Sabtu, 04 Februari 2012

Cersil Ku Blm entri 4

Sekarang dia tahu bahwa Waliki seorang ahli menata taman, tidak hanya sekedar situkang kebun. Waliki, siapa yang menyangka orang ini memiliki ilmu langka, yg sudah dianggap punah dan menggetarkan, dia benar2 pandai menyembunyikan jati dirinya dibalik keahlian berkebunnya. Melihat pesona alam disekitarnya membuat hati Damar gegetun. Jelas bahwa selama ini ternyata dia telah buta, dengan semua kehidupan manusia yg mengalir dan berganti dengan irama suka dan duka mereka di perguruannya.

Sadar bahwa selama ini dewan guru seolah2 telah mengambil alih keberadaan dia di perguruan. Hal itu sudah berjalan bertahun2. Dia merasa bertindak bodoh. Semua ini akibat kehilangan anak gadisnya, ibu dari cucunya, Sekararum. Peristiwa itu benar2 menggoncangkan jiwanya.

Tempat tinggal Damar berada paling ujung di bagian barat ini, diatas hamparan tanah datar disuatu tebing yg cukup tinggi. Ada anak tangga dari batu untuk menuju kesana. Anak tangga itu berliku2, tidak akan terlihat dari jalan setapak yg baru saja dia lewati tadi. Di bawah sebelah kirinya mengalir sungai yg deras. Sedang disebelah lainnya adalah hutan yg sangat lebat.

Rumah itu bentuknya mirip rumah para guru dibawah tadi, tapi lebih besar, bahkan diatas lereng dibelakangnya juga terdapat bangunan mirip aula berukuran kecil. Damar nenyebutnya sanggar. Beda dengan tempat lainnya, taman dan kebun disini dia sendiri yg mengatur. Ternyata hasil karyanya tidak kalah dengan keahlian Waliki.

Begitu Damar tiba di pekarangan rumah, dilihatnya Sekararum sudah menyambut dengan senyuman. Usia gadis ini menginjak enam belasan. Berwajah cantik, dengan ciri wajah Damar terpeta jelas, hanya bentuk mata gadis ini lebih lebar.

Belum sampai kaki Damar menginjak halaman rumah, Sekararum sudah bergelayut manja, sambil menggandeng tangan Damar.

“Aku senang kakek cepat pulang, pasti rindu dengan minuman hangat jeruk nipis wedang jahe gula aren dicampur daun pandan wangi dan satu piring pisang bakar dilumuri cairan madu, aku masak sendiri, masih hangat, silahkan kakek menikmatinya”, sambil berkata Sekararum menuntun Damar menuju teras didepan rumah. Disana memang tersedia panganan seperti disebutkan tadi.

” Jenuh menunggu kakek, aku makan lebih dulu”, lanjutnya

“Terima kasih…Sekararum” kata Damar dengan membelai rambut sigadis, dan tak lupa mencium keningnya. Selama ini Damar beralasan kepada siapapun, bahwa kepergiannya ini untuk melihat suasana pedesaan, bagaimana kondisi sekarang. Alasan masuk akal bagi setiap orang, mengingat Damarlah yg mengawali membangun tempat ini hingga maju seperti sekarang.

Mereka duduk bersebelahan dibawah lantai teras berlapiskan permadani bulu domba bermotif warna-warni. Pertama kali diteguknya wedang bikinan cucu, menyusul kemudian pisang bakarnya. Sambil menikmati sarapan pagi, Damar mendengarkan Sekararum :

”Kemarin aku berlatih ilmu pedang tingkat sebelas dengan para kakak. Kromik dan Semit bisa aku kalahkan, setelah bertarung masing2 hampir tiga puluh jurus. Berarti semua kakak diperguruan ini, tidak ada yg menang melawan aku” berhenti sebentar, ada kebanggaan disuaranya, lalu dia melanjutkan :

“Tapi menurutku, mereka sengaja mengalah untuk menyenangkan aku”.

Damar melirik cucunya itu terlihat sedang cemberut dibuat2.

“Awas…lain kali aku bikin mereka menyesal telah mengalah padaku..”, Sekararum menepuk pahanya sendiri, kesal.

Damar tersenyum, sambil menikmati hidangannya, dengan mulut masih terisi dia berkata “ Mereka bukan sengaja mengalah, tapi ilmu pedangmu memang diatas rata2 murid tingkat sebelas, bahkan aku yakin kamu masih bisa mengimbangi para pamanmu ditingkat dua belas atau di dewan guru, karena aku secara langsung melatihmu ilmu pedang itu. Kamu tinggal memperdalam tenaga dalammu dan mengasah ilmu itu, maka para paman pun, akan sulit menang melawanmu, aku yakin itu!”

Sekararum yg mendengarnya hanya tersenyum, muka pucatnya memerah jengah. Apalagi didengarnya kemudian Damar tertawa menggoda.

Dia buru2 mengalihkan pembicaraan ke topik lain. “Hari ini guru Wiryo dan guru Rampal, akan menyempurnakan ilmu barisan pedang kami. Mungkin aku dan delapan kakak lain ditingkat sebelas akan memulai pengemblengan saat matahari naik, tapi kami tidak melakukannya di aula, melainkan ke puncak bukit sana, dan berlatih dibawah air terjun Grojoganjati. Padahal aku dan Bawana punya rencana lain…” sengaja diputusnya perkataan itu, seakan ingin membuat penasaran Damar.

Karena dilihat kakek disebelahnya ini hanya terdiam mendengarkan, dan asyik menikmati panganan, Sekararumpun melanjutkan, dengan suara dibesarkan “ Dua hari lalu, kami menemukan jalan tembus mungkin menuju perbatasan desa sebelah utara, jalan ini lebih cepat dan tidak sulit kondisi jalannya”

“Hari ini kami akan mencoba menelusuri jalan itu sampai dimana ujungnya berakhir, tapi perkiraan kami tidak jauh dari perbatasan desa”

Damar menghentikan makannya, pura2 membesarkan bola matanya”Ahh…dan kamu memohon padaku, agar kakekmu ini, mengijinkanmu kesana lalu memberi alasan kepada para guru, bahwa kamu tidak bisa ikut berlatih karena…itukan maksudmu?”

“Sekararum, memang sangat banyak jalan2 tikus dipegunungan ini yg masih belum terjamah. Tapi kamu harus tetap menghargai para paman, mereka menggembleng ilmu pedangmu, bukan hanya untuk kebanggaan kamu, tapi juga untuk kebesaran perguruan kita. Aku tidak ijinkan hari ini kamu ke jalan tembus itu, hari ini kegiatanmu adalah berlatih ilmu barisan pedang. Titik”

Dilihatnya, Sekararum tertunduk dengan muka cemberut, tapi sekejap kemudian dia menengadah, wajah itupun kembali ceria seperti semula, “ Ahh…lain hari aku masih bisa menelusurinya, kakek…”

Dibelai rambut cucunya, denga tersenyum Damar berkata, “Aku bertemu Waliki di bukit seberang desa, mungkin besok mau memanen padi miliknya, diperkirakan hasilnya lebih bagus dari musim panen lalu”, diambilnya lagi panganan itu, dijejalkan ke mulutnya, nikmat terasa.

“Kalau mau membantunya, Waliki akan beri kamu lima karung beras, sebagai upahnya. Disamping itu gerakan2 tubuh saat memanen padi sangat berguna untuk latihan ilmumu”

Angin meniup membawa udara pegunungan segar kearah mereka.

“Aku sudah pernah melakukannya, kakek…musim lalu aku ikut membantu para petani memanen sawah kita, di persawahan bawah sana,…bahkan aku dapat beberapa petak lebih banyak daripada mereka“, dengan mulut cemberut dibuat2, tapi tidak kehilangan muka cerianya, Sekararum menggelayut ke lengan kakeknya, manja.

“Ahh…tapi sawah kita, musim ini diserang hama tikus. Mungkin sedikit pula hasilnya. Cukup untuk kita makan, lalu untuk dijual, bagaimana? Kalau kamu terima tawaran Waliki, berarti kita masih punya persediaan beras dari upah itu, sampai musim tanam berikutnya” dielus2 rambut cucunya, sambil mengunyah sisa makanan dimulutnya.

“Aku tidak memaksa…Sekararum, dan ada hal penting harus aku bicarakan denganmu” kali ini nada suara Damar serius, tidak bercanda seperti tadi.

Jeda suasana menjadi hening, Sekararum kali ini menengok wajah kakek didekatnya ini, memperhatikannya, mencoba menebak hal penting apa yg ingin disampaikan. Sedang Damar berlama2 meneguk wedangnya membasahi kerongkongan, puas sehabis menikmati pisang bakar. Kemudian setelah meletakan gelas, tangannya merogoh dibalik bajunya, mengambil sesuatu.

Kalung berkepala batu, yg tadi diperlihatkan ke Waliki, kini diangsurkan ke Sekararum.

”Simpanlah kalung ini…”

Sejenak Sekararum terkejut, bergantian antara memandang kakeknya dan kalung itu. Merasa heran dan bimbang, namun diambilnya juga, dari telapak Damar.

Damar melihat ada ketakjuban bercampur kebingungan diwajah cucunya, manakala mengamati kalung itu. Selang berapa lama, waktu hanya terisi suara2 decak kagum Sekararum tiada henti.

Dipegang rantainya sambil diayun2 di muka Damar, wajahnya tersenyum senang.

“Milik siapa ini ? benarkah kalung ini untukku…?”

“Ya…itu untukmu. Milik seseorang yg ada hubungannya dengan kepergian orang tuamu” Damar kemudian menuturkan cerita tentang kalung itu, mengulang kisah yg pernah dia ceritakan kepada Waliki.

Sinar matahari kini menerobos sela2 rapat dedaunan pohon dipekarangan, memantul mengenai hamparan tanah dibawahnya, sebagian lantai teras kini diterangi cahaya, terkadang anginpun membawa aroma bunga2 di kebun, wanginya sampai tercium mereka.

Diam2 mata Sekararum terlihat berkaca2. Mukanya tertunduk dalam, sehingga helaian rambut lebat itu jatuh menutupi sebagian wajahnya, tangannya megenggam erat batu kalung itu, hingga menimbulkan bekas guratan dalam ditelapaknya.

“Aku dapat merasakan, kalung ini pasti milik ibu…, akhirnya aku memiliki sebagian kenangan yg masih tersisa dari seorang ibu. Aku harus berjuang menemukan mereka,”. suara Sekararum terbata2, kemudian suasana hening dan sunyi.

Damar hanya diam membisu, mukanya memerah, pandangannya kosong kedepan, menerawang entah kemana, tidak tega dia menengok keadaan cucu disebelahnya, hatinya trenyuh, lidahpun kelu, bahkan jantung seakan lambat berdegup, aliran darahnya tersendat, dan paru2nya sulit mengembang, sehingga tarikan nafasnya berat.

Helaan nafas panjang dan berat dari Damar membuyarkan kesunyian diantara mereka.

“Tiba saatnya mencari orang tuamu. Kegagalanku menemukan mereka, jangan melemahkan semangatmu. Akhirnya aku merasa, seseorang tidak bisa menentukan kehendaknya sendiri, jalan kehidupan seakan bukan diri kita yg mengaturnya, pasti ada tangan2 tak nampak menjalankan nasib seseorang, maka jangan remehkan kemujuran nasibmu. Karena itu diusiamu yg masih muda ini, aku rela melepasmu pergi menuju keramaian di dunia sana, tempat yang belum pernah sekalipun engkau bayangkan. Bekal dan kemampuan ilmu yg kau miliki, ditingkat saat ini, aku pastikan masih dapat menjaga dan melindungi keselamatanmu”.

Sekararum menatap kakeknya, masih menduga seakan tidak percaya, suaranya pun tercekat saat berucap, “ Kakek tidak menemaniku…tega melepaskan aku pergi sendiri”

Damar tidak langsung menjawab, dipejamkan matanya sesaat, dengan menggertakan gigi menguatkan diri dia menjawab,” Perjalananmu akan ditemani Waliki…”

Lantai teras ini seperti bergoyang bagi Sekararum, keterkejutan seakan membuat dadanya meledak, apakah telinganya salah dengar!, atau kakeknya sudah pikun, dan salah mengucapkan nama Waliki.

Untuk meyakinkan dia bertanya,” Waliki, si tukang kebun berwajah murung itu?”

Kali ini Damar tersenyum, dengan tatapan lembut dipandang dalam2 mata cucunya, ujarnya enteng,” Apakah ada Waliki lain di perguruan ini…?”

Seketika Sekararum merasakan tubuhnya menjadi lemas, matanya melotot sehingga bentuk mata yg panjang dan lancip itu kini menjadi bulat, sesaat mulutnya ternganga, dengan meredam gejolak dia berkata,“ Apa pertimbangan kakek, memilih dia…?” ketus nada suaranya.

Masih tersenyum, dan membelai rambut cucunya Damar pelan menjawab,” Menurutmu seperti apa Waliki itu?”

“ Pendapatku hampir sama dengan semua orang disini. Dia itu si tua pendiam, bermuka murung, tidak memiliki ilmu silat, karena dia malas dan tidak berminat, tapi dia pintar berkebun, mengolah taman dan bercocok tanam.Tapi aku pergi berkelana bukan untuk belajar bertanam, melainkan perjalananku diluar sana akan menghadapi segala rintangan dan hambatan yg mungkin berbahaya bagi diriku, seperti kakek sering cerita. Bagaimana dia bisa menjagaku, sedangkan untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri saja tdk mampu.…!

“Mengapa bukan salah satu paman guru yg menemaniku…,mereka pasti lebih mampu dari pada kakek menunjuk si tukang kebun itu. Bahkan aku punya usul bagaimana jika guru Rampal dan Bawana menjadi teman selama perjalananku, atau guru Wiryo dan Semit, aku pikir mereka akan…! Damar membiarkan Sekararum nyerocos, masih panjang kalimat Sekararum, semua isinya hampir menyudutkan Waliki dan ketidaksetujuannya atas pilihan Damar.

Lama Damar hanya mendengarkan, seandainya obralan kata2 itu dapat menghilangkan kekesalan Sekararum, itu lebih baik baginya. Damar pun tidak ingin berdebat disaat emosi cucunya memuncak, maka dia menjadi pendengar yg baik, sambil manggut manggut, tapi pandangannya kearah bunga warna warni dikebun.

Akhirnya Sekararum menghentikan omongannya, setelah puas dan kehabisan kata2. Dadanya naik turun , nafasnya masih menggebu2, tetapi emosinya mulai reda.

Setelah lama membiarkan Sekararum mengendalikan diri, Damar berkata :

“Aku bukan manusia bodoh,…Sekararum,” kali ini ucapannya, pelan dan lembut penuh kasih sayang. “ Bagaimana aku rela melepaskan cucuku sendiri terjun di ganasnya dunia sana, tanpa jaminan akan keselamatan dirinya?”

“ Meskipun usiamu masih belia, diperguruan ini aku anggap ilmu silat yg kau miliki hanya kalah dari para guru tua di dewan guru. Karena mereka adalah murid pertamaku, yg ikut membantu mendirikan perguruan ini. Demikian pula dirimu, mewarisi ilmu perguruan ini langsung dari aku. Apa yg aku ajarkan pada mereka, aku berikan juga padamu. Daya tangkap dan kemampuan untuk menyerap ilmu pada masing2 murid berbeda, dengan berjalannya waktu, dan ditempa berbagai pengalaman sangat berpengaruh terhadap tingkat keilmuan mereka. Sehingga adanya penalaran lebih mendalam terhadap keilmuan, menyebabkan mereka mampu mengembangkan jurus2 yg sudah ada menjadi lebih dahsyat, meski masih dalam satu pohon keilmuan yg telah aku ajarkan. Begitu pula aku, telah berhasil mencipta jurus2 baru hasil dari pengembangan dan penalaranku selama ini. Dan jurus2 ini telah aku ajarkan pada dirimu, tapi tidak pada mereka atau lainnya. Inilah yg meyakinkanku bahwa tingkat keilmuanmu diatas rata2 sebagian besar penghuni perguruan ”, berhenti sesaat dipandangi cucunya itu, lanjutnya, “ Kecuali Waliki….”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar