar itu Bawana
hanya terpaku. Lama dia memandangi guru besar dihadapannya. Namun sikakek ini
raut wajahnya masih seperti tadi. Sehingga menimbulkan ketenangan ketika dia
mengeluarkan pedang tipis mengilap dari sarungnya.
“ Peragakan
jurus ilmu pedang tingkat sebelas”, berkata Damar
Bawana memusatkan
pikiran sejenak. Pedang digenggaman tangan kanan disilangkan lurus didada.
Sedang tangan kirinya menyilang dibawah tangan kanan. Setelah memberi hormat
pada Damar. Dia mulai bergerak selangkah dengan lambat sambil menyabetkan
pedang lurus kedepan. Tiba2 gerakannya berubah cepat dengan meliukan badan dan
tangannya menusuk dibarengi dengan loncatan panjang sambil kaki kanan menendang
kesamping, sebelum mendarat badannya memutar 360 derajat diudara. Pedang
ditangannya bagai putaran gangsing. Tubuh dan pedang Bawana menyatu seperti
bayangan yg mendengung bergerak cepat meragakan jurus pedang tingkat
sebelas. Semua itu sangat sulit diikuti
mata orang biasa.
Damar tidak
berkedip memperhatikan semua gerakan Bawana. Sementara raut wajahnya tidak
berubah, terlihat datar. Tidak ada kekaguman ataupun kekecewaan disana.
Tidak terasa
Bawana telah memainkan semua jurus dalam ilmu pedang tingkat sebelas. Bawana
menyudahinya dengan memberi salam seperti pembukaan tadi. Tidak nampak
kelelahan pada dirinya, nafasnya masih pelan dan tenang seperti sebelumnya,
hanya nampak butiran kecil keringat menempel didahi. Setelah menyarungkan
pedangnya dia berkata, “ Sekali lagi murid mohon petunjuknya bila melakukan
kesalahan memperagakan jurus tadi”.
“ Tidak ada yg
salah dengan peragaanmu. Dulu aku menciptakan jurus pedang tingkat sebelas ini,
dilandasi oleh pengaruh nafsu amarah. Sehingga semua gerakan tatkala bertahan maupun
menyerang selalu bersifat menghukum pihak
lawan. Jurus ini mengumbar kegarangan terhadap lawan dengan membasminya. Cocok
dengan sifatmu yg mementingkan diri sendiri, tidak sabar dan garang. Beruntung
kamu dididik oleh guru yg bertabiat sama dengan jurus ini, menjadikan jurus ini
semakin ganas”.
“ Ilmu pedang Pringjati ada duabelas
tingkatan, namun tingkat sebelas inilah paling dahsyat diantara tingkatan
lainnya sekalipun dibanding tingkat duabelas. Karena tingkat duabelas hanya
merupakan rangkuman ilmu pedang dari tingkat satu sampai sepuluh. Menimbang
sifat dasarmu, aku akan mencoba mengasah lagi kegarangan tingkat sebelas,
manakala berada ditanganmu. Jurus ini aku namakan tingkat sebelas lanjutan.
Baru aku ciptakan dua tahun lalu. Jurus ini sangat lentur terhadap pengguna
bagaimanapun sifatnya dan membangkitan daya gempur dua kali lipat. Artinya
menggunakan jurus ini kegarangan ilmu pedang tingkat sebelasmu bisa terasa dua
kali lebih dahsyat oleh pihak lawan. Namun dengan syarat kamu harus menguasai
hingga tuntas ilmu pernafasan tingkat sebelas lanjutan ini. Bila penguasaanmu
kurang tuntas, maka penggunaan jurus ini akan menyedot tenaga dalam, hawa murni
cepat merosot dan habis. Sehingga pihak lawan dapat mudah mengalahkanmu”.
Mendengarnya Bawana
sudah pasti tidak memperdulikan akibat itu. Hari ini dia merasa dapat durian
runtuh, karena banyak cerita beredar dilingkungan perguruan akan betapa jarangnya guru besar berhubungan langsung
dengan para penghuninya. Bahkan sekedar bercakap atau bertatap mukapun tidak
pernah. Namun bukan rahasia umum bila setiap perjumpaan tak terduga dengan guru
besar ini akan membawa berkah tersendiri, seperti saat ini guru besar berkenan
menambah jurus ilmu pedang padanya.
Akhirnya dua
orang ini larut dalam pengajaran jurus pedang dan ilmu pernafasan.
Matahari di
barat sana hampir menuju ke balik pegunungan. Sinarnyapun terpancar merah menerobos
disela awan yg bergulung2. Sebentar lagi senja akan tiba.
Latihan jurus
pedang dan ilmu pernafasan sudah selesai. Damar berdiri bersedekap sedang Bawana
dihadapannya duduk bersimpuh terasa lunglai. Tarikan nafasnya memburu deras
tidak teratur, mukanya merah padam,
sedang pakaiannya basah kuyup oleh keringat. Nampaknya tiupan keras angin di
lereng bukit ini masih tidak mampu mendinginkan panas tubuhnya.
“ Jurus ini
akan membalik seperti menyerang dirimu, bila kau belum menguasai ilmu
pernafasannya dengan benar. Maka jangan sekali2 kau gunakan. Tuntaskan dulu
ilmu pernafasannya. Aku bangga kau cepat menguasai gerakan jurus itu, tinggal
menyempurnakan pernafasannya saja. Jurus ini belum pernah aku ajarkan kepada
siapapun, tidak juga kepada Sekararum”.
“ Terima kasih
kakek guru…”, ucap Bawana hampir mencium tanah.
“ Sekarang
pergilah ke Grojoganjati, Sekararum dan lainnya masih lama berlatih disana”,
ujar Damar. Tanpa menghiraukan Bawana dia melangkah menuju sanggarnya lagi. Bawana
masih diam duduk bersimpuh sambil mengatur pernafasannya, dia memberi salam dan
berulang2 ucapkan terimakasih pada sosok
Damar, yg hanya kelihatan bayangannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar